Bab 8. Tertangkap
Happy reading, Genks 😘
🌷🌷🌷
Motor Galen membelah jalanan kota Jogja yang lengang. Mendekati waktu tengah malam, tidak banyak pengendara yang lewat.
“Anjir! Dasar Riko! Kenapa lagi tuh, anak? Awas aja, gue udah bela-belain datang tapi nggak kenapa napa,” gerutu Galen sambil berkendara. Begitu sampai di depan kos Riko, lelaki itu berlari menuju lantai dua kamar Riko.
Galen membuka cepat pintu kamar berwarna putih hingga menimbulkan bunyi keras. Lelaki berjaket hitam itu terkejut mendapati Riko—sahabatnya—tergeletak di lantai dengan ujung mulut berbusa. Alat hisap bong, pipet, korek api maupun berbagai kaleng soda kosong berserakan di lantai. Tanpa sengaja pandangan Galen menangkap beberapa bungkusan kertas di dalam plastik berada di ranjang. Galen mendengkus menahan geram.
Dengan cepat, Galen segera menghampiri Riko dan menepuk-nepuk pipinya dengan keras. “Breng-sek lu! Bangun Riko! Jangan bikin gue takut!” Galen berusaha menggoyang-goyang Riko, namun tubuhnya tetap tak bergerak. Mata lelaki berambut keriting itu masih terpejam dengan napas yang lambat. Kepanikan menyergap Galen. Di tengah kebingungan terhadap situasi yang menimpa, lelaki itu mendengar derap langkah beberapa orang berlari di selasar.
“To—“
“Braaakk!”
Mata Galen melebar mendapati lima orang laki-laki berbaju hitam masuk dengan pistol di tangan. Galen sempat melihat lencana polisi tergantung pada salah satu lelaki yang bertopi.
“Tolong, Pak! Tolong teman saya, Pak!” seru Galen dengan suara serak.
Galen sangat terkejut ketika sebuah tangan menariknya dengan kasar hingga dia hampir terjerembap. Rasa takut tiba-tiga menyergap dirinya ketika sebuah borgol melingkari tangannya. “Ada apa ini?” cicitnya dengan bingung. “Kenapa saya ditangkap? Saya nggak bersalah! Saya baru dateng, Pak,” protesnya tidak terima.
“Diam!” Kamu sekarang kami tahan!” Sebuah tangan mencengkeram pundaknya dan mendorong dengan keras. “Jalan!” hardik lelaki di belakang Galen.
“Amankan tersangka dan barang bukti!” seru seorang laki-laki berkumis.
“Siap, Ndan!” seru laki-laki yang mengenakan rompi. Dia bersama satu temannya bergerak dan berusaha menggendong Riko. Tubuh Riko ditopang agar berdiri. Kedua tangan lelaki berambut keriting itu dilingkarkan ke bahu kedua polisi muda dengan kaki terseret.
Satu orang polisi bertopi mendorong punggung Galen agar berjalan. Berkali-kali lelaki itu mencoba menjelaskan kepada lelaki yang menangkapnya bahwa dia tidak bersalah, namun percuma.
Polisi bertopi yang berjalan di belakang Galen, menyuruhnya diam. “Ikuti prosedur. Semua diselesaikan di kantor,” ucap laki-laki itu dengan tegas.
Galen mengatupkan mulutnya. Banyak hal yang berkecamuk di pikirannya. Ditambah tubuh yang sangat lelah, lelaki itu merasa kepalanya berdenyut.
Rencana yang sudah disusunnya berantakan. Pikirannya melayang kepada Miya. Entah apa yang dipikirkan istrinya jika mengetahui kejadian ini. Dia mendesah. Galen berharap semua akan baik-baik saja, meskipun hati kecilnya merasa ragu.
Pandangannya nanar, menyaksikan ambulans yang membawa Riko pergi. Galen tidak percaya bahwa ternyata Riko ternyata adalah seorang pengedar. Dia merasa tertipu dan marah, namun laki-laki itu berharap kondisi Riko selamat. Hanya Riko, saksi bahwa dirinya tidak bersalah.
Dengan gontai, Galen mengikuti arahan para polisi berpakaian gelap itu agar masuk ke dalam mobil berwarna hitam di hadapannya. Dia duduk di antara dua orang polisi yang mengapitnya.
Galen menunduk menatap tangannya yang diborgol. Dia mencoba mencari kekuatan dengan menghadirkan sosok Miya dan Ciara dalam benaknya. Akan tetapi, kepalanya semakin berdenyut keras seiring bunyi sirene kendaraan yang membawanya.
***
Sementara itu di rumah ....
Miya yang sedang memotong bawang putih, mengernyit ketika melihat noda merah di pisaunya. Sesaat kemudian jarinya berdenyut nyeri. Wanita itu terkejut ternyata jari telunjuknya sudah bersimbah darah.
Dengan cepat, Miya mengguyur jarinya dengan air mengalir dari keran dan langsung membersihkan dengan tisu. Wanita itu baru menyadari bahwa lukanya cukup dalam. Entah kenapa, dari tadi perasaannya sedang tidak enak. Wajah Galen selalu membayang dalam ingatan, hingga dia melamun. Setelah memastikan lukanya tertutup rapat, Miya mengurungkan niatnya membuat nasi goreng.
Ciara sudah terlelap sejak tadi. Setelah menonton film kartun favoritnya, gadis kecil itu tertidur sambil memeluk boneka panda miliknya. Rasa lapar membuat Miya memutuskan membuat nasi goreng pedas. Namun naas, jarinya malah terluka akibat kecerobohannya. Miya menatap jam di dinding yang menunjukkan jam sepuluh malam.
Sejak sore hati Miya tidak tenang. Jantungnya terus saja berdegup kencang. Dia seperti mendapat firasat buruk. Wanita bertubuh mungil itu berusaha memperbanyak istigfar guna meredam kekhawatirannya.
“Aduh, aku kenapa, ya? Kok deg-degan terus,” gumam Miya lirih. Dia berulang kali mengembuskan napas sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. Berharap debar di dadanya sedikit berkurang.
Pikirannya bercabang, memikirkan firasat buruknya sekaligus permasalahannya dengan Galen. Dia tidak ingin hal tersebut memperburuk rumah tangganya. Miya bertekad menyingkirkan egonya dan mengalah. Dia bertekad berbaikan dengan Galen.
Miya memilih duduk di ranjang dan menghadap cermin. Pantulan seorang wanita berambut sebahu menatapnya. Dia meraba matanya yang bulat dengan alis yang tebal di atasnya. Jemarinya menyusuri pipinya yang sedikit tirus. Hidung dan mulutnya mungil sama seperti Ciara.
Miya menarik bibirnya hingga membentuk lengkungan. Wanita itu teringat perkataan Galen bahwa senyumnya manis. Ingatan tentang sikap posesif sang suami yang melarangnya banyak senyum ketika di luar rumah, membuatnya terkikik. Galen selalu melotot ketika melihatnya tersenyum kepada teman kuliahnya dulu, terutama teman lelaki.
“Jangan banyak senyum! Itu hanya milikku. Kamu nggak tahu, gimana cowok-cowok itu selaku nggak berkedip ketika kamu senyum,” omel Galen dulu saat mereka masih kuliah.
Mengingat Galen, membuat rasa rindu di hati Miya membuncah. Dia merindukan pelukan dan kehangatan Galen. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. Memikirkan itu membuat pipi Miya memerah.
Miya memutuskan menyambut kepulangan Galen secara istimewa. Wanita itu membersihkan tubuhnya, memastikan semua bagian tubuhnya wangi. Dengan hati berdesir, dia memilih gaun berenda yang berada di tumpukan terbawah bajunya. Gaun haram, begitu orang menyebutnya.
Miya merasa malu sendiri menatap bayangan tubuhnya di cermin. Gaun merah berdada rendah itu mengekspos tubuhnya dengan sempurna. Panjang gaun yang berada di atas paha memperlihatkan kakinya yang ramping.
Miya memberikan sentuhan akhir dengan menyemprotkan parfum beraroma lembut kesukaan Galen. Dia mengoleskan lipglos agar bibirnya memberikan kesan sensual.
Melihat bayangannya di cermin membuat Miya kembali terkikik. Hatinya berdebar berharap Galen menyukai kejutan darinya. Dia kembali teringat sebuah artikel tentang makeup sex. Miya tersenyum kecil, dia berharap hubungannya dengan Galen akan membaik setelah itu.
Ketika waktu sudah melewati tengah malam, Miya kembali resah. Dengan mengetatkan ia berjalan mondar-mandir sambil sesekali melongok ke jendela. Berharap suara motor yang ditunggunya muncul.
Hingga jam di dinding menunjukkan waktu pukul 1.35, Miya menyerah. Semangatnya merosot sampai ke dasar bumi. Setitik air menitik di ujung mata Miya. Hatinya kembali menuai kecewa. Akhirnya Miya memilih meringkuk di samping Ciara. Tangannya memeluk tubuh mungil putrinya dengan menahan sesak di dada.
“Kamu di mana, Ga?” gumamnya lirih. Rasa sedih bercampur letih membuat matanya kian berat.
***
Nyesek banget nulis part ini 🤧🤧
Huwaa ... mood langsung ngedrop ini😭😭😭
Bakso ... mana bakso ... 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top