Bergamot
"A-aku nggak sanggup lagi, Ji," kataku pada Panji setengah terisak. Sementara itu, suara Panji di seberang sana masih berusaha menenangkan dan membujuk untuk memikirkan ulang permintaanku tadi.
"Mereka keterlaluan, Ji. Mereka melakukannya di rumah! Di kamar kami! Dan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."
Sopir taksi yang membawaku pergi ini, mulai melirikku cemas dari kaca spion tengah. Sepertinya beliau khawatir denganku yang mulai menangis histeris.
"Aku sahabatmu, bukan klienmu, Ji. Tolong bantu aku melayangkan gugatan cerai untuk Mas Sam."
Aku mengabaikan segala ucapan Panji dan segera mengakhiri panggilan setelah dia mengucapkan salam. Aku tahu, Panji tidak mungkin tega menolak karena selama ini dia juga tahu perilaku Mas Sam di belakangku.
"Non, nggak apa-apa?" tanya sopir taksi itu pelan. Mungkin beliau sedikit canggung karena tadi aku sempat menangis histeris.
Aku mengangguk dan tersenyum samar, "Nggak apa-apa, Pak. Maaf, tadi saya mengganggu konsentrasi Bapak."
Kini malah giliran sopir itu yang tersenyum, "Saya nyalakan radionya ya, Non. Siapa tahu kalau mendengarkan musik bisa lebih tenang."
Beliau mulai menyalakan radio dan mencari frekuensi yang tepat.
Kamu berbohong, aku pun percaya*
Kamu lukai, ku tak peduli
Coba kau pikir, di mana ada cinta seperti ini
Aku mendecih pelan mendengar lagu ini. Lagu ini seperti mencemoohku dengan segala kebodohan yang pernah aku lakukan untuk mempertahankan pernikahanku dengan Mas Sam.
Kau tinggalkan aku, ku tetap di sini*
Kau dengan yang lain, ku tetap setia
Tak usah tanya kenapa, aku cuma punya hati
Aku semakin miris mendengarnya. Cinta memang membutakan mata dan menulikan telingaku. Menolak segala fakta yang aku tahu tentang tindakan Mas Sam di belakangku.
Cih! Batas antara setia dan bodoh itu amat tipis.
***
Aroma segar mint dan bergamot menguar dan melingkupi indra penciuman saat aku membuka mata. Aku melihat sekeliling, sepertinya aku ada di klinik kantor.
"Kamu udah sadar?" tanya seorang pemuda berkemeja slim fit putih, yang aku ingat bernama Samudra. Dia duduk di kursi dekat kasur seraya memainkan ponselnya.
Dia meletakkan ponselnya lalu membantuku yang sedang berusaha duduk.
"Maaf ya, tadi mereka keterlaluan ngerjain kamu. Kami nggak tahu kamu fobia laba-laba," ucapnya dengan nada benar-benar menyesal.
Ah, aku ingat. Ini hari pertamaku bekerja sebagai cost controller di salah satu perusahaan multinasional.
Setelah pihak HR memperkenalkan dan meninggalkanku di divisi ini, seorang gadis yang tampaknya sebaya denganku, memberi kotak kecil yang katanya hadiah untuk pegawai baru.
Aku terkejut saat membuka kotak yang yang ternyata isinya seekor laba-laba hidup berukuran besar. Tiba-tiba saja sendi-sendiku melemah dan pandanganku mulai mengabur.
Sebelum aku benar-benar jatuh pingsan, aku dapat mengingat aroma itu. Aroma sesorang yang menangkapku sebelum aku ambruk. Aroma mint dan bergamot yang begitu kuat menguar dari tubuhnya, sehingga aku tidak akan pernah lupa jika mencium aromanya sekali lagi.
"Di, kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya seraya mengecek kepalaku seolah ada kabel yang rusak. "Tadi sih kepala kamu sempat kejedot ujung meja, tapi kata dokter nggak apa-apa kok."
"Saya nggak apa-apa, Pak," jawabku berusaha sesopan mungkin, mengingat dia adalah senior di divisiku.
Pemuda itu malah tertawa terbahak-bahak, "Kok manggilnya 'Pak', sih? Nggak sekalian 'Om' aja." Ucapan jahilnya membuatku semakin mengernyit.
"Serius banget jadi orang. Panggil aja 'Mas Sam' seperti yang lain," katanya seraya kembali menekuni layar ponsel.
"Oh iya, kamu aku masukin ke grup ya. Nih, anak-anak pada ribut nyalahin Laras yang iseng ngerjain kamu." Mas Sam menunjukkan chat di grup yang heboh banget. Aku tersenyum membacanya lalu mendiktekan nomorku pada Mas Sam.
Ponselku yang ada di dalam hobo bag merah marun mulai ramai kebanjiran notifikasi. Mas Sam membantu mengambilkannya dari tasku yang diletakkan di nakas yang ada di sisi kiri tempat tidur.
Diandra Putri joined this group.
Airlangga Putra: Hai, Di! Maaf ya tadi belum sempat kenalan kamu udah pingsan duluan 😅
Hagy Pamungkas: Hayoloh, Ras... Minta maaf gih!😏
Larasati Adnan: Duh, Di...maaf ya yang tadi tuh monyet dua yang ngusulin. Malah hamba yang tak berdaya disalahin 😣😭
Diandra Putri: It's ok 😁 cuma masih agak pusing aja.
Samudra Iswara: Untung ada pangeran berkemeja putih yang buru-buru anter ke klinik 😎
Hagy Pamungkas: Cieee... Mas Sam modus 😘
Dan begitulah kami berdua mulai akrab, sampai suatu saat dia mengucapkan kata-kata yang membuatku sangat terkejut.
"Di, nikah yuk," ajak Mas Sam seolah menikah itu semacam ajakan makan siang di warung pecel lele belakang gedung kantor.
Aku yang saat itu tengah sibuk memeriksa laporan order pembelian barang, kontan saja memukul kepala pria itu dengan binder.
"Aduh! Sakit, Di!"
"Biar otak Mas Sam nggak geser lagi."
"Aku serius, Di." Kini Mas Sam mendapat atensiku sepenuhnya. "Aku bolak-balik nembak kamu, kamu malah ketawa-ketawa nggak jelas. Kamu sendiri dulu pernah bilang 'pacaran nggak menjamin ke pelaminan'. Nah, ini aku lamar kamu, malah kena pukul."
Berhari-hari aku memikirkan ucapannya. Memang kami dekat dan memang aku menyukainya, bahkan teman-teman kantor mengira kami berpacaran. Tapi, aku selalu mengelak karena aku takut interoffice affair akan mengganggu kinerja kami. Iya, kalau lancar? Kalau putus di tengah jalan, kan jadi canggung.
Setelah berpikir masak-masak dan berkonsultasi dengan keluargaku, akhirnya aku menerima lamaran Mas Sam yang super tidak romantis itu. Aku pun memilih resign dari kantor. Mana mungkin aku tega meminta Mas Sam yang saat itu karirnya tengah menanjak untuk resign.
Mungkin memang benar, dengan menikah bisa membuka pintu rezeki yang lain. Memang saat itu aku sudah tidak bekerja lagi, dan menekuni hobi menulisku. Tapi, karir Mas Sam terus meningkat, sampai dia menduduki posisi finance manager yang dia incar selama ini.
Dan seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin yang menerpanya. Dengan kedudukan yang dimiliki Mas Sam sekarang, semakin banyak saja masalah yang menerpa rumah tangga kami.
Mas Sam semakin sering ke luar kota dengan alasan yang tak jelas. Sering pulang terlambat bahkan di saat akhir pekan. Ponselnya pun diberi password. Dan yang paling membuatku sedih adalah saat aroma segar bergamot yang selalu menguar dari tubuh dan kemeja slim fit-nya, mulai bercampur dengan manisnya aroma vanilla.
Bukankah kesetiaan wanita diuji saat lelaki tidak punya apa-apa, dan kesetiaan lelaki diuji saat memiliki segalanya?
Aku sudah sering meminta penjelasan, malah berakhir dengan pertengkaran. Sungguh, aku tak ingin berprasangka buruk pada suamiku sendiri. Tapi, tindakannya yang membuatku berpikir demikian.
Panji, sahabatku saat SMA, pernah mengatakan bahwa dia melihat suamiku di mall dengan seorang perempuan. Aku mati-matian menyangkalnya, karena saat itu Mas Sam sedang berada di Medan. Padahal dari foto yang dikirimkan Panji, aku tahu itu adalah Mas Sam. Dan yang paling menyedihkan adalah melihat suamiku bersama dengan sahabatku saat di kantor. Ya, Mas Sam saat itu bersama dengan Laras.
Aku sudah sering menerima aduan dari orang-orang terdekatku tentang tingkah Mas Sam di belakangku. Tapi, aku terus membelanya. Aku tak ingin pernikahanku yang baru berusia tiga tahun ini kandas. Toh, Mas Sam selalu pulang ke rumah kami, dan aku selalu melayaninya dengan baik.
Sampai saat itu tiba, saat aku pulang menginap dari rumah orang tuaku, aku mendapati Mas Sam bersama Laras terlelap di kamar kami. Tanpa pikir panjang, aku langsung pergi meninggalkan rumah, mengingat sudah terlalu sering aku bersabar menghadapinya.
"Bun... Ibun," rajuk manja dari Satria menarikku kembali dari lamunan masa lalu. Aku menoleh dan tersenyum pada putra semata wayangku. Dia seperti Mas Sam KW super. Matanya, alis tebalnya, hidung jambunya, semuanya mengingatkanku pada Mas Sam.
Kadang aku merasa ini tak adil. Aku yang mengandung selama sembilan bulan, kepayahan saat melahirkan, dan merawatnya sampai sekarang. Tapi, kenapa Satria malah mirip sekali dengan ayah yang bahkan tak mengetahui keberadaannya? Sebenci apa pun aku pada Mas Sam, aku tak mungkin membenci malaikat kecil yang selalu menemaniku menjalani hari-hari ini.
"Ada apa, Sayang?" tanyaku seraya membersihkan sisa krim yang menempel di ujung bibirnya. Satria berusia empat tahun, kadang masih belepotan ketika makan.
Seperti saat ini, saat dia menikmati matcha panna cotta-nya sembari menemaniku menunggu perwakilan penerbit yang akan membahas event-event yang berkaitan dengan peluncuran bukuku.
Selama lima tahun aku kabur dari Mas Sam, aku tinggal di Solo. Dan harus kuakui, aku enggan kembali ke kota ini, tapi kebutuhan lah yang memaksaku kembali ke mari.
"Ibun, dali tadi Om itu liat kita telus. Satlia takut," kata Satria semakin merapatkan pelukannya.
Aku mengikuti arah pandang Satria. Aku tercekat, dan jantungku tiba-tiba saja merosot sampai perut. Mataku dan mata 'Om' yang dimaksud Satria bersirobok.
"Mas Sam..."
Aku segera tersadar dan menggendong Satria dengan paksa keluar dari kafe itu. Aku tak peduli teriakannya yang memanggil namaku. Aku tak ingin Mas Sam tahu Satria adalah putranya. Aku tak ingin dia mengambil Satria dariku.
Aku terus berlari sampai terdengar suara rem berdecit diikuti tubrukan keras. Seketika aku menengok ke belakang. Hatiku mencelos saat melihat Mas Sam tak sadarkan diri dengan dahi bersimbah darah.
"Rasakan..." gumamku pelan.
Namun, sepertinya hatiku tak rela saat mulutku mengucapkan kata-kata kejam itu. Air mataku tak mau berhenti menetes melihat keadaan mantan suamiku sekarang. Tapi, aku harus berani. Harus berani mengabaikannya. Sama seperti saat dia memilih Laras dan mengabaikanku.
Sayangnya, lagi-lagi otak dan hatiku tak sejalan. Tiba-tiba saja aku berbalik dan berlari menghampiri kerumunan yang mengelilingi Mas Sam.
(*)Anggep aja ini lagu ini udah ada dari jaman dulu 😂
***
Halooo...semoga dari cerpen ini bisa ada sedikit gambaran kenapa Satria begitu menjaga hati Ayana. Jadi, jangan ikutan Nando ngatain Satria 'Suami Takut Istri' ya 😂 kasian Satria yang sabar banget ngadepin Ayana yang bossy 😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top