Bab 25. Hadiah Dari Teman

Assalamualaikum ...  hanya sekedar menginformasikan bahwa Insya Allah cerita ini mendekati ending versi wp (Bab 30) dan akan ada extra part di novel/e-book.

.
.
.
.

Happy reading❤

🌷🌷🌷

Sosok yang ditimpa sinar mentari pagi kian mendekati Miya. Begitu sampai di hadapan, sosok itu bukanlah yang dia harapkan. Hatinya mendesah kecewa. Dengan segera, Miya berpaling menatap kembali pada gerombolan ikan yang saling berebut makanan.

Arzan memilih duduk di samping Miya. Ada piring berisi kue dan secangkir teh di tengah, hingga posisi duduk keduanya berjarak. Pandangan laki-laki itu mengikuti arah pandang Miya. Keheningan melingkupi mereka. Dia melirik sekilas kepada wanita di sampingnya yang seakan-akan tidak menghiraukan keberadaannya. Dia tadi tidak mungkin salah dengar, Miya tadi menyebut nama seseorang. Pasti suaminya, pikir Arzan muram.

Beberapa waktu belakangan, Arzan banyak berpikir tentang tujuannya yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan Miya. Apakah ini hanya sekedar empati sesama makhluk Tuhan atau ada perasaan lain yang hadir? Dia belum bisa memastikannya. Namun, setiap malam sosok rapuh Miya selalu hadir dalam benaknya.

Keberadaannya pagi ini di rumah Miya adalah sebagian untuk menjawab pertanyaan untuk hatinya. Ruang yang selama ini kosong karena pemiliknya telah lama pergi dan meninggalkan banyak luka. Arzan pun masih ragu kepada dirinya sendiri. Meskipun peristiwa itu sudah lima tahun berlalu.

“Terkadang kita memilih diam memendam luka dan berharap waktu yang menyembuhkan. Namun, ada saatnya berbagi cerita kepada orang yang sama-sama terluka itu justru menyembuhkan.” Arzan berucap lirih seakan-akan berbicara kepada angin. Pandangannya menerawang memandang langit yang begitu bersih pagi itu.

Sesaat kemudian, lelaki itu terkekeh sendirian. Hal itu membuat Miya spontan menoleh dengan pandangan bertanya.

Dengan sisa tawa, Arzan berkata, “Saya dulu menjadi manusia yang paling bodoh. Sibuk mengejar karir hingga tidak memperhatikan orang yang paling dekat dengan saya. Ternyata gelar dokter sialan ini tidak dapat menyembuhkan dia,” lìrih Arzan dengan suara serak. Dadanya begitu sesak mengingat sosok masa lalu dalam hidupnya. Selama ini rasa penyesalan terus saja menggerogoti dirinya.

Miya kembali berpaling. Sesaat maniknya melebar, menatap laki-laki di sisinya dengan lekat. Untuk pertama kali, Miya melihat sorot penuh luka di manik kelabu itu. Hatinya tergelitik ingin rasanya bertanya siapa yang dimaksud Arzan, namun dia mengurungkan niatnya. Seperti dirinya, mungkin Arzan lebih memilih menikmati setiap goresan  luka yang hadir.  Kenyataan yang terjadi bahwa ketika Miya ingin berbagi rasa hanya akan menambah luka baru.

Angin yang berembus lembut berpadu dengan suara air yang mengalir menjadikan suasana sungguh syahdu. Untuk sesaat, Arzan dan Miya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kenangan masa lalu hadir dan bermain dalam benak mereka. Arzan berpaling, kedua manik mereka bertemu penuh kesenduan. Bibir keduanya sama-sama melengkungkan sebuah senyum samar.

Well ... bisakah kita mulai kembali dari awal? Let me be your friend. Oke?” Arzan mengangkat jari kelingkingnya ke udara tepat di hadapan Miya.

Miya menatap sebuah ketulusan yang ditawarkan laki-laki itu. Tanpa sadar tangganya terangkat, menautkan jari kelingkingnya dengan Arzan sesaat dan melepasnya kembali.

Tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga membawa sebuah nampan berisi dua mangkuk bubur ayam yang dibawa Arzan. Laki-laki itu menerima nampan seraya mengucapkan terima kasih.

Arzan mengambil semangkuk bubur yang masih hangat dan menyerahkan kepada Miya. “Makanlah yang banyak ... I think you really need it right now. You look so skinny! Don’t you?

Masih dalam diam, Miya menerima mangkuk pemberian Arzan. Dia mulai menyuap dengan perlahan. Mungkin karena pernah sama-sama terluka membuat Miya merasakan ada rasa nyaman yang hadir di hati Miya saat berada di dekat Arzan.

Arzan terus saja bercerita selama mereka menghabiskan makanan. Laki-laki itu tidak peduli walaupun dia hanya bercerita sepihak. Meskipun Miya hanya diam tanpa kata, namun Arzan yakin wanita di dekatnya menyimak setiap kata yang keluar dari bibirnya. Arzan tetap bercerita dengan semangat kejadian seru selama di rumah sakit. Sesekali tawa keluar dari mulutnya sambil melirik wanita berhijab cokelat di sampingnya. Ada kelegaan yang menyusup dada saat Arzan melihat manik Miya yang sedikit berbinar.

“Ehm, maaf ... boleh aku membari saran?” tanya Arzan sopan. “I think brown isn’t your colour. You looks beautiful with soft colour. Pastel colours is nice.

Pujian memang sangat disukai seorang wanita. Tak terkecuali Miya. Dia bisa merasakan pipinya yang memanas karena kata-kata manis dokter muda itu. Miya tahu bahwa Arzan bahkan tidak sedang merayunya, namun setelah sekian lama ada sesuatu yang menyenangkan hadir.

“Oh, ya. I have a gift for you. Jangan salah paham. Ini hanya sekedar rasa syukur kamu keluar dari rumah sakit. Don’t do anything stupid again. Promise?” ucap Arzan seraya mengulurkan sebuah paper bag kecil. Laki-laki itu meletakkan bingkisan tadi dalam pangkuan Miya.

Dengan ragu Miya menatap benda yang berada di atas kedua pahanya. Dia kemudian berpaling menatap Arzan.

Arzan hanya tersenyum kecil. “Aku harap kamu sudah bisa tersenyum saat kita bertemu lagi. Maaf, aku harus pulang sekarang. Assalamualaikum.” Laki-laki itu kemudian bangkit dan melangkah pergi.

Miya hanya terdiam, menatap pemilik punggung lebar yang menghilang di balik pintu geser kaca. Berbagai tanya hadir dalam benak tentang sosok yang baru saja pergi.

***

Malam harinya, sesaat menjelang tidur, Miya teringat hadiah pemberian Arzan. Dia membuka laci nakas di samping ranjang. Benda pemberian Arzan, dia letakkan di sana siang tadi.

Dia mengambil paper bag berwarna hitam itu. Dengan perlahan, Miya membuka pita dan menemukan sebuah kartu di dalamnya.

"Just do something with you miracle hand".

Ps.
Maaf, saya bertanya pada Fadhil bahwa kamu ternyata mempunyai mimpi sebagai fashion designer.

Your friend,
Arzan

Sebuah tablet keluaran terbaru berada di tangan Miya. Lengkap dengan stylus pen. Jemari Miya menhidupkan benda pipih berwarna putih tersebut. Seketika logo apel tergigit memenuhi layar. Manik Miya mengerjap menemukan tiga buah aplikasi desain berada di layar utama. Telunjuk Miya menyentuh aplikasi fashion design flat sketch yang bergambar baju di layar.

Jemarinya bergetar saat mecoba berbagai fitur di dalamnya seiring rasa haru yang memenuhi hati. Sudah lama dia mengidamkan hal ini. Dahulu, kondisinya bersama Galen tidak memungkinkannya memiliki gadget yang memadai dengan keterbatasan ekonomi mereka. Dia tetap bersyukur saat bersama suaminya masih bisa mengeksplorasi dirinya meskipun dengan kertas dan pensil. Itu juga tidak kalah berharga.

Miya kemudian tenggelam dalam mainan barunya. Jemarinya asyik menyelusuri berbagai fitur yang tersaji di sana. Rupanya Arzan benar-benar mempersiapkan hal ini sebelumnya.

Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk. Miya membuka pesan yang masuk dengan nama Arzan.

Arzan :
[Alhamdulillah. Berarti kamu sudah menerima pemberian saya 🥰]
[I hope you like it 😊]

Miya:
[Thank you]

Mata Miya mengerjap membaca pesan Arzan.  Sudut matanya terasa panas karena haru, dan bibirnya melengkungkan sebuah senyuman tipis.

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top