Bab 29. Lamaran?
Met baca😘
.
.
.
.
Sorry for typo🙏
🌷🌷🌷
Gulungan asap menguar ke udara tertiup embusan angin malam. Nikotin benar-benar menjadi teman setia kala hati gundah. Asbak yang tergeletak di lantai bahkan tak sanggup menampung abu dan puntung rokok hingga berserak di lantai marmer.
Teras samping kini menjadi tempat favorit Galen menghabiskan malam. Menunggu kantuk yang tak kunjung datang meskipun jam sudah jam satu dini hari. Dia bahkan tak memedulikan angin malam yang berembus cukup dingin, laki-laki itu dengan santainya memakai oblong hitam yang cukup tipis.
Pikiran Galen mengembara menjelajahi waktu. Mengembuskan napas panjang, laki-laki berambut ikal itu teringat setahun yang lalu telah menjatuhkan talak kepada istrinya. Rasa nyeri akibat perpisahan itu masih terasa segar. Betapa ikhlas itu terkadang hanya sebagai pemanis mulut, karena menjalaninya butuh perjuangan hati yang luar biasa.
Menjadi duda di usia muda bukanlah pilihan Galen. Idealisme membangun rumah tangga impian terpaksa harus kandas karena egoisme usia muda. Sebuah penyesalan memang harus dibayar mahal oleh Galen. Kehilangan harta miliknya yang paling berharga. Istri dan anaknya.
Laki-laki yang kini berambut gondrong sebahu menatap nanar foto mereka bertiga di ponsel. Senyum terukir samar di bibir Galen tatkala melihat wajah ceria Miya dan Ciara di sisinya, bersamaan dengan hati yang berdenyut pilu. Jemarinya tak pernah bosan menggulirkan satu demi satu foto di galeri ponselnya. Berbagai kenangan menghantam memori Galen kala menatap foto-foto mereka bertiga.
“Tunggu aku, Miya. Papa akan menjemputmu Cia,” lirih Galen dengan mengecup foto Miya dan Ciara yang berpelukan di ponselnya. Sudut matanya terasa panas. Sebuah tekad membara guna memperjuangkan sebuah asa dalam dada.
***
Miya menatap Ciara yang asyik berenang menggunakan pelampung di temani Arzan. Senyum terukir di wajahnya melihat Ciara yang tertawa bahagia, sementara Arzan mendorong pelampung Cia. Miya sedikit pusing, sejak semalam tubuhnya meriang. Dia memilih duduk santai di kursi pinggir kolam renang.
Seperti biasa, setiap tidak ada jadwal Arzan pasti datang ke rumah Miya menemani Cia bermain. Sejak pagi, Ciara merengek ingin sekali berenang. Miya tidak bisa menemani karena kondisi tubuhnya yang tidak fit, akhirnya Arzan mengalah menemani Cia berenang. Dikarenakan kondisi tubuh Miya pula, rencana ke water boom terpaksa di tunda dan diganti dengan berenang di rumah. Ciara yang semula rewel berhasil dibujuk Arzan.
Sambil mengamati Ciara berenang, jemari Miya menggoreskan sketsa rancangan baru di tablet miliknya. Biasanya Miya hanya merancang pada malam hari di kamarnya yang sunyi. Namun, sejak semalam ide-ide baru membanjiri otaknya. Jari-jarinya keburu gatal ingin segera menuangkan idenya sebelum keburu hilang. Miya begitu fokus sampai tidak menyadari suara langkah yang mendekat.
“Sedang apa kamu?” bentak Dirga yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Miya. “Kamu ... ternyataaa ....” Dirga mendesis geram. Tiba-tiba tangannya langsung mengambil tablet di tangan Miya, dan membantingnya hingga berserakan di lantai.
Miya tersentak. Dia menatap nanar tablet miliknya yang layarnya pecah. Tubuhnya seketika gemetar mendapati Dirga yang menyorotinya penuh amarah. Memori masa lalu menghantamnya. Miya meringkuk di kursi dengan tubuh bergetar. Keringat dingin membanjiri pelipisnya sambil terisak. “Ampun Paaa ... jangan Paa ....” Bibirnya terus saja meracau memohon ampun seraya tersedu.
Arzan yang juga terkejut, langsung menggendong Ciara keluar dari kolam. Lelaki itu langsung menyerahkan Ciara kepada baby sitter yang berdiri di pinggir kolam dan memintanya segera membawa Cia masuk. Dia kemudian berlari menghampiri Miya bersamaan dengan Riana yang tergopoh-gopoh mendekat dengan raut bingung.
“Astaghfirullah. Miya! Ada apa, Nak? Kamu kenapa?” Riana langsung duduk dan memeluk putrinya. Wanita itu kemudian berpaling menatap Dirga menuntut penjelasan. “Ada apa, Pa? Kenapa Miya?”
“Tanya anakmu! Kenapa masih saja membodohi diri dengan gambar-gambar tak berguna itu. Beraninya dia!” tunjuk Dirga penuh amarah kepada Miya. “Aku diam tidak memaksanya kuliah lagi demi kesehatannya. Tapi tidak kuizinkan dia menjadi desainer. Itu hanya pekerjaan pecundang. Tidak akan kubiarkan anakku mengotori garis keturunan kita. Tujuh generasi di keluarga kita adalah dokter. Kamu jangan pernah menghancurkan nama baik keluarga Miya!”
“Papa cukuup!” Riana berteriak histeris. “Sudah, Pa ... mama mohon kasihani Miya.” Riana memeluk erat Miya, memohon belas kasih Dirga dengan air mata berderai.
Arzan yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Dia tidak tahan melihat kelakuan Dirga yang semena-mena. “Dokter Dirga. Stop. Sepertinya Anda keterlaluan. Lihat kondisi Miya, dia ketakutan setengah mati. Miya lagi berjuang untuk sembuh. Jangan sampe kondisinya balik ke nol lagi.” Arzan menatap dengan cemas ke arah Miya yang masih ketakutan. “Lagi pula apa yang salah jadi desainer? Itu luar biasa. Tidak semua dianugerahi bakat seperti Miya. Putri Anda sangat berbakat dalam hal itu, Dokter.” Arzan merasa sangat heran dengan sikap Dirga.
“Sepertinya Anda yang keterlaluan, Dokter Arzan. Ini urusan keluarga saya. Anda nggak punya hak ikut campur!”geram Dirga.
“Saya akan menerjang batasan itu melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata saya.”
Dirga tertawa keras hingga membuat semua yang menatapnya terperangah. “Sikap Anda seperti suami posesif yang membela istrinya. Anda bukanlah siapa-siapa, Dokter,” sinis Dirga.
Arzan mengerjap. Menatap Dirga dengan tidak percaya. Nuraninya sebagai laki-laki terusik. Tanpa berpikir panjang, Arzan berdiri tegak dengan tubuh yang masih basah dan menyorot tajam ke arah Dirga. “Kalo begitu jadikan saya siapa-siapa. Saya akan melamar Miya segera. Bukankah Anda bilang bahwa Dokter adalah orang pertama yang akan merestui hubungan kami?”
Dirga tersenyum miring. Dengan hati berbunga, dia menyalami Arzan. “Sure! Saya akan merestui kalian. Siapa yang tidak bangga mendapat menantu pemilik Metro Hospital?”
Miya yang merasa sedikit tenang, langsung shock mendengar perkataan Arzan dalam pelukan sang mama. Riana pun tidak kalah terkejut.
Arzan tersenyum hangat. Dia sedikit membungkuk dan berkata dengan lembut kepada Riana. “Tante, tolong bawa calon istriku ke dalam untuk istirahat.”
Riana dengan agak bingung, membantu Miya untuk bangkit dan memapahnya ke dalam. Sementara Miya, menatap Arzan dengan sorot bingung.
Arzan mendekati Miya dan berbisik lirih, “Istirahatlah, nanti kita akan bicara lagi masalah ini.” Pandangan Arzan mengikuti sosok Miya dan Riana yang menghilang di balik pintu kaca. Sesaat kemudian, dia berpaling kepada Dirga. “Sepertinya kita akan bicara panjang, Dokter.”
“Sure! Saya tunggu di ruang kerja saya. Gantilah baju dulu!” Setelah mengatakan itu, Dirga segera berlalu dan masuk ke ruang kerjanya.
Arzan melepas kaca matanya, mengusap wajahnya yang masih basah. Air masih menetes dari tubuhnya dengan kaus dan celana yang masih melekat erat memperlihatkan otot tubuhnya yang bidang. Mengembuskan napas panjang, Arzan berharap keputusan yang diambilnya ini adalah yang terbaik.
Setelah berganti pakaian, dia segera menemui Dirga di ruang kerjanya. Kedua laki-laki itu berbicara hampir dua jam dalam ruangan di balik pintu berwarna cokelat.
Malamnya Arzan mengirim pesan kepada Miya.
[Mulai malam ini, aku yang akan melindungimu dan Ciara. Kamu tidak perlu takut lagi. Jangan pikirkan apa pun. Aku akan memberimu waktu untuk pernikahan kita. Menunggu sampai kamu siap, membuka diri mengawali lembaran baru. Kita akan bicara lagi secepatnya.]
Miya membaca pesan di ponselnya yang dikirimkan Arzan dengan hati berkecamuk. Dia menatap setiap kata yang terlihat dan berusaha mencernanya. Memikirkan sebuah lamaran mendadak di pinggir kolam renang tadi. Ada rasa haru melihat Arzan membelanya di hadapan Papa. Namun di saat bersamaan rasa cemas hadir dalam pikirannya. Akankah hatinya siap membuka lembaran baru sementara masa lalu masih mencengkeram erat di sanubari?
***
Malang, 12 Sept 2022
Askina Hasna
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top