Bab 24. Proses Kesembuhan

Maafkeun aku bolos 2 hari gak apdet. Anakku lagi sakit. Mohon doanya, ya, biar cepet diberi kesembuhan.😭😭

Aku banyak ketinggalan. Mudah2an bisa dobel apdet 🤧

Mendekati ending, jangan sampe ketinggalan notif 🤗

🌷🌷🌷

“Mamaaa!” Ciara menghambur ke arah Miya begitu dia keluar dari mobil dibantu oleh Fadhil. Cia langsung memeluk kaki mamanya seakan-akan enggan melepaskannya lagi.

Sementara itu, Miya hanya mematung tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya terlihat datar. Fadhil yang berada di sampingnya, sempat tertegun melihat sikap Miya kepada putrinya. Meskipun selama di rumah sakit, Fadhil sudah terbiasa melihat ekspresi Miya, namun tetap saja dia merasa terkejut. Pasalnya Miya dan Ciara sebelumnya sangat dekat sekali.

Riana yang tergopoh-gopoh keluar langsung menghampiri Ciara. “Cia, Sayang ... mama masih sakit, biar istirahat dulu, ya?” Sang nenek berusaha memberi penjelasan.

“Nggak mau! Cia mau sama Mamaaa!” pekik Ciara.

Dengan sigap, Riana langsung menggendong gadis kecil itu dan membawanya masuk rumah. Dia berusaha membujuk gadis kecil itu.

Fadhil menuntun Miya masuk ke rumah, dan langsung naik menuju kamarnya. Dia membantu Miya duduk di ranjang. “Kakak mau istirahat atau mau makan dulu?”

Miya hanya menatap Fadhil sekilas dan langsung merebahkan diri ke ranjang tanpa bicara sepatah kata pun. Dia memilih meringkuk membelakangi Fadhil.

Fadhil menatap kakaknya dengan sendu. Kondisi kakaknya secara fisik memang sudah sembuh, namun tidak dengan kondisi mentalnya. Meskipun pandangan Miya sudah tidak kosong lagi, tetapi sang kakak masih belum mau merespon pembicaraan. Belum ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya.

Fadhil mengembuskan napas perlahan. Pandangannya berpaling kepada perawat yang baru saja meletakkan barang-barangnya di lemari kecil. “Mbak, saya titip Kak Miya. Seperti pesan saya sebelumnya, jangan pernah tinggalin Kak Miya sendirian. Kalo butuh bantuan sekecil apa pun langsung bilang sama saya atau Mama. Paham?”

“Baik, Mas,” ucap perawat bernama Wati tersebut.

Sebelum keluar dari rumah sakit, Fadhil dan Riana sepakat untuk mencari seorang perawat atas saran Arzan. Dokter muda itu mengatakan bahwa kondisi mental Miya yang belum stabil akan sangat riskan jika sendirian. Harus ada seseorang yang mengawasi selama 24 jam.

Pada akhirnya, Fadhil dan Riana bersepakat akan hal tersebut. Mereka tidak mau kejadian buruk itu berulang lagi. Riana bahkan mengubah susunan kamar Miya dengan menambahkan ranjang dan lemari kecil di sana.

Fadhil kemudian mengusap lengan Miya, “Adek ke bawah sebentar, ya, Kak. Nanti adek ke sini lagi. Kakak jangan merasa pernah sendiri. Adek sayang sama kakak.” Fadhil mengusap-usap lengan kakaknya yang masih memunggunginya sebelum beranjak pergi.

Fadhil segera menemui Riana yang sedang menemani Ciara bermain bersama seorang baby sitter. “Ma, bisa bicara sebentar?”

“Mbak Santi, saya titip Cia sebentar, ya” Riana berkata kepada seorang wanita berusia tiga puluhan.

“Baik, Bu,” ucap baby sitter berseragam biru muda itu seraya tersenyum.

Riana segera beranjak, setelah berpamitan kepada Ciara dan mengecup pipinya sekilas. Wanita itu kemudian mengajak Fadhil menuju kamarnya untuk bicara.

“Gimana Papa, Ma? Apa Mama sudah bicara tentang rencana terapi Kakak ke psikiater?” Fadhil langsung bertanya dengan tidak sabar.

Riana menggeleng lemah. “Papa masih belum setuju. Papamu bersikeras kalo Miya hanya butuh istirahat,” ucap Riana sendu. “Mama nggak berani memaksa lagi karena Papa sudah mengizinkan kita pakai perawat untuk Miya. Papa juga udah janji ke mama untuk tidak memaksa masalah kuliah lagi. Untuk Mama itu sudah cukup banyak. Mama takut kalo terlalu menekan, Papa akan mencabut semua ucapannya.”

Fadhil mengembuskan napas lelah. Semua ucapan sang Mama ada benarnya. Tidak akan pernah berhasil jika memaksa Dirga, papanya. “Fadhil akan coba bicara sama Kak Arzan. Selama ini, saran-sarannya sangat membantu kita.”

“Tapi, Nak ... emang nggak papa kalo kita selalu merepotkan dokter Arzan? Mama merasa nggak enak,” tanya Riana khawatir.

“Insya Allah nggak papa, Ma. Kak Arzan baik banget,” tegas Fadhil.

“Maksud Mama ... apa nggak ada yang marah kalo dokter Arzan dekat sama kita, menolong kakakmu. Takutnya ada tunangan atau calon istrinya gitu?”

Fadhil mengedikkan bahu. “Entah, Ma. Fadhil nggak berpikir ke sana. Kak Arzan nggak pernah cerita juga. Sepertinya aman-aman aja. Lagi pula yang terpenting kesembuhan Kak Miya?”
Riana menatap Fadhil lama. Meskipun sedikit ragu, namun dia berusaha menepisnya. Benar yang dikatakan putranya. Saat ini mereka harus fokus dulu pada kesembuhan Miya.

“Kalian sedang bicara apa?” Tiba-tiba Dirga masuk kamar dan menghampiri Riana dan Fadhil yang sedang berbincang di ranjang.

Keduanya sangat terkejut mendapati Dirga.

Riana segera bangkit dan mengambil tas kerja suaminya. Dia tersenyum manis. “Fadhil hanya mengingatkan agar Mama membuatkan makanan kesukaan Miya. Kita sepakat untuk membuat Miya merasa nyaman dan senang di rumah. Semoga putri kita segera pulih dan bisa ketawa lagi. Iya, ‘kan. Pa?” Riana bergelayut di lengan Dirga dan memandang Dirga dengan sorot permohonan.

“Hmmm ...” Dirga hanya bergumam kecil. Pandangannya beralih kepada Fadhil. “Kakakmu sudah pulang. Papa harap kamu bisa fokus lagi pada kuliahmu,” tegas sang papa.

“Siap, Pa. Papa nggak usah khawatir masalah kuliah. Adek sudah izin langsung ke dospem. Tugas kuliah juga aman, kok. Selama di rumah sakit adek selalu kirim tugas.” Fadhil beranjak dari ranjang dan melangkah keluar kamar.
***
Keesokan pagi, ada sebuah mobil berwarna hitam memasuki kediaman Dirga Hutomo. Seorang laki-laki berbadan tegap dan berkaca mata turun dari kendaraan tersebut. Langkahnya yang ringan segera menghampiri pintu berwarna putih dan memencet bel yang terletak di bawah hiasan dinding yang cantik.

Seorang pelayan dengan tergesa membukakan pintu dan mempersilakan tamu berparas tampan itu untuk masuk.

“Dokter Arzan?” Riana sungguh terkejut mendapati dokter muda itu duduk di ruang tamunya. Tadi seorang pelayan memberitahukan kedatangan seorang tamu yang mencarinya.

Arzan tersenyum simpul dan menyalami wanita yang masih cantik di usianya yang tidak muda lagi. “Maaf, kalo kedatangan saya mengejutkan Tante Riana. Saya hanya ingin menjenguk Miya. Kebetulan Minggu pagi lagi kosong nggak ada jadwal,” ucap Arzan.

“Oh, justru Tante harus ngucapin banyak terima kasih sama Nak Fadhil yang sudah banyak membantu anak saya. Fadhil banyak cerita.” Riana merasa senang melihat sikap Arzan. Pembawaan dokter muda yang ramah itu membuat suasana cair dan hangat. Sesekali Riana tertawa kecil ketika Arzan bercerita kejadian lucu di rumah sakit.

“Boleh saya jenguk Miya, Tante? Kebetulan saya bawa bubur ayam tadi.” Arzan menyerahkan sekantung besar ke arah Riana.

“Tentu boleh Nak Arzan. Wah, terima kasih banyak. Kok, jadi repot gini, kebetulan Miya suka bubur ayam. Dia lagi berjemur di taman belakang. Sudah tiga hari sejak pulang ke rumah, Mbak Wati selalu ngajak Miya untuk menghirup udara segar di taman belakang. Mari masuk, Nak;” ajak Riana masuk.

Arzan mengekori Riana masuk ke dalam kediaman Dirga Hutomo yang luas. Mereka melewati ruang keluarga yang besar dengan televisi berukuran besar menggantung di dinding. Terdapat banyak guci-guci besar koleksi Riana menghiasi rumah ini. Arzan menatap sekilas foto-foto Dirga menerima penghargaan dan foto-foto keluarga terapajang di dinding maupun buffet besar motif ukiran di dekat tangga. Keduanya melewati ruang makan dengan meja besar di tengah ruangan yang di atasnya terdapat lampu gantung kristal.

Di samping kolam renang ada taman yang tidak terlalu besar, namun tertata cantik. Di sudutnya, terdapat kolam ikan yang berdinding batuan. Gemercik air mengalir di sela-sela batuan tersebut turun ke kolam di bawahnya.

Tampak seorang wanita duduk di gazebo kecil memandangi gerombolan ikan koi berwarna cerah saling berlomba berebut oksigen tanpa kedip. Pandangannya syahdu menunjukkan kerapuhan yang mendalam.

Arzan melangkah mendekat. “Assalamualaikum Miya ....”

Pandangan Miya berpaling menatap sosok laki-laki yang wajahnya tertimpa cahaya matahari. Setelah sekian lama, bibir mungil itu mendesis lirih, “Galen ....”
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top