Bab 23. Arti Sebuah Tangisan

Hai ...
Sudah pada makan siang belum, nih?

Aku datang bawa kabar terbaru Miya😍😍

Moga suka😘

🌷🌷😋

Wanita muda itu menatap ke langit-langit ruangan yang berwarna putih. Pandangannya lurus ke atas dan kosong. Kehampaan jelas tergambar dalam sorot matanya yang redup. Wajahnya sudah tidak terlalu pucat karena cairan infus yang masuk ke tubuhnya.

Luka sayatan di pergelangan tangannya sudah mengering dan sembuh. Selama satu minggu terbaring di rumah sakit, kondisi fisik wanita cantik itu sudah membaik. Entah dengan hatinya. Semenjak sadar dari pengaruh obat, tidak satu pun kata yang meluncur keluar dari bibirnya. Pun ketika diajak bicara dengan siapa pun, wanita berusia 22 tahun itu hanya menatap kosong tanpa ekspresi. Seakan-akan sang pemilik jiwa sedang berkelana mencari penawar dahaga.

“Kak Miya, ayo kita makan dulu!” Fadhil dengan telaten membantu Miya mengganjal kepalanya dengan dua buah bantal agar posisinya lebih tinggi. Sebelumnya pemuda itu mengatur posisi ranjang agar naik ke atas.

Fadhil mengangkat sendok berisi bubur hingga di depan bibir Miya, hingga bibir itu sedikit membuka dan menyuapinya perlahan. Tiap suapan yang diberikan, Fadhil mencoba berinteraksi dan mencoba membuka percakapan. Namun tidak ada balasan komentar sedikit pun dari bibir Miya.

“Kata Bunda, Ciara sudah semakin pintar. Kemarin, dia minta makan sendiri. Adek liat pas vidcol sampe ketawa ngakak, habis muka Cia lucu banget. Belepotan wajah ama bajunya.” Fadhil menatap Miya yang tidak merespon ceritanya. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. Melihat kondisi kakaknya, Fadhil mengembuskan napasnya. Berusaha membuang nyeri di dadanya lewat helaan napas yang keluar. “Kak Miya cepet pulih, ya. Ciara kangen mamanya. Nanti Kakak boleh omelin adek tiap hari. Boleh suruh adek apa aja. Adek janji jagain Kakak,” lirihnya dengan suara tertahan. Fadhil kemudian mengusap ujung matanya yang merasa basah.

“Biar aku lanjutin,” ucap suara berat seorang laki-laki.

Fadhil terkejut ketika bahunya dipegang seseorang. Dia mendongak mendapati Arzan yang berdiri masih dalam balutan snelli-nya.
“Sebaiknya Fadhil cuci muka dulu biar fresh. Biar kakak lanjutin ....” Arzan tersenyum tipis seraya meraih piring berisi bubur yang masih separuh dari tangan Fadhil.

Fadhil segera beranjak dari kursi. Dia menyadari kesalahannya. Beberapa hari yang lalu, dia dan Arzan sepakat agar tidak menunjukkan wajah sedih di hadapan Miya. Berusaha berinteraksi secara normal dengan Miya, berharap wanita itu merespon kembali.
Setelah mencuci muka, Fadhil menghampiri Arzan. “Kak, aku mau ke kantin sebentar. Kakak mau titip apa?”

“Kopi boleh,” ucap Arzan.

Fadhil mengangguk kecil dan segera melangkah keluar setelah menitipkan Miya kepada Arzan.

Arzan menarik kursi agar sedikit lebih dekat ke sisi ranjang. “Assalamu’alaikum Miya. Alhamdulillah. You’re look great today. Any way, I am happy, cause i’m allowed to be your friend. Thank you,” ucap Arzan tulus.
Arzan melirik Miya yang masih terdiam membeku seraya memandang dinding di hadapannya dengan kosong. Hening sesaat menyelimuti keduanya. Laki-laki kemudian melepas snelli milinya dan meletakkannya di sandaran kursi.

“Oke. Gimana kalo kita makan sambil ndengerin musik. Hari ini cuacanya mendung ... i think ... lagu melow cocok. Entah kenapa semua kolega perempuan saya suka sekali lagu ini. Mudah-mudahan kamu juga suka.” Arzan meletakkan ponsel di ranjang dekat dia duduk. Perlahan suara lembut Mahalini mengudara.

Arzan menyuapi Miya perlahan seraya mendengarkan lagu dari ponselnya. Beruntung Miya masih mau membuka mulutnya sedikit hingga bubur di mangkuk berkurang. Sesekali manik Arzan menatap Miya.

Masih jelas teringat
Pelukanmu yang hangat
Seakan semua tak mungkin menghilang
Kini hanya kenangan yang tlah Kau tinggalkan
Tak tersisa lagi waktu bersama

Mengapa masih ada
Sisa rasa di dada
Di saat kau pergi begitu saja
Mampukah kubertahan
Tanpa hadirmu, Sayang?
Tuhan, sampaikan rinduku untuknya

Oh, masih tersimpan
Semua kenangan
Semua cinta yang Kau beri
Kau takkan terganti

Tangan Arzan menggantung di udara dengan memegang sendok. Dia terkejut mendapati mata Miya yang mengerjap pelan. Laki-laki itu masih menatap lekat manik Miya, berusaha menunggu reaksi selanjutnya.

Sesaat kemudian manik itu mengerjap kembali. Sudut mata Miya terlihat basah. Titik-titik air mata itu melaju tanpa bisa dicegah. Ketika lagu itu berakhir, pipi Miya telah basah sempurna. Sorot yang semula kosong berubah menjadi sendu.

Terdengar suara pintu dibuka pelan. “Kaaak ini—“

“Sssttt!” Arzan memberi kode agar Fadhil mendekat dengan diam.

Fadhil meletakkan bawaannya di meja, kemudian melangkah mendekat. Dia membelalak melihat Miya yang menangis. Pemuda berkaus hitam itu kemudian manatap Arzan dengan geram. “Kak Arzan apain Kak Miya sampe nangis kayak gitu?” serunya dengan emosi.

Tanpa bisa dicegah Fadhil langsung menghampiri Miya dan membersihkan pipinya yang basah dengan tisu. “Kak Miya baik-baik, aja, ‘kan? Tolong bilang sama adek kalo Kak Arzan bersikap jahat sama Kakak. Adek akan selalu jaga Kakak,” ucap Fadhil dengan tegas.
Arzan hanya bisa menepuk keningnya melihat kesalahpahaman yang terjadi. Ingin rasanya dia menggetok kepala pemuda itu.

Setelah memastikan kondisi Miya yang tenang, Fadhil menghampiri Arzan dengan geram. “Apa yang sudah Kak Arzan lakukan sampe Kak Miya nangis?” serunya.

“Ayo, sini, ikut aku! Kita bicara di luar.” Arzan kemudian menarik Fadhil menuju pintu. Secara bersaman, pintu cokelat itu terbuka dan masuklah Riana dengan membawa beberapa kantung kertas.

“Fadhil!” seru Riana terkejut karena hampir menabrak anak laki-lakinya. “Eh, ada dokter Arzan.” Wajah Riana kini tersenyum sopan. “Kok keliatan buru-buru pada mau ke mana?” lanjutnya.

“Eh, ini mau ngopi dulu, Tante,” ucap Arzan sopan.

“Tapi, tadi ‘kan udah ... awww!” Fadhil berteriak saat Arzan mencubit lengannya. Akhirnya dia hanya pasrah saat Arzan menarik tangannya kembali menuju pintu.

“Ma ... jagain Kak Miya!” seru Fadhil sebelum menghilang di balik pintu.

Riana menatap bingung ke arah keduanya. Dia kemudian meletakkan kue dan xmakanan yang di bawanya di meja. Keningnya mengernyit saat melihat dua buah cup kopi yang masih utuh.

Pandangan Riana kemudian beralih kepada Miya. Hatinya terasa nyeri saat melihat kondisi putrinya kini. Dia terpaksa mencari baby sitter guna membantu menjaga Ciara. Riana berusaha membagi waktunya guna merawat Miya dan Ciara. Biasanya, wanita paruh baya itu berada di rumah sakit siang sampai sore hari menjelang Magrib.

Riana kemudian memeriksa kondisi Miya. Setelah mendapati kantung urine yang penuh, dia segera memencet bel guna memanggil perawat.

“Kak Arzan ini kenapa, sih? Nyeret orang seenaknya. Harusnya yang marah itu Fadhil sama Kakak, sudah bikin Kak Miya nangis,” gerutu Fadhil.

“Sudah, diem dulu. Kamu pesen kopi sama makanan dulu. Jangan protes lagi. Baru ntar kakak jelasin. Paham?” Arzan menyorot tajam ke arah Fadhil.

Pemuda itu mengangguk dan berlalu menuju counter.

“Lebih baik kamu minum dan makan dulu. Baru aku jelasin,” ucap Arzaan sesaat pelayan mengantarkan pesanan mereka.

Tanpa membantah, Fadhil menghabiskan makanan yang tersaji di hadapannya. Sedangkan Arzan, memilih menyesap kopinya perlahan seraya memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.

Done,” ucap Fadhil setelah menghabiskan satu porsi burger.

Arzan berdeham sejenak. Dia menatap Fadhil dengan tajam. Arzan kemudian menceritakan awal mula dia mendengarkan lagu sampai tiba-tiba Miya menangis. “Sebenarnya itu perkembangan bagus. Tatapannya yang semula kosong sekarang berubah. Ada emosi yang memantik memorinya dengan lagu itu.”

“Emangnya Kakak nyetel lagu apa?”

“Gara-gara keseringan denger lagu Mahalini di ruang perawat, akhirnya aku pilih lagu itu. Kayaknya perempuan suka banget sama Sisa Rasa-nya Mahalini.”

Ingatan Fadhil langsung melayang saat dirinya di mobil bersama Miya. Dia juga langsung menceritakan kejadian itu kepada Arzan.

“Lagu itu sepertinya punya stori khusus sama Miya,” ucap Arzan sambil merenung.

“Fadhil pikir waktu itu Kak Miya lagi kangen sama mantannya,” ucap Fadhil.

“Mantan? Maksud kamu ... pacar atau suami?” Arzan terlihat bingung. Dirinya memang sama sekali nggak tahu latar belakang Miya. Sempat terbesit rasa penasaran saat melihat seorang mahasiswi baru kok sudah mempunyai putri. Namun, dia berusaha menyingkirkan rasa penasarannya karena itu memang bukan haknya untuk tahu.

“Mmm ... suaminya, Kak. Sebenernya Kak Miya baru saja bercerai dari suaminya. Terus papa ajak Kak Miya pulang.” Fadhil mengembuskan napas perlahan. Sebenarnya malu menceritakan aib keluarganya, namun entah kenapa Fadhil merasa sosok dokter muda di hadapannya ini bisa menolong kakaknya. “Jadi dulu awalnya, Papa nggak setuju sama pernikahan Kakak sama Mas Galen, karena–“
Manik Arzan melebar ketika selesai mendengarkan cerita masa lalu Miya. Dadanya ikut merasakan kepedihan yang mendalam. Kini, dirinya bisa mengerti arti sorot penuh luka yang berusaha disembunyikan wanita mungil itu.

***
Malang, 31 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top