Bab 28. Pulih

Happy reading😘

🌷🌷🌷

Janji adalah ucapan yang harus ditepati. Salah satu yang akan dihisab di yaumul akhir karena sesungguhnya setiap kata yang keluar dari bibir kelak harus dipertanggungjawabkan.
Arzan, salah satu lelaki yang sangat memegang teguh janjinya. Pagi-pagi sekali, dia sudah muncul di rumah Miya. Wajahnya terlihat segar meskipun kantung matanya terlihat sedikit gelap. Maklum saja, semalam Arzan baru tiba di rumahnya pukul satu dini hari. Meskipun masih ada sisa kantuk, dia tetap memaksakan dirinya untuk menjemput Miya dan Ciara. Segelas kopi kental sebelum berangkat sudah mencukupi baginya guna mengusir kantuk.
“Om Aljaaan!” seru Ciara menghambur ke pelukan Arzan. Padahal lelaki itu baru saja turun dari mobilnya.
Arzan langsung menggendong Ciara masuk sambil mencubit hidung Cia dengan gemas. Pertama kali melihat Cia, Arzan langsung jatuh hati. Gadis kecil itu sungguh menggemaskan. Sikapnya yang ramah dan ceria mudah berbaur dengan siapa saja.
“Om punya hadiah, nih, buat Cia.”
Ciara langsung bertepuk tangan dengan gembira. “Apa Om? Cia suka sekali kalo dapet hadiah.” Mata Ciara mengerjap lucu, masih dalam gendongan Arzan.
“Tunggu, ya. Om ambil di mobil dulu.” Arzan menurunkan Ciara dari gendongannya dan menuju ke mobil. Sesaat kemudian dia sudah membawa skuter mini lengkap dengan helm berwarna pink yang imut.
“Horeee!” Ciara bertepuk tangan sambil loncat-loncat dengan riang. “Mamaaa lihaaat!” teriak Ciara memanggil Miya.
Miya yang batu saja selesai memakai hijab, tergesa-gesa keluar rumah. Dia tercengang melihat putrinya sudah asyik bermain dengan Arzan di halaman.
“Cia, hati-hati, Nak!” Miya terlihat khawatir melihat putrinya yang berdiri di atas skuter mengelilingi halaman yang cukup luas. Arzan mengekori di belakangnya, menjaga Ciara agar tidak jatuh.
“Cia bisa, Mama! Yeayyy!” Ciara tampak sangat gembira.
Miya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya. Dia melangkah mendekati Arzan. “Kak, tolong jangan manjain Cia. Tiap datang Kakak selalu saja bawa oleh-oleh untuk Cia. Miya takut Cia jadi anak manja,” keluhnya.
Arzan hanya tertawa kecil. Pandangannya tetap fokus mengawasi Cia. “Kamu jangan berlebihan. Cia harus banyak main di luar melatih motoriknya. Lihat, anak itu tampak gembira! Masak kamu tega merusaknya?”
Wajah Miya berubah masam. Selalu saja seperti itu jika berdebat dengan Arzan. Dia selalu punya alasan agar Miya diam. Tentu saja bagi seorang ibu, kebahagiaan anak itu utama.
Are you ready? Can we go now?” tanya Arzan menelisik Miya.
Masih dengan cemberut, Miya mengangguk. Dia kemudian kembali masuk rumah guna mengambil tas dan berpamitan kepada Riana.
Sementara Arzan merayu Ciara agar mau berhenti bermain. Lelaki itu membujuk Cia dengan janji membelikan ice cream saat gadis kecil itu merajuk.
***
Mobil Arzan menyusuri jalan utama yang menghubungkan Banjarbaru dan Banjarmasin. Perjalanan menuju rumah Dee memakan waktu sekitar empat puluh menit. Ciara tampak mengantuk sepanjang perjalanan, gadis cilik itu kekenyangan setelah menghabiskan aneka camilan dan dua kotak susu yang disediakan Arzan di mobilnya khusus untuk putri Miya.
Sesampainya di kediaman asri itu, Dee yang kebetulan sedang berkebun langsung melepas sarung tangannya dan menyambut kedatangan mereka dengan hangat.
Arzan menggendong turun Ciara, sementara Miya mengekori di belakangnya.
“Wow, kalian ... just like a family. Dan ini pasti Ciara, ya? Hai Sayang ....” Dee menggoda Arzan dan menyapa Ciara yang berada dalam gendongan laki-laki itu.
Arzan langsung menghadiahi pelototan. Sementara Dee terkekeh senang karena berhasil menggoda dokter muda itu.
“Yuk, ah, masuk. Aku udah masak spesial buat Miya. Gudeg ala Dee. Kalian wajib makan di sini. Aku lagi kangen Jogja, nih.” Dee terus aja bicara sambil mengajak masuk tamunya ke rumah.
Tanpa basa-basi, Dee langsung mengajak tamunya ke ruang makan. Di sana sudah terhidang lengkap masakan spesial ala Jogja. Ada gudeg lengkap dengan sambal goreng krecek. Wanita berdarah Jawa itu juga menghidangkan es buah buatannya yang segar.
“Enak banget, Mbak,” puji Miya. Dia makan sambil menyuapi Ciara.
“Kok, aku baru tahu kamu bisa masak, ya. Setauku bisanya Cuma ngomel sama ceramah,” sindir Arzan.
Semprul!” umpat Dee sambil melempar serbet yang berada di dekatnya.
Arzan tertawa lebar. Dia berkelit hingga serbet itu jatuh ke lantai. “Bener kata Miya. Enak banget. Makanya aku curiga jangan-jangan cuma pesen.”
“Enak, aja! Mana ada di sini orang jual gudeg. Aku bikin semaleman, tauk. Sampe diomeli suami.” Hubungan Dee dengan Arzan sangat dekat, mirip adik-kakak. Keduanya sering kali saling ledek jika bertemu.
Siangnya, Arzan mengajak Ciara berenang di water boom yang berada tak jauh dari kediaman Dee. Hanya memerlukan waktu sepuluh menit perjalanan.
Sementara itu, Dee mengajak Miya ke ruangannya. Miya langsung saja merebahkan diri di sofa favoritnya selama empat bulan ini.
“Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan itu selalu menjadi pembuka pertemuan mereka.
“Alhamdulillah. Hepi. Akhirnya bisa gambar lagi,” jawab Miya sambil menatap langit-langit.
“Masih menyimpan amarah sama Papa?” Kali Dee sengaja mengkonfrontir Miya sdengan pertanyaan sensitif. Papa Miya adalah sumber masakah terbesar dari emosi Miya. Selama beberapa bulan, progres pasiennya sangat baik. Kondisi mental Miya cukup stabil.
Miya terdiam. Setiap mengingat papanya, hatinya masih terasa nyeri. “Masih sepertinya, Mbak. Sedikit. Entahlah. Selama ini, Papa sangat jarang berinteraksi langsung. Sampe saat ini nggak ada paksaan ataupun intervensi apa pun.”
“Galen?”
“Kangen pastinya. Ciara ‘kan duplikat Galen. Tapi, aku belajar menerima perpisahan kami. Belajar ikhlas menerima takdir. Aku belajar menjalani hari demi hari dengan syukur untuk hal kecil.”
“Kalo Arzan. What do you think about him?
Miya tertawa kecil. “He’s such a good friend. Super baik. Tulus. Bersyukur ada Kak Arzan dalam hidup Miya.”
Selama dua jam, Miya mengungkapkan semua yang dirasakannya. Dee menyimak dan mengambil analisa dari hasil interview mereka. Tangannya mengetikkan beberapa poin yang menjadi perhatiannya di sebuah tablet. Senyum terukir di bibir wanita itu setelah sesi pertemuan mereka berakhir.
Miya sudah kembali duduk dan mengembuskan napas lega. Hatinya terasa lapang setiap kali selesai sesi terapi.
Dee kemudian berpindah duduk di samping Miya, kemudian menggenggam erat tangannya. Mencoba mentransfer energi positif agar Miya mempunyai semangat untuk sembuh. “Pada akhirnya semua kembali kepada Allah. Mintalah terus agar hati dikuatkan dan dilapangkan. Laa haula wa laa quwwata illaa billah. Sungguh tiada daya dan kekuatan hanya milik Allah. Usahakan jangan putus salat malam, ya.”
Miya mengangguk takzim. Nasihat Dee selalu menyejukkan hati. Dari Dee, Miya belajar lagi mengenal Allah lebih dekat. Belajar menjadi hamba yang lebih baik dari memulai hal kecil dalam hidupnya. Miya merasa masih banyak kekurangan, karena dia merasa masih ada emosi yang terpendam dan masih belum terurai sepenuhnya.
“Itu butuh waktu. Sabar dan tawakal dalam menjalani semua prosesnya.” Itu selalu yang dikatakan Dee tiap kali Miya mengeluhkan emosi yang belum terurai.
“Makasih banyak, ya, Mbak. Aku nggak tahu apa jadinya kalo nggak ada, Mbak,” lirih Miya sambil memeluk Dee.
“Hush! Allah itu semua, Miya. Semua pertolongan datang dari Allah. Mbak sama Arzan hanya perantara semata,” ucap Dee mengingatkan.
Miya mengeratkan pelukan mereka dengan mata berkaca-kaca. Dia bisa merasakan usapan tangan Dee di punggungnya yang terasa menenangkan.
***

Malang, 10 Sept 2022
Askina Hasna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top