Bab 22. Kritis

Alhamdulillah mumpung pagi-pagi mood nulis. Apalagi cuaca sejak pagi mendung.

Yang penasaran kemaren ada apa sama MIya, cuuzz ...

Happy reading, Genks😘

🌷🌷🌷

Bab 22. Kritis

“Dokter Dirga ....” Arzan menepuk pelan bahu Dirga. “Maaf, kondisi putri Anda sudah stabil dan bisa dipindahkan ke ruangan.”

Dirga yang sedang menatap Miya tersentak. Dia berpaling ke samping, mendapati sosok Arzan yang tersenyum tipis. Mengangguk singkat dan memberi jarak agar para perawat bisa memindahkan Miya.

“Maaf, Dok. Mungkin sebaiknya dokter beristirahat sejenak dan membersihkan diri terlebih dahulu,” saran Arzan seraya memindai tubuh Dirga dari atas ke bawah.

Dirga menunduk, memperhatikan bajunya yang penuh noda darah. Mengangguk pelan melangkah keluar ruang UGD dengan gontai.

Arzan menatap punggung Dirga yang menghilang di balik pintu kaca dengan prihatin. Kejadian beberapa jam yang lalu cukup membuat dirinya terkejut luar biasa. Masih terbayang jelas sosok Miya yang terkulai dalam gendongan Fadhil memasuki ruangan UGD dengan baju bersimbah darah.

Kondisi Miya cukup kritis, meskipun penda-rahan di nadinya sudah berhenti dan pergelangan tangan wanita tersebut sudah terbalut sempurna. Dirga yang berteriak panik  memberikan instruksi kepada para perawat agar mencarikan darah golongan B. Beruntung Miya masih bisa terselamatkan, walaupun banyak kehilangan darah. 

Hari sudah larut, saat jadwal jaga Arzan berakhir. Alih-alih pulang, langkah dokter muda itu menuju ke paviliun VVIP di mana Miya di rawat. Dirinya menatap gamang ke arah pintu berwarna cokelat itu.

“Kak ....”

Arzan berpaling, mendapati sosok Fadhil yang berdiri dengan tangan memegang cup kopi. Laki-laki berkaca mata itu mengikuti Fadhil memasuki ruangan bernuansa krem. Dia berdiri di sisi ranjang, menatap Miya yang terbaring tidak sadarkan diri karena pengaruh obat. Wajahnya sangat wajah pucat. Bahkan, tulang pipi wanita itu terlihat sangat menonjol dengan tubuhnya yang semakin kurus sejak pertemuan terakhir mereka. Cairan darah dan infus tergantung pada tiang penyangga menetes perlahan melalui selang yang terhubung pada pergelangan tangan Miya.

Hatinya berdenyut nyeri melihat sosok yang terbaring tidak berdaya. Bagaimana mungkin sosok cantik itu sampai demikian putus asa hingga berniat mengakhiri hidupnya?

“Kak Miya–“ Lidah Fadhil terasa kelu, tak mampu meneruskan ucapannya.

“Bagaimana keadaan putrinya ... Ciara?” tanya Arzan.

“Cia baik. Anak itu sama Mama di rumah,” ucap Fadhil dengan sendu. Dia mengusap ujung matanya yang basah dengan cepat.

Tak lama kemudian, kedua laki-laki itu duduk di sofa. Arzan menolak kopi yang ditawarkan Fadhil. Ingin rasanya dia bertanya banyak hal kepada pemuda di sampingnya. Namun, rasanya tidak etis mencampuri urusan orang lain. Keduanya malah larut dalam pembicaraan basa-basi. Saat hendak pamit dan beranjak dari sofa, suara Fadhil menahannya.

“Kakak pasti sangat putus asa sampai melakukan hal bodoh kayak gitu. Fadhil yang salah nggak bisa jagain Kak Miya,” pekik Fadhil sambil menjambak rambutnya sendiri penuh amarah. “Seharusnya Fadhil bisa menentang Papa lebih keras lagi. Seharusnya Fadhil lebih berani bersikap sebagai laki-laki. Seharusnya—“ Tangis Fadhil pecah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan demi menutupi isak yang lolos dari bibirnya.

Arzan terdiam mendengar semua ucapan yang meluncur dari mulut Fadhil. Dia tidak tahu harus melakukan penghiburan seperti apa kepada pemuda di sisinya. Arzan hanya mengusap punggung Fadhil dan menepuk-nepuk bahunya pelan, mencoba memberi semangat.

Arzan tercengang mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Fadhil selanjutnya. Dia tidak pernah menyangka, begitu banyak luka yang tersimpan di balik keluarga dokter Dirga yang selalu terlihat harmonis dengan istrinya.

“M-maaf, Kak Arzan.” Fadhil meringis malu dan berusaha mengusap wajahnya yang sempat basah.

It’s okay. Sometimes, men also need to release pent-up emotions. Just don’t go too far. The man must be strong and solve all problems with a cool head,” ucap Arzan dengan tenang.

Fadhil mengangguk pelan, membenarkan semua perkataan Arzan. “Thanks, Kak. Seneng banget rasanya. Berasa punya kakak cowok jadinya,” seringainya.

“No problem at all. Kakak juga seneng, kok. Kalo butuh apa-apa, jangan sungkan. Oke?”  Arzan melihat notifikasi yang masuk ke ponselnya dan segera beranjak dari sofa. “Sori, Kakak harus pulang sekarang.”

Kedua laki-laki itu beriringan menuju pintu. Secara bersamaan Dirga masuk. Keningnya memgernyit mendapati sosok Arzan di dalam.

“Malem, Dok. Tadi ketemu Fadhil di luar trus diajak ngopi bareng sebentar. Maaf, saya permisi,” pamit Arzan setelah menyalami Dirga.

“Dokter Arzaan!” seru Dirga. Laki-laki itu segera menyusul Arzan yang sedang berjalan di koridor rumah sakit.

“Ya, Dok?” Arzan berbalik dengan pandangan penuh tanya.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Arzan terlihat ragu sambil melirik arloji di tangannya.

“Cuma lima menit,” pinta Dirga sedikit memohon.

Kedua dokter berbeda usia itu kemudian memilih tempat yang agak terlindung dan sepi dari hilir mudik pengunjung. Mereka duduk di bangku panjang di sebuah taman yang terletak di ujung ruangan VVIP.

“Ehm, saya mohon dokter Arzan tidak mempunyai persepsi negatif atas kejadian hari ini. Maksud saya, yang menimpa putri saya. Itu murni kecelakaan.” Dirga berkata dengan sedikit kikuk. “Dan ... saya berharap nantinya ini tidak mempengaruhi apa pun dalam pembicaraan kita beberapa waktu lalu,” lanjutnya perlahan.

Arzan menatap wajah dokter senior di hadapannya dengan wajah datar. Dia tidaķ menampilkan ekspresi apa pun. “Sure! Dokter nggak perlu khawatir soal itu. Kami orang yang memegang janji. Toh, semua sudah ditanda tangani. Kita kerjakan dengan profesional. Pasti dokter Dirga juga sudah paham persoalan ini,” ucapnya tenang.

Dirga mengembuskan napas lega sepeninggal Arzan. Bibirnya tertarik ke atas menunjukkan kepuasan. Dokter bedah itu kemudian melangkah cepat menuju ruang perawatan Miya.

“Sebaiknya kamu pulang aja, temani Mamamu di rumah! Papa sudah suruh orang jaga kakakmu. Papa habis ini ada jadwal praktek,” perintah Dirga kepada Fadhil.

“Enggak, Pa! Fadhil akan temani Kakak sampe sembuh. Fadhil juga barusan vidcol sama Mama.” Untuk pertama kalinya Fadhil berkata tegas kepada Ayahnya. Meskipun dalam hatinya berdebar, pemuda itu berusaha menguatkan hatinya.

“Terserah kalo gitu.” Dirga mengedikkan bahunya. Dia memeriksa kondisi Miya sebelum melangkah keluar ruangan.

***
Galen menjabat erat tangan Arjuna dengan wajah berbinar di sebuah kafe yang baru saja mengadakan soft launching tadi pagi. Hiruk pikuk suasana syukuran masih terdengar di luar. Saat ini, Galen dan Arjuna berada di ruang manajer yang nantinya akan ditempati Galen.

“Saya benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Rasanya ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk kepercayaan yang Bapak berikan pada saya,” ucap Galen tulus. “Apalagi dengan masa lalu saya,” lanjutnya pelan. Keduanya sedang berbincang ringan di kursi rotan yang terdapat teras depan ruang manajer.

“Sejak dulu, saya percaya kamu anak baik dan punya potensi besar,” ucap Arjuna sambil menyesap rokok di tangannya. “Semua orang berhak dapat kesempatan kedua. Allah saja mau mengampuni hambanya yang sungguh-sungguh bertobat. Masak saya yang penuh dosa ini mau sombong. Alhamdulillah, saya bisa membedakan mana orang yang ulus dan tidak.”

Galen menatap laki-laki di sampingnya dengan rasa haru. Dia sungguh tidak menyangka diberi kesempatan mengelola kembali kafe setelah permasalahan yang baru menimpanya. Arjuna memang menunda pembukaan cabang kedua “Epico Coffee.” Beliau beralasan belum menemukan orang yang bisa dipercaya.

“Saya percaya sama kamu. Seperti yang sudh pernah saya bilang, kamu harus percaya diri dengan kemampuan yang kamu miliki. Kamu punya basic kuliah manajemen, kamu juga paham alur pengelolaan kafe mulai dari pemilihan bahan sampe proses quality kontrol. Kamu juga paham dan menguasai digital media promo.” Arjuna terkekeh melihat Galen yang menganga.

“Beneran, Pak, saya kayak gitu?’’ tanya Galen tidak percaya diri. Laki-laki berambut ikal itu kemudian menyulut rokok dan mengisapnya perlahan guna meredam rasa canggung.

Walah, dasar bocah dikandhani kok malah ra percoyo!” Arjuna geleng-geleng kepala. “Kamu Cuma perlu mengasah insting bisnis. Nanti belajar pelan-pelan sama saya. Saya yakin suatu saat kamu jadi pengusaha hebat. Asal tekun, sabar lan tawakal sama Allah.”

Galen mengangguk-angguk sambil menyimak nasihat Arjuna. Sesaat kemudian seringai terbit dari wajahnya, “Emang Bapak nggak takut kalo saya sukses terus nyaingi Bapak?”

Arjuna terbahak keras. “Kalo kamu sukses ya pasti saya lebih sukses, to!” Masih dengan sisa tawa, laki-laki berdarah Jawa itu menepuk bahu Galen. “Sukses itu tidak hanya tentang materi. Toh, semua nggak dibawa mati. Justru ilmu yang saya ajarkan sama kamu itu investasi saya yang sesungguhnya. Mudah-mudahan jadi jalan kebaikan saya di hadapan Allah.”

Arjuna kemudian beranjak dari kursi dan menepuk-nepuk celananya yang terkena abu rokok. Setelah memastikan rokok yang diisapnya tadi mati sempurna, dia berpaling kepada Galen. “Ayok, ke depan! Kasian nanti para tamu nyariin tuan rumahnya yang ngilang.”

Galen mengekori langkah Arjuna dengan senyum terkulum. Hatinya dipenuhi rasa syukur bahwa ternyata Allah masih mengirimkan orang baik dalam hidupnya yang sepi.

***

Malang, 30 agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top