Bab 7. Sebuah Kesadaran
Hai Genks🥰🤗
Senengnya malem ini bisa menyapa teman-teman. Beberapa hari ini, udara di Malang lumayan dingin. Alhasil, selimut jadi barang most wanted di rumah. Wkwkw ....
Ngeteh dulu, yuk ☕
🌷🌷🌷
Selama sepekan hubungan Miya dan Galen sedingin es. Darah muda membuat keduanya bertahan pada ego masing-masing. Miya merasa sang suami tidak sungguh-sungguh ingin berubah. Galen tak kunjung berusaha meluluhkan hatinya dengan minta maaf. Pun Galen, merasa sang istri terlalu menekan tanpa mau berusaha memahami dirinya. Rumit.
Sejatinya ego manusia memang bisa menghancurkan. Suatu pemikiran bawah sadar yang tanpa disadari menyeret seseorang merasa dirinya paling benar. Padahal jika saja dia mau diam sejenak dan saling introspeksi diri, pasti akan berujung solusi.
Kedua insan yang berada dalam ikatan suci itu hanya duduk dan menikmati sarapannya. Tanpa kehangatan selayaknya dua orang yang saling mengasihi. Miya berusaha fokus menyuapi Ciara yang duduk di sisinya. Gadis kecil itu pun tidak banyak bicara. Seakan-akan mengerti kebekuan kedua orang tuanya, dia hanya melihat sejenak ke arah mama dan papanya dan kembali fokus pada boneka di tangannya.
“Aku berangkat dulu!” Galen pamit setelah menyelesaikan sarapannya. Tanpa menoleh kepada istrinya, dia mencium kening Ciara dan langsung bergegas pergi.
Maya menatap kepergian Galen dengan pandangan nanar. Setitik air mata menetes dari ujung matanya tanpa disadari. Dengan ujung jarinya, dia menyeķa dengan cepat. Tak ingin putrinya tahu jika dirinya menangis. Hatinya berdenyut perih. “Gaaa ...,” lirih Miya berusaha menahan sesak di dada.
Miya sebenarnya ingin berdamai. Hatinya merasa lelah menghadapi situasi rumah tangga seperti ini. Dia merindukan kehangatan di antara mereka. Ini merupakan pertengkaran keduanya yang paling lama. Biasanya tiga hari mereka sudah berbaikan.
“Mama ... tumpah! Huwaaa!”
Tangisan Ciara membuyarkan lamunannya. Miya menatap baju Ciara yang menguning terkena tumpahan kuah soto dengan rasa bersalah. “Ya Allah!”
Buru-buru Miya mengganti baju Ciara. Hatinya serasa ditusuk jarum melihat paha kecil putrinya yang memerah akibat kelalaiannya. “Maafin mama, Cia,” desisnya pelan. Seraya mengoleskan obat, pipinya kembali basah. Hatinya serasa ditusuk ribuan jarum. Miya menyalahkan diri sendiri karena telah abai kepada Ciara.
***
“Sh*t!” maki Galen ketika motornya hampir menabrak seorang wanita yang sedang menyeberang jalan. Lelaki itu memaki dirinya sendiri yang kehilangan fokus saat berkendara.
Galen melarikan motor besarnya dengan kecepatan tinggi ke arah selatan. Dia butuh melepaskan semua beban pikiran yang menggelayuti dirinya akhir-akhir ini.
Semilir angin membelai rambut Galen. Aroma air laut menyeruak, membuat lelaki berahang tegas itu memejam. Dia menghidu dengan dalam, dan menikmati sensasi yang menenangkan pikirannya. Alam selalu memberikan efek yang luar biasa bagi diri Galen.
Udara pagi hari membuat suasana yang berbeda di pantai Parangtritis. Cahaya matahari yang belum terlalu tinggi memanjakan Galen yang duduk di atas pasir bertelanjang kaki. Dia menekuk kaki dan memeluk kedua lututnya. Pandangannya menatap laut lepas yang tanpa batas.
Suara ombak yang memecah di pinggir pantai menjadi magnet bagi Galen. Dengan perlahan, lelaki itu melangkah membuat jejak-jejak kaki di pasir belakangnya. Galen mengayunkan langkah menyusuri pantai, membiarkan kakinya terkena hempasan air laut.
Lelaki itu kembali menghidu aroma laut. Pikirannya melayang kepada Miya dan Ciara. Juga tentang mimpinya. Berbagai hal berkecamuk di dada Galen, hingga memantik berbagai emosi dalam dirinya.
“Aaarghh!”
Setelah berteriak beberapa kali, hati Galen terasa ringan. Memang benar, melampiaskan emosi dengan berteriak di alam terbuka memang obat mujarab.
Galen kembali duduk di atas gundukan pasir. Sebuah kesadaran menghantam jiwanya. Dia lupa tentang komitmen yang dibuatnya, juga mimpi yang ingin dikejar. Galen menghabiskan tiga jam untuk merenung semua hal tentang hidupnya.
Galen mengambil sebuah rokok lintingan dari saku celananya. Lelaki berambut ikal itu memainkan benda tersebut di sela jemarinya. Galen meremas kuat lintingan itu hingga hancur lebur. Lelaki itu kemudian mengangkat tangannya ke udara, membiarkan serpihan tembakau itu terbawa embusan angin laut yang cukup kencang.
Selarik senyuman terbit dari bibir Galen. Sebuah tekad baru menyala dalam dirinya. Semangat yang tumbuh bersama kekuatan hati yang kini menyala kembali. Lelaki berpakaian hitam tersebut berbalik, mengayunkan langkah dengan tangan dimasukkan ke dalam saku hodie-nya.
Matahari berada tepat berada di atas kepala, saat Galen memasuki sebuah bangunan yang sedang direnovasi. Seorang laki-laki mengenakan kemeja batik menyambutnya dengan senyum lebar.
“Ga!” seru Pak Juna seraya melambaikan tangannya kepada Galen. Lelaki berkacamata itu sedang berdiri mengamati para tukang yang sedang memasang coffee bar.
Galen mendekati Pak Juna dan menyalami dengan sedikit menunduk. “Maaf, Pak, saya terlambat!”
Lelaki berusia empat puluh tahun itu menepuk bahunya pelan. “It’s okay. Saya senang laki-laki yang mengutamakan keluarga. Itu lelaki sejati,” ucap Pak Juna dengan tersenyum.
Galen berusaha memaksakan sebuah senyuman di wajahnya. Ucapan lelaki di sampingnya menyentil rasa bersalahnya. Dia tadi terpaksa berbohong, dan mengirimkan pesan kepada Arjuna saat di Parangtritis. Dalih keperluan keluarga yang mendadak menjadi alasan.
Selama satu minggu ini, Galen banyak menghabiskan waktu bersama pemilik “Epico Coffee”. Arjuna ternyata sudah mempersiapkan ekspansi kafe miliknya sebelum Galen menerima tawarannya. Renovasi bangunan ini sudah hampir selesai. Rencananya satu bulan ke depan, kafe ini sudah siap beroperasi.
Yah, Galen secara resmi sudah menerima tawaran Arjuna. Dia merasa bahwa tawaran Arjuna lebih masuk akal dibandingkan jika merintis usahanya sendiri yang masih belum mempunyai konsep yang jelas. Saat ini, Galen mencoba realistis melihat kenyataan. Dia tidak ingin melepaskan sebuah kesempatan emas yang datang kepadanya.
“Kapan kita mulai open recruitmen, Pak? Progress pembangunan sudah tujuh puluh persen. Saya rasa waktunya pas, kalo kita buka lowongan dan dilanjutkan pelatihan pegawai baru.” Galen mengutarakan pendapatnya setelah mengamati perkembangan renovasi.
“Nah! Pas banget. Saya baru mau ngajak kamu diskusi persoalan itu. Ayok!” ajak Arjuna menuju sebuah ruangan di bagian dalam kafe. Ruangan itu lumayan bersih dengan perabotan kayu di dalamnya.
Arjuna mengajak Galen berdiskusi di sebuah sofa rotan yang menggunakan pelapis lurik pada busanya. Tak lama, keduanya larut dalam sebuah diskusi panjang.
Beberapa agenda yang sudah Galen susun, dipaparkan secara detil kepada Arjuna. Beruntung Pak Juna adalah seorang yang humble dan enak diajak diskusi. Bahkan beliau sangat terbuka menerima saran maupun kritik. Wajah pria paruh baya itu menunjukkan rasa puas setelah diskusi mereka berakhir. Pak Juna juga berpesan bahwa malam ini dia tidak ke kafe. Ada hal lain yang harus dikerjakan berkaitan dengan investor.
Setelah memastikan pekerjaan para tukang sesuai dengan agenda, Galen bergegas pergi. Dia tiba di “Epico Coffee” menjelang Magrib. Lelaki itu segera bergabung dengan teman-temannya tepat pada saat pergantian shift kerjanya. Galen melakukan kegiatan sebagai barista seperti biasa.
Menjelang tengah malam, Galen menepikan sejenak motornya di penjual martabak. Dia memesan martabak yang spesial berserta terang bulan keju, kesukaan Miya.
Malam ini, dia bertekad meminta maaf kepada sang istri. Dia ingin memberi kejutan, memberi kabar bahwa dirinya sudah menerima tawaran Arjuna. Lelaki penyuka warna hitam itu memang belum sempat memberitahu Miya perihal keputusannya. Dikarenakan hubungan mereka yang memburuk membuat Galen menunda kabar tersebut.
Meskipun ingin memberikan buket bunga sebagai permintaan maaf, namun apa daya kondisi kantong Galen sangat tidak bersahabat. Menggunakan uang terakhir di dompetnya, Galen ingin memberikan oleh-oleh kesukaan sang istri.
Senyuman menghiasi wajah Galen sepanjang perjalanan pulang. Dia yakin Miya pasti bisa menilai ketulusan yang diberikan. Tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Lelaki itu berusaha tidak menggubris, namun dering ponselnya tidak mau berhenti. Akhirnya, Galen memilih menepi sejenak guna menjawab panggilan telepon.
“Ga! Tolong gue ....” Suara lemah laki-laki berbicara dengan merintih. Sesaat kemudian terdengar suara ponsel jatuh dan suara laki-laki tadi menghilang.
Raut wajah Galen menegang. Tampak kekhawatiran menghiasi wajahnya dan benaknya dipenuhi tanya. Galen menimbang sejenak, pandangannya jatuh pada tas plastik yang menggantung di motornya. Lelaki itu mengembuskan napas kasar. Rasa kemanusiaan mengetuk hatinya. Dia memutuskan untuk berbalik arah dan memacu motornya dengan kencang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top