Bab 26. Bertemu Psikiater

Obat kangen buat yang nungguin Miya🤗

Happy reading😘

🌷🌷🌷

Arzan mempercepat langkahnya di sepanjang koridor rumah sakit. Dia segera menyejajarkan langkah dengan Dirga yang baru keluar dari ruang meeting bedah. “Dokter Dirga bisa kita bicara sebentar?”

Dirga memicing sejenak melihat Arzan yang sedikit terengah. “Hal apa?” Dia berhenti sejenak dan memalingkan wajah hingga mereka berhadapan.

“Perihal putri Anda? Miya.” Arzan menatap dokter senior itu dengan tajam. Sungguh, rasanya segan mencampuri urusan keluarga Miya. Namun, semenjak Miya keluar rumah sakit dua minggu yang lalu belum ada tindakan khusus mengenai kondisi psikologis Miya.

Beberapa kali berjumpa, wanita itu masih saja belum mau bicara. Bahkan, Miya masih enggan berinteraksi dengan putrinya, Ciara. Sedikit progres adalah Miya sudah tidak sering melamun dan tampak asyik dengan tablet pemberiannya.

Arzan sudah bicara dengan Riana dan Fadhil, tentang perlunya Miya mendapat terapi psikologis. Sebenarnya, Riana dan Fadhil pun menyadari hal itu, namun mereka merasa tidak berdaya karena Dirga menolak terapi Miya. Hal itu sungguh membuatnya terkejut.

Kini, dia memaksakan diri melewati batas dan berbicara langsung kepada dokter bedah senior itu. Arzan bisa merasakan aroma ketidaksukaan laki-laki di hadapannya ketika dia menyebut nama putrinya.

“Kita bicara di ruangan saya aja,” putus Dirga. Kondisi koridor rumah yang sakit yang ramai tidak memungkinkan mereka bicara. Lagi pula Dirga tidak suka membicarakan keluarganya di tempat umum. Dirga beranjak pergi diikuti Arzan.

Keduanya tidak saling bicara, hanya sesekali mereka membalas sapaan para perawat yang berpapasan. Hingga Dirga membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Arzan masuk. “Ada apa dengan putri saya?” ucapnya dingin di balik meja kerja.

“Saya minta izin mengajak Miya untuk terapi. Saya rasa Miya butuh bantuan profesional.”

Dirga menatap laki-laki di hadapannya yang tampak serius dengan ucapannya. Dia sudah mendengar dari istrinya bahwa Arzan beberapa kali bertandang ke rumah dan menemui Miya. Dia tidak menyangka hubungan mereka cukup dekat. Dirga semula mengira bahwa kedekatan mereka yang awalnya di rumah sakit hanya formalitas dokter pasien semata.

“Dan apa tujuan dokter Arzan? Apa dokter menyukai putri saya?” tembak Dirga langsung. Dia memang tidak suka basa-basi dan terbiasa langsung menyuarakan isi pikirannya.

Arzan sedikit terkejut menerima pertanyaan Dirga. “Saya hanya ingin membantu sebagai seorang teman,” ucapnya diplomatis.

Dirga terbahak hingga kaca matanya sedikit melorot. Laki-laki mengubah posisi duduknya hingga condong ke depan, membenarkan posisi kaca matanya dan bicara dengan suara rendah. “Saya juga laki-laki dan pernah muda. Saya rasa nggak ada pertemanan sejati antara laki-laki dan wanita. Bullshit!”

Dirga tersenyum miring. “Untuk seorang pemilik rumah sakit, rasanya berlebihan jika memilih seorang janda anak satu. Anda bisa memilih wanita mana saja untuk jadi pendamping. Tapi ... bila itu terjadi saya orang pertama yang merestui hubungan kalian. Hati memang tidak bisa memilih kepada siapa dia jatuh hati, bukan?”

You can say anything you want, Dokter. I just wanna help my friend,” tegas Arzan. “Meski tanpa izin Anda saya tetap akan melakukannya.” Arzan bangkit dari duduknya.

“Saya rasa Anda bisa membawa konsultasi secara pribadi, Dokter. Anda pasti paham maksud saya,” ucap Dirga dengan suara rendah seraya tersenyum tipis. Dia kemudian bangkit dan mereka berdiri berhadapan.

Arzan langsung meninggalkan ruangan. Dia merutuk dalam hati sepanjang jalan. Sudah lama, dirinya kurang menyukai sikap dokter Dirga yang ambisius dan arogan. Namun, rumah sakit ini membutuhkan keahliannya sebagai dokter bedah.

Tidak banyak yang tahu jika dirinya seorang pemilik rumah sakit. Hanya segelintir orang saja, dokter-dokter senior  dan para direksi Metro Hospital yang mengenal dekat dengan almarhum ayahnya, dr. Winoto Ravindra. Pemilik Metro Hospital.

dr. Arzan Ravindra, Sp.PA. Seorang dokter muda spesialis patologi anatomi sering kali diminta untuk mendeteksi apakah ada kelainan pada jaringan atau sel tubuh pasien, termasuk mndiagnosis tumor atau kanker. Selain itu, dokter patologi anatomi juga dapat melakukan pemeriksaan penyakit lain seperti; infeksi, ginjal atau hati, serta penyakit autoimun.

Arzan hanya ingin dikenal sebagai dokter biasa. Menurutnya rumah sakit ini bisa berjalan tanpa keterlibatan dirinya karena sudah ada manajemen maupun direksi yang mengurusi. Melihat sikap dokter Dirga, apakah dirinya harus menyesali diri karena mendukung lelaki itu sebagai ketua komite medis? Terlepas dari semua, dengan segala kapasitasnya ... dr. Dirga Hutomo, Sp.B.Onk is great doctor dengan segala penghargaan Dirga sebagai salah satu dokter bedah kanker terbaik di negeri ini. Mengembuskan napas pelan, Arzan memilih pulang dan menuju parkiran.

***
Sabtu sore, Arzan meminta izin kepada Riana mengajak Miya jalan guna bertemu teman lama. Seorang psikiater yang mungkin bisa membantu kesembuhan Miya. Terlebih dulu, laki-laki itu menjelaskan bahwa dr. Dirga sudah memberinya izin. Riana sangat terharu, bahkan mengucapkan berkali-kali terima kasih kepada dokter muda itu.

Membutuhkan waktu hampir empat puluh menit menuju hunian asri di pinggir kota. Selama perjalanan, Arzan dan Miya bahkan tidak saling bicara. Suara musik yang menemani mereka. Dia bersyukur, Miya mau pergi bersamanya. Arzan menjelaskan terus terang kepada wanita di sisinya tentang maksud kepergian mereka.

Arzan menepikan mobilnya di halaman sebuah rumah tanpa pagar yang begitu asri. Halaman depan berupa taman kecil penuh bunga dengan dua buah pohon besar di ujung hingga suasana begitu sejuk. Mereka harus melalui jalan setapak berupa batuan kecil yang disusun indah guna menuju bangunan berwarna kuning muda.

Arzan berdiri di depan pintu berwarna putih dan segera membunyikan bel. Sementara Miya berdiri di sisinya terlihat gugup. Kedua jemari tangan wanita yang mengenakan gamis bermotif bunga kecil terjalin erat berusaha mengurangi kecemasan yang meraja.

Just relax, Mi ... she is my friend. Kita Cuma mau ngobrol aja. It’s nothing to worry. Okay? Trust me!”

Manik Miya mengerjap, menatap kesungguhan Arzan, dia pun mengangguk kecil.

Begitu pintu terbuka, seorang perempuan cantik yang mengenakan setelan panjang berwarna violet menyapa Arzan. Senyumnya mengembang sempurna. “Wow ... Arzan. Kejutan yang menyenangkan. Sudah berapa lama? Almost four years ago. Oh, my handsome patient,” ujarnya sambil terkekeh.

“Dee ... come on ....” Arzan mencebik mendengar gurauan wanita berkerudung pasmina itu. Dia melotot dan pura-pura marah.

Sementara, kening Miya mengernyit mendengar perkataan terakhir wanita yang dipanggil Dee itu.

Setelah bertegur sapa dengan Arzan, kemudian pandangan Dee mengarah kepada Miya dengan sorot bertanya. “Dan ini adalah ....” Dee melirik Arzan.

“Miya,” tukas Arzan cepat.

Manik Dee memicing menatap Arzan penuh selidik. “Akhirnya bisa move on juga, ya,” goda Dee.

Nope. She is my friend. Jangan macem-macem, Dee.” Arzan mendengkus, memasang wajah mengancam kepada wanita di hadapannya.

“Ups, sori. Maaf, ya, Miya. Ayo, masuk.” Dee mempersilakan mereka masuk.

Miya langsung menyukai hunian yang di masukinya. Dominasi furnitur simpel berwarna putih yang dipadukan busa bermotif floral sebagai alas duduk terasa sangat menyenangkan. Tanaman yang diletakkan di sudut ruangan semakin cozy.

“Seperti yang aku jelasin lewat telpon kemarin ... ehm, Miya butuh temen bicara.” Arzan langsung menjelaskan kepada Dee, setelah mereka berbasa-basi sejenak.  Tak lama kemudian, Arzan pamit keluar sebentar.

Setelah Arzan pergi, Dee mengajak Miya ke sebuah ruangan yang tidak kalah nyaman dari ruang tamu. Terdapat sofa besar di tengah ruangan dan satu single sofa berhadapan. Pemakaian parket untuk lantai ditambah permadani yang lembut membuat suasana lebih hangat. Wanita berusia 35 tahun itu mempersilakan Miya untuk duduk di sofa panjang. Mereka duduk bersisian.

Dee memiringkan badannya dan tersenyum hangat seraya menatap Miya. Wanita itu memperkenalkan dirinya dan menceritakan bahwa dua hari yang lalu Arzan menghubunginya setelah sekian lama. “Aku hanya ingin kita berteman. Oke?” ucap Dee sambil menangkup tangan Miya. Dia berusaha memberikan rasa aman kepada Miya.

Sebagai seorang psikiater, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasiennya. Dee berusaha meraih kepercayaan sang pasien agar bisa melakukan mereka bisa bebas melepaskan semua emosi yang tersembunyi.

“Kamu mau tahu sedikit rahasia? Jujurly ... Arzan dulu pernah ada di posisi kamu. Itulah awal perkenalan kami,” ucap Dee sambil mengedipkan mata. “Arzan harus melalui saat terberat dalam hidupnya sendirian. Saya bangga, dia berhasil melakukannya. Dia berjuang sangat keras untuk dirinya sendiri. That’s good.”

Miya sampai melongo mendengar informasi yang baru disampaikan Dee. Matanya mengerjap menatap wanita di sisinya tak percaya. Sementara Dee hanya tersenyum simpul.

“Sekarang giliran Miya. “Just relax. Take a depth breath. Kamu bisa duduk atau berbaring yang nyaman.”Dee beringsut pindah menuju sofa tunggal. “Kita ngobrol santai dan aku akan bertanya beberapa hal.”

Miya menatap Dee dan menangkap ketulusan dalam sorot matanya yang teduh. Entah mengapa, rasa nyaman itu hadir saat pertama kali mereka bertemu pandang. Miya mengembuskan napas panjang, mencoba membuang semua hal yang dikawatirkannya. Memilih merebahkan dirinya dan menatap langit-langit putih, sementara rungunya mencoba mencerna semua ucapan yang keluar dari bibir Dee.

***
Malang, 9 Sept 2022
Askina Hasna



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top