Bab 5. Barang Haram

Miya, Galen dan Ciara bersiap hendak pulang. Mereka baru saja menghabiskan bekal makanan yang dibawanya. Ciara sudah terlihat letih dan mengantuk. Miya mengumpulkan bekas makanan dan memasukkan dalam kantong plastik. Dia mencari tempat sampah terdekat, pantang baginya membuang sampah sembarangan. Hal kecil yang selalu ditanamkan ibunya.

Mereka bertiga menghabiskan waktu tiga jam menikmati keindahan "Lemah Rubuh". Ciara dan Galen bahkan sempat mengarungi sungai Oya menggunakan perahu karet kecil pinjaman dari seorang pria bule—salah satu wisatawan di sini.

"Tolong! Tolooong! Tolong anak saya!"

Tiba-tiba Miya dikejutkan oleh suara seorang wanita yang berteriak histeris. Sang bapak berusaha memegangi anaknya yang kejang-kejang dengan wajah panik.

Tampak beberapa orang bergerombol tanpa ada yang memberikan pertolongan. Miya sontak berlari menuju kerumunan itu, dan berusaha menyibak gerombolan untuk melangkah masuk.

Miya segera menyuruh sang bapak untuk membaringkan anaknya di rerumputan. Dia menyingkirkan batuan kecil di sekitarnya, kemudian berjongkok di samping anak laki-laki yang sedang mengeluarkan cairan putih dari mulut di sela kejangnya. Dia segera menyuruh orang-orang untuk mundur memberi ruang yang cukup untuk anak tersebut.

Miya memiringkan badan bocah lelaki yang berusia sekitar lima tahun itu. Dengan sigap, dia membuka dua kancing baju teratas agar anak itu leluasa bernapas. Setelah dua menit, kejangnya berkurang dan akhirnya berhenti. Embusan napas kelegaan meluncur dari bibir orang tuanya.

Sang ibu langsung menghambur dan memeluk anaknya  seraya menangis. Sedangkan suaminya berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Miya. Wanita mungil itu hanya tersenyum, kemudian menyarankan agar sang anak di bawa ke dokter atau klinik terdekat untuk pemeriksaan. Miya menduga anak laki-laki itu menderita gejala epilepsi.

Miya bersyukur, dua tahun mengenyam sekolah kedokteran ternyata ada manfaatnya. Hal pertama yang ditekankan dosennya dulu agar tidak mudah panik di setiap keadaan, dan berusaha mengamati gejala pasien dengan saksama. Hal itu sangat penting untuk menentukan pertolongan apa yang harus dilakukan.

Mengingat hal berbau kedokteran membuat Miya sesak, dia teringat seseorang yang begitu terobsesi menjadikan dirinya seorang dokter. Hal yang sangat dibencinya.

Wanita itu memejamkan mata sejenak, berusaha mengenyahkan bayangan kelam masa lalunya. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa sekarang semua baik-baik saja. Kini, ada Galen dan Ciara yang selalu bersamanya. Miya berpaling dan pandangan keduanya bertemu.

Galen mendekati Miya sambil menggendong Ciara. Bibirnya melengkung sempurna, terselip rasa bangga di hati  melihat sikap Miya yang penuh welas asih kepada sesama. Pria itu mengulurkan tangannya yang bebas, dan segera disambut Miya dengan senyuman hangat. Jari mereka saling bertautan melangkah menuju area parkir.

***

Hati Miya seakan-akan dinaungi pelangi, indah dan berwarna. Selama seminggu, dia menemukan sosok pria yang membuatnya jatuh cinta. Galen yang romantis dan posesif sekaligus.

Awal perjumpaan dengan Galen secara tidak sengaja, dia diajak sahabatnya untuk melihat pertunjukan musik di fakultas ekonomi. Wanita bertubuh mungil itu terpesona dengan salah satu personil dari band pembuka yang mengenakan kaos dan celana jins hitam lengkap dengan jaket kulit berwarna hitam.

Pria itu asyik memetik gitar tanpa menghiraukan penonton wanita yang meneriakkan namanya. Saat itu, Miya bari mengetahui bahwa pria itu bernama Galen.

Saat hendak pulang, motor yang dikendarai Miya tiba-tiba mogok. Waktu sudah menjelang tengah malam, Miya begitu panik, dan mencoba menghidupkan motornya berkali-kali tetapi tetap saja tidak mau menyala. Mita—sahabatnya—sudah pulang terlebih dahulu, Miya berulang kali menelepon tetapi tidak tersambung. Dia kemudian mendorong motornya perlahan dengan mata mengembun.

Tiba-tiba Miya dikejutkan oleh suara sepeda motor berhenti di sampingnya. Alarm di otaknya menyuruh waspada.

"Mogok, ya, Mbak?"

“Tentu saja, sudah tahu masih nanya. Nggak lihat apa, orang lagi nuntun!” gumam Miya dalam hati. Dia tidak berani menoleh ke samping untuk melihat siapa yang bertanya, dan masih menuntun motornya.

Terdengar suara langkah mendekat, membuat Miya ketakutan dan berusaha mendorong motornya lebih cepat. Tiba-tiba motornya tidak dapat bergerak seperti ada yang menahan.

"Mbak! Saya cuma mau nolongin!" ketusnya.

Mendengar nada suara yang tinggi, sontak Miya menoleh. Sesaat dia terpana ternyata yang di hadapan adalah sosok pria berbaju serba hitam yang membuatnya terpesona. Semenjak peristiwa itu mereka menjadi dekat dan lengket bak prangko. Di mana ada Galen pasti ada dirinya.

"Mamaaa ...."

Suara Ciara dari kamar membuyarkan kepingan memori yang melintas di otaknya. Dia segera menuju kamar menghampiri putrinya yang baru saja terbangun dari tidur siang.

"Papa mana, Ma?" tanya Ciara dengan suara cadelnya. Pandangan gadis kecil itu meliar mencari keberadaan Galen. Akhir-akhir ini memang Ciara lengket sekali dengan papanya, kadang hati Miya sedikit jengkel ketika Ciara mencarinya hanya saat lapar dan minta susu.

"Papa sudah berangkat, Cia." Spontan tangis Ciara meledak, dia merengek memanggil-manggil Galen. Miya menarik sang putri dalam pelukan, mengusap lembut punggungnya dan berusaha menenangkan.

Miya bersyukur kerewelan Ciara tidak berlangsung lama. Perhatian putrinya mudah teralihkan dengan sesuatu yang menarik.

Ciara tampak cantik dan menggemaskan dalam balutan rok tutu yang dipadankan dengan blus motif buatannya. Miya kerap kali menjadikan putrinya sebagai model untuk  bereksperimen desain baju anak. Wangi bedak bayi bercampur minyak telon menguar dari tubuh Ciara yang baru saja mandi sore.

Miya sedang asyik menjahit, dan sesekali menoleh untuk mengamati Ciara yang tengah asyik melihat film kesukaannya lewat ponsel.

Wanita mungil itu harus menyelesaikan baju pesanan Bu Hera beserta anak-anaknya. Mereka akan menghadiri pernikahan saudaranya dan memesan kebaya seragam. Bu Hera baru saja mengirimkan pesan bahwa dia dan keluarganya akan berangkat tiga hari lagi ke Surabaya.

Miya menghela napas lega melihat tiga pasang kebaya berwarna marun dengan tiga model yang berbeda telah selesai dijahit. Miya membuatkan model baju kurung yang sederhana dan elegan, sedangkan untuk kedua putrinya model kebaya modern dengan lengan bentuk lonceng dengan pita lebar bagian dada.  Besok, dia tinggal memasang payet dan menjahit jelujur bagian bawahnya.

Miya meregangkan badan, melemaskan otot-otot yang kaku akibat terlalu lama duduk. Dia tersenyum puas melihat hasil karyanya, dan berharap Bu Hera berserta putrinya senang.

Setelah beristirahat sejenak, Miya melangkah menuju dapur untuk mengambil sapu. Dia berniat membersihkan rumah sebelum azan Magrib tiba.

Miya bersenandung kecil sambil bergoyang memegang sapu mengikuti irama musik melalui ponsel, Ciara terkekeh melihat tingkah polah mamanya. Gadis kecil itu bahkan bertepuk tangan dengan riang.

Miya sudah membersihkan seluruh rumah kecuali satu tempat, dia bergegas menuju ruang kerja Galen. Keningnya mengernyit begitu membuka pintu kamar. Seperti biasa, kamar Galen berantakan dengan kertas dan puntung rokok.

Pandangan Miya tertumbuk pada lintingan putih tanpa merek yang berukuran lebih kecil dari rokok yang beredar di pasaran. Hatinya berdegup cepat, apakah benda itu sesuai dengan prasangkanya.

Dia segera meraih benda kecil yang tertinggal di meja, kemudian menciumnya perlahan. Wajah Miya memerah dan tangannya refleks meremas barang haram itu hingga hancur.

"Galen ...."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top