Bab 31. Pertemua Dua Hati yang Terpisah

Hai ... aku gak mau kalian penasaran sama Galen. So, aku up part ini. Please jangan kecewa karena aku juga sama galaunya dengan Miya🤧🤧🤧

.
.
.
.
Happy reading🥰

🌷🌷🌷

Miya berdiri di dekat pagar sekolah di antara kerumunan ibu-ibu yang menjemput anaknya. Matanya memindai satu per satu siswa berseragam TK yang berhamburan keluar kelas. Beberapa orang guru berdiri, berjaga memastikan masing-masing murid pulang bersama walinya.
Pagi tadi, Miya tidak mengantar Ciara ke sekolah. Putrinya berangkat bersama sang nenek yang kebetulan ada keperluan pagi-pagi. Sejak pagi, Miya sibuk mengecek nama-nama undangan yang hadir dan melakukan koordinasi akhir dengan pihak WO di rumah. Menggantikan mamanya yang terlanjur mempunyai janji temu dengan pihak katering.
Semua persiapan pernikahan Miya dan Arzan sudah 95% yang digelar di suatu gedung pertemuan. Walaupun tidak mengundang banyak tamu, namun tetap saja semua harus dipersiapkan dengan matang.
Wajah Miya berbinar melihat sosok Ciara yang tertawa memperlihatkan deretan giginya. Ciara sedang bercanda bersama teman perempuanya, seorang gadis kecil berambut keriting.
“Ciaaa!” seru Miya sambil melambai ke arah Ciara.
“Mamaaa!” Ciara langsung berlari dan memeluk kaki Miya.
Miya menunduk dan berbisik ke telinga putrinya, “Cia mau es krim nggak?”
“Mauu!” Ciara bersorak.
Miya menggandeng Ciara keluar dari sekolah. Mereka berjalan kaki bergandengan tangan dengan gembira. Miya bermaksud mengajak Cia makan es krim di kedai kopi langganannya. Arzan berjanji akan menjemputnya dan Ciara, dan mereka akan mengambil cincin pesanan.
Sekitar sepuluh menit berjalan kaki, Miya dan Ciara sudah sampai di kedai kopi “Javanest”. Miya mengusap keringat yang bermunculan di kening Ciara dengan tisu dan menggandeng kembali putrinya kemudian melangkah ke dalam kedai.
Para pegawai kedai langsung menyapa dengan ramah dan mengajak kenalan tamu kecil mereka yang menggemaskan. Beberapa orang pegawai mencubit pipi Cia karena gemas. Ciara malah tertawa senang dan menikmati perhatian yang tumpah kepadanya.
Prang!
Tiba-tiba terdengar suara benda pecah di lantai hingga semua menoleh mencari sumber suara. Tampak laki-laki bermasker itu menjatuhkan cangkir yang dipegangnya.
“Pak Tama!” Salah seorang pegawai laki-laki yang tadi ikut berkerumun menyapa Ciara langsung melesat menghampiri lelaki pemilik kedai.
Miya ikut memperhatikan peristiwa yang terjadi. Keningnya mengernyit ketika sosok laki-laki itu malah mengabaikan pegawainya yang berusaha menolong. Semakin bertambah keheranannya saat lelaki bertopi itu menatap tajam Ciara dan melangkah mendekat.
Laki-laki berkaus hitam itu berdiri di hadapan Ciara. Kemudian berjongkok hingga wajahnya sejajar dengan Cia. Memindai gadis kecil berkuncir dua yang menatap dengan sorot kebingungan. Tangannya sedikit bergetar saat membuka masker yang menutupi wajahnya, hingga memperlihatkan brewoknya yang cukup tebal. Gumaman lirih keluar dari mulutnya seraya menangkup wajah bulat Ciara. “Ciaaa ....”
Miya tersentak. Wajahnya berubah pias mengenali suara yang dirindukannya bertahun lalu. Satu tangannya menutup mulutnya, tidak mempercayai akan pendengarannya. Bibirnya berbisik lirih dengan suara tercekat. “Galeeen ....”
Laki-laki berkaus hitam itu melepas topinya hingga rambut gondrongnya terlihat, kemudian melepas kacamata photocromic yang biasanya menghiasi wajahnya. Lelaki itu mendongak, menatap Miya dengan sendu.
Tangis Miya pecah seketika saat pandangannya bertemu dengan Galen. Sosok yang dirindukannya bertahun-tahun lalu. Dia masih saja terisak saat lengan kokoh itu merengkuhnya, menariknya dalam dekapan. Bahkan aroma tubuh Galen masih sama, parfum yang menjadi candu indra penciumannya dulu. Tangisnya semakin pilu saat, Galen memeluknya dan Ciara bersamaan.
Kata maaf berulang kali meluncur dari bibir Galen. Hati mereka dipenuhi haru sekaligus kepedihan mendalam.
“Papaaa.” Ciara berucap lirih saat mengenali sosok yang mendekapnya erat. Gadis itu mengingat foto yang selalu diperlihatkan Miya saat Ciara menanyakan papanya.
Hati Galen meledak bahagia mendengar sebuah kata yang sangat dia rindukan. Air matanya pun tumpah. Dia bahkan tidak memedulikan jika dikatakan laki-laki cengeng.
Berbagai emosi menyatu dalam dada, membuat para pegawai kafe yang menyaksikan ikut terharu. Beberapa pegawai wanita tampak menyeka sudut matanya yang basah.
Senyum Arzan mengembang saat turun dari mobilnya. Dia datang lebih awal dari waktu janjian, ingin memberikan kejutan kepada Miya dan Ciara.  Begitu memasuki pintu kafe, langkah Arzan terhenti. Otaknya berusaha mencerna peristiwa di hadapannya. Meskipun tidak mengenal sosok lelaki itu, namun insting Arzan mengatakan bahwa dia adalah sosok yang dicemaskannya akhir-akhir ini. Dengan dada sesak, Arzan berbalik meninggalkan kedai tanpa disadari oleh siapa pun.
Sebelum menyalakan mesin mobil, Arzan mengirim pesan kepada Miya bahwa dia tidak jadi datang karena ada kasus yang harus segera ditangani. Arzan minta maaf dan meminta Miya pulang menggunakan taksi online. Dia berjanji akan mengambil cincin mereka setelah urusannya selesai, dan langsung ke rumah Miya. Dokter muda itu tidak menunggu balasan, dan langsung memasukkan ponselnya ke saku celana. Arzan mengembuskan napas panjang, meraup oksigen sebanyak-banyak sebelum menyalakan mesin mobil.
***
“Gimana persiapan pernikahan kita?”
“Eh, i-iya, Kak. Barusan Kakak bilang apa?” Miya tergagap. Wanita itu menatap Arzan dengan rasa bersalah. Sesaat pikirannya melayang pada peristiwa siang tadi.
Arzan menatap Miya, menelisik wajah wanita di hadapannya yang terlihat mempunyai beban. “Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu? Kamu tau ‘kan kalo aku pendengar yang baik. You can tell anything. Even, the worst ”
Miya mengerjap, menatap Arzan dengan hati bimbang. Haruskah dia bercerita tentang peristiwa siang tadi? Miya merasa shock. Hati dan otaknya sungguh tidak sinkron sekarang. Percakapan dengan Galen berputar-putar di otaknya. Dia membutuhkan waktu guna mencerna pertemuan dengan Galen tadi sebelum bercerita kepada Arzan.
“Mungkin efek menjelang pernikahan, Kak.” Miya tertawa kecil mencoba berkelit.
Arzan mendesah kecewa karena Miya tidak menceritakan kejadian siang tadi. Laki-laki itu mencoba berpikir positif. Satu hal yang didapat dari terapinya bersama Dee adalah tidak buru-buru menghakimi seseorang dengan praduga kita. Arzan terbiasa melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang dan mengumpulkan fakta, hingga dia baru membuat kesimpulan.
“Istirahatlah lebih cepat. Aku nggak ingin kamu kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Biar WO dan Tante Riana yang mengurus pernikahan,” tutur Arzan lembut.
Miya hanya bisa tersenyum. Hatinya dipenuhi tusukan rasa bersalah kepada lelaki sebaik Arzan. Ingin rasanya bicara jujur tentang Galen. Namun, mulut Miya serasa terkunci.
“Aku pulang dulu.” Arzan beranjak dari kursi dan melangkah ke halaman diikuti Miya. Setelah berada di balik kemudi, Arzan menurunkan jendela. Maniknya menyorot calon istrinya dengan sendu. “Can i ask something? If you mind, you can’t answer it.”
“Kakak boleh tanya apa aja. Insya Allah kalo bisa, Miya jawab.”
“Hmm ... misal Galen tiba-tiba datang dan memintamu kembali. Would you?”
Miya merasa jantungnya berhenti berdetak mendapat pertanyaan itu. Matanya melebar. Pertanyaan yang sama ditanyakan Galen tadi siang. Hal yang membuat hatinya berkecamuk seharian ini.
“Bukankah semua persiapan pernikahan sudah selesai? Insya Allah, Miya juga bukan orang yang ingkar janji.” Miya menatap Arzan dengan sendu. Pada akhirnya, sebuah keputusan harus dibuat Miya. Dia berusaha menguatkan hati demi menjalani garis takdir-Nya.
***

Fix, ya ... aku gak jadi spoiler tapi kasih bab utuh sebagai ending di wp.

Tengkyu yang udah mau baca ceritaku. Lop yu sekebon😘😘😘

Malang, 15 Sep 2022
Askina Hasna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top