Bab 30. Rencana Pernikahan

Yuhuu ... ada yang manis-manis hari ini😍😍

Met baca, Genks😘

🌷🌷🌷

Suara lagu yang baru dipelajarinya di sekolah kemarin terdengar sepanjang perjalanan dari bibir mungil Ciara. Miya sesekali mengikuti lagu itu, sementara Arzan tersenyum kecil dari balik kemudi. Mereka sedang mengantar Ciara yang saat ini sudah bersekolah TK.
Tanpa terasa usia Ciara kini sudah menginjak lima tahun. Sudah tiga bulan Cia duduk di bangku TK. Mengantar jemput putrinya kini menjadi rutinitasnya setiap hari.
Miya menggandeng Ciara yang mengenakan seragam berwarna biru memasuki halaman TK. Menyerahkan putrinya kepada seorang guru wanita yang menyambut Ciara dengan senyum hangat. Suara canda tawa anak-anak berseragam biru yang sedang bermain memenuhi udara, membuat suasana pagi menjadi ceria. Miya mencium pipi putrinya dan berjanji akan menjemputnya nanti siang.
“Kamu nggak ikut ke rumah sakit aja? Aku Cuma bentar, ada berkas-berkas yang harus diurus.” tanya Arzan begitu Miya mengempaskan pantatnya di kursi mobil.
Miya berpaling dan berpikir sejenak. “Nggak deh, Kak. Miya tunggu di tempat biasa aja. Lagi pula Ciara hari ini keluar jam sepuluh. Cuma bentar, kok. Ntar Miya jalan aja ke sekolah Cia.”
“Oke, kalo gitu aku jemput nanti di sekolah Cia aja. Tunggu aku misal sedikit terlambat, ada meeting sebentar. Nanti setelah itu kita langsung ke butik buat fitting gaun sama Cia.”
Miya mengangguk kecil.
Arzan menatap calon istrinya dengan buncah bahagia. Akhirnya penantian selama dua tahun berbuah manis. Miya membuka hati untuknya. Yah, Arzan harus mengakui akhirnya dia dulu yang lebih dulu jatuh ke pesona Miya dan Ciara. Membuka hati dan menerima kehadiran sosok baru dalam hidup Arzan membuat luka itu kembali menutup. Kenangan tentang Alesha–cinta pertamanya—akan tersimpan rapat dalam sudut hatinya. Pertemuan dua hati yang terluka bisa saling menyembuhkan.
Miya membalas tatapan Arzan. Bibirnya membentuk lengkungan samar. Kehadiran Arzan dalam hidupnya serasa malaikat yang dikirimkan Tuhan. Menariknya dari lubang kegelapan hingga bisa bangkit berdiri tegak menapaki hidup. Menjaga dirinya dan Ciara dengan sebuah ketulusan. Memberikan ruang hatinya guna membuka diri tanpa menuntut.
“Bagaimana jika rasa itu belum hadir, Kak. Miya takut mengecewakan Kakak. Aku menyayangi Kakak. Sungguh. Tapi cinta? Entahlah. Hatiku belum berani mengatakan bahwa ini cinta,” ucap Miya suatu malam saat mereka duduk berdua di kedai kopi.
“Itu saja sudah cukup. Biar aku yang berusaha membuatmu jatuh hati. Asalkan kamu dan Ciara berada di sisiku dan selalu menemaniku.” Satu bulan yang lalu, Arzan memberanikan diri menanyakan kelanjutan hubungan mereka. Setelah peristiwa lamaran yang dramatis dua tahun lalu, Arzan memenuhi janjinya. Dia ingin melindungi Miya dan Ciara, hal terakhir yang diinginkannya adalah kebahagiaan Miya. Arzan tidak ingin melihat wanita yang disayanginya terpuruk lagi.
“Aku bersedia, Kak. Tolong bantu Miya menjadi pendamping yang baik bagi Kakak.” Miya menguatkan hati menerima lamaran Arzan. Bagaimana mungkin dirinya menolak lelaki sebaik Arzan?
Kilasan peristiwa satu bulan lalu menyeruak dalam ingatan. Sapaan Arzan menyadarkan lamunannya saat mobil hitam itu berhenti di kedai langganan.
Senyum lebar milik Arzan beserta lambaian tangannya menghilang seiring mobil laki-laki itu melaju. Setelah menerima pinangan Arzan, mereka segera merencanakan pernikahan. Riana adalah orang yang paling sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Arzan yang akan digelar dua minggu lagi. Miya hanya minta akad nikah secara sederhana.
Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh Riana dan Arzan. Miya bahkan tidak perlu repot mengurus semuanya. Arzan menyerahkan semua kepada WO mengingat waktu yang cukup pendek dan segala kesibukannya.
Hari ini, Arzan dan Miya berencana fitting gaun pengantin. Sementara menunggu waktu, Miya memilih menghabiskan waktu di kedai favoritnya. Kedai bergaya jawa modern ini langsung menarik perhatiannya waktu pertama kali melihatnya. Sangat jarang menemui kedai seperti ini di kota Banjarbaru. Miya selalu merasakan kerinduan akan rumahnya dulu setiap memasuki tempat ini.
Dengan langkah ringan Miya melewati coffe bar, tersenyum ramah kepada para pekerja yang sebagian besar sudah dikenalnya. Mengangguk singkat kepada seorang laki-laki berkaca mata gelap dan memakai masker yang selalu terlihat di balik meja tinggi. Penampilan yang agak aneh menurutnya. Belakangan, dia baru mengetahui jika lelaki itu merupakan pemilik kedai ini dari hasil investigasinya kepada seorang pelayan.
Miya langsung menuju tempat favoritnya di sisi outdoor.  Meja nomor 20 itu selalu saja menjadi tempatnya duduk, sedikit tersembunyi karena berada di balik pilar. Semenjak Ciara mandiri—bisa sekolah tanpa ditunggui—Miya menghabiskan waktu di tempat ini dengan merancang berbagai desain busana. Bahkan, akhir-akhir ini dia mencoba membuat perencanaan untuk sebuah butik. Dia ingin mewujudkan semua rancangan miliknya menjadi nyata. Saat ini, dia cukup berpuas diri dengan menyimpan semua karyanya dalam satu folder khusus di tablet miliknya.
Tak lama kemudian seorang pramusaji mengantarkan caramel machiato dan seporsi kentang goreng ukuran medium. Miya tersenyum singkat seraya mengucapkan terima kasih. Hampir dua bulan menjadi pelanggan di sini, sehingga Miya tidak perlu lagi memesan. Secara otomatis, seorang pelayan akan mengantarkan pesanannya yang selalu sama tiap kali dia datang.
Begitu membuka tablet dan memasang airpods, Miya langsung larut dengan dunianya. Wanita itu terkejut, saat semangkuk desert berupa waffle dengan toping ice cream tersaji di hadapannya. Dia mendongak dan menatap pelayan yang berdiri di hadapannya dengan bingung. “Maaf  Mbak, saya nggak pesan ini. Salah meja sepertinya.”
Gadis berkuncir satu yang mengenakan seragam hitam itu hanya tersenyum manis. “Ini hadiah dari bos kami karena telah menjadi pelanggan setia.”
Miya mengucapkan terima kasih kepada gadis manis tadi. Udara yang cukup panas memang pas jika menikmati sesuatu yang segar. Begitu ice cream cokelat itu menyentuh lidahnya seketika ingatannya melayang kepada Ciara. Putrinya pasti suka sekali. Miya berencana mengajak Cia suatu saat ke sini. Sesaat kemudian, seporsi dessert itu pun tandas. Miya mencatat dalam hati akan mengucapkan terima kasih kepada sang pemilik kafe secara langsung.
Wanita berhijab salem itu larut kembali pada stylus pen di tangannya. Kepalanya dibanjiri ide-ide yang ingin dieksekusi. Kali ini Miya membuat berbagai rancangan berupa casual outfit. Gaya busana muslimah yang terlihat muda dan segar, namun tetap syari. Miya memainkan banyak warna cerah dan motif abstrak pada busananya. Dia bahkan merancang sendiri hijab maupun pasmina instan untuk pelengkap busana yang terlihat cute.
“Hai, sudah selesai?” suara Arzan menyapa rungunya.
Miya terkejut dan langsung menatap jam di tabletnya. “Astaghfirullah. Sudah jam sepuluh kurang sepuluh.” Dengan tergesa Miya mengemasi barang-barangnya. Dia segera beranjak dan melangkah pergi dengan Arzan di sisinya. “Loh, kok Kak Arzan ke sini? Katanya mau jemput di TK?”
“Kebetulan urusannya selesai lebih cepat. Jadi langsung ke sini.”
Miya segera membayar pesanannya dan berlari kecil menyusul Arzan yang lebih dulu menuju mobil. Dia tidak menyadari ada sepasang mata yang selalu mengawasi dirinya selama beberapa waktu di tempat ini. Sosok itu melangkah mendekati jendela, menyorot tajam ke arah Miya dan Arzan dengan gemuruh dalam dada.
***
Arzan membeku melihat penampilan Miya yang baru keluar dari ruang ganti dibantu seorang asisten. Gaun pengantin yang dikenakan Miya terlihat sempurna di tubuhnya. Sederhana dan elegan. Sangat sesuai dengan karakter Miya. “Cantik!” bisik Arzan di telinga Miya hingga membuatnya bersemu.
Arzan juga terlihat sangat tampan dengan setelan berwarna putih yang membalut tubuh tegapnya. Pandangan keduanya bertemu. Untuk sesaat dada Miya berdesir. Wanita itu segera menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Bisakah acaranya dimajukan besok aja?” lirih Arzan bertanya. “Tampaknya aku bakalan nggak bisa tidur malam ini. Kepikiran bidadari.”
“Kaaak!” Miya mencubit lengan Arzan dengan gemas. Dia yakin pipinya sudah merona.
“Minggil Mama. Jangan deket-dekat Om Arjan.” Ciara menghambur di antara mereka dan mendorong Miya ke samping. “Om, Cia udah kayak prinses belum?” Ciara berputar di depan Arzan memperlihatkan gaunnya yang mengembang cantik.
Sontak Arzan dan Miya terkekeh bersamaan melihat tingkah Ciara. Kedua saling bertatapan sejenak dengan hati berdegup.
***

Ehm, ada yang mulai berdesir, nih.

Duh, siapa lagi yang jadi stalker Miya?
.
.
.
.
Alhamdulillah akhirnya bisa menamatkan versi wp. Maafkeun bila tidak bisa memuaskan semuanya.
Insya Allah, mulai besok aku akan repost ceritaku Injury love dan Terikat Akad bergantian sembari aku merampungkan naskah ini.
Buat teman-teman yang mau kasih krisan, monggo, aku welcome banget. Seneng malah.

See you😘

Malang, 13 Sept 2022
Askina Hasna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top