Bab 21. Tragedi

Alhamdulillah bisa dobel update, berusaha mengejar ketinggalan.

Happy reading, Genks

🌷🌷🌷

Galen menatap pusara yang masih basah. Satu pekan berlalu sejak Mami Heni mengembuskan napas terakhir. Laki-laki itu baru saja membersihkan makam Mami. Bunga-bunga yang semula kering sudah berganti baru. Galen mengusap wajahnya setelah selesai membacakan doa buat almarhumah maminya.

Maut adalah murni rahasia Ilahi. Ketika Allah sudah menetapkan takdir bagi manusia, maka tidak ada yang dapat mengubahnya walaupun satu detik. Galen menyadari begitu banyak penyesalan dalam diri karena merasa belum berbakti sebagai anak terhadap Mami. Sebuah penyesalan yang tidak akan ada habisnya, justru akan menggerus rasa syukur yang dia miliki.

Pada akhirnya dia harus belajar mengikhlaskan banyak hal dalam hidupnya hingga bertemu dengan titik syukur. Galen bersyukur bisa mendampingi di hari-hari terakhir Mami. Mencurahkan segala bentuk perhatian yang telah diabaikannya selama ini. Bahagia melihat senyum Mami di saat terakhir hidupnya.

Begitu pula dengan jodoh. Galen tidak menyangka jodohnya dengan Miya hanya seumur jagung. Padahal dulu, Galen dan Miya begitu mengagungkan kekuatan cinta yang mereka miliki akan berakhir saat maut memisahkan. Meskipun perpisahan keduanya ada andil dari Dirga, dia berusaha menjalani garis takdir hidupnya.

Kepergian orang-orang tercinta membuat sebuah lubang besar yang menghuni dada Galen. Hanya dua pilihan yang dimilikinya; menyerah atau berjuang. Galen memilih untuk berjuang meskipun dengan terseok-seok.

Mata Galen memejam saat sinar mentari yang menerpa wajahnya begitu keluar dari pemakaman. Dia kemudian mengenakan kaca mata hitam dan melajukan motornya dengan selarik senyuman menghiasi wajahnya. Berusaha menguatkan diri demi sebuah asa yang akan diperjuangkannya.

“Tunggu aku, Miya! Aku pasti akan menjemput kalian,” lirihnya di antara deru angin yang menerpa wajahnya.

***

“Papa ... mama mohon jangan kurung Miya seperti itu. Dia putri kita. Bukan tahanan yang harus papa renggut kebebasannya,” Riana merendahkan dirinya. Berlutut  seraya menggenggam kedua tangan suaminya, memohon belas kasih dengan air mata menganak sungai. “Ini sudah satu minggu Miya dikurung di kamarnya ....”

“Kamu mau anakmu mencoba kabur ketiga kalinya? Hah!” Dirga menepis tangan istrinya dan menuju teras di kamarnya. Laki-laki itu memilih duduk di kursi kayu dengan pandangan mengarah taman. Cahaya bulan nan lembut yang berpadu dengan lampu taman, serta diiringi gemercik air kolam ikan tidak mampu meredam emosinya yang membumbung tinggi. Rahangnya mengeras.

Riana mengekori suaminya menuju teras mungil di depan kamarnya yang luas. Dengan wajah sembab, wanita paruh baya itu duduk di samping Dirga. Dengan memberanikan diri, Riana menyentuh paha sang suami. “Paa ....”

Dirga berpaling menatap istrinya dengan tajam. “Papa tidak akan membiarkan Miya kembali pada baji-ngan itu.” Laki-laki berkaca mata itu beranjak dari kursi. Dirga mengambil jarak dari Riana, dan berdiri mematung dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Membiarkan semilir angin malam menerpa wajahnya. “Papa bahkan berencana akan menjodohkan Miya lagi, jika memang dia tidak bisa menlanjutkan kuliah lagi. Yah, itu pilihan terbaik. Garis keturunan Hutomo haruslah dokter. Papa sudah ada calon,” seringai Dirga dengan senyum tertahan.

“Papa! Sekarang ini kondisi Miya jauh lebih penting. Miya bahkan sekarang tidak mau menyentuh nasinya. Badannya semakin kurus. Kasian Ciara ... dia terus saja rewel, t-tapi—“ Riana tak kuasa melanjutkan ucapannya. Bahunya kembali berguncang dengan air mata yang berlomba turun.

Dirga membalikkan badan. Tangannya kini bersedekap. “Masalah Miya gampang. Kita tinggal carikan dokter terbaik untuk memulihkan kondisinya. Papa akan berikan dia perawatan terbaik.”

Riana menatap Dirga dengan sendu. Hatinya sebagai seorang ibu merasa hancur melihat kondisi putrinya. Ingin rasanya dia memaki laki-laki di hadapannya. Lelaki berhati dingin yang disebut suami.

Memang benar yang dikatakan Miya, percuma mendebat Dirga. Pada akhirnya, Riana memilih diam. Setelah menyusut air mata, dia memilih keluar kamar dan meninggalkan Dirga seorang diri.

Riana bergegas menuju ruang tidur tamu. Dia mengembuskan napas lega melihat Ciara yang masih terlelap. Sudah hampir satu minggu gadis kecil itu pisah tidur sama mamanya. Riana menatap iba melihat sang cucu. Bahkan Ciara pun terkena imbasnya. Pipi Cia terlihat lebih tirus. Gadis ini lebih sering rewel dan menangis.

“Halo, Sayang,” sapa Riana begitu melihat Ciara membuka matanya. Wanita yang rambutnya sebagian sudah memutih itu megusap-usap kepala Cia berusaha memberikan rasa nyaman.

Akhir-akhir ini ritme tidur cucunya memang sedikit kacau. Saat malam hari Ciara lebih sering rewel karena tidak bisa tidur. Gadis kecil itu terus saja memanggil mamanya, membuat hati Riana teriris karena tidak bisa mengabulkan pinta Ciara.

Selama satu minggu ini, Miya sudah berusaha kabur dua kali. Hal itu membuat Dirga sangat murka. Kini, Miya benar-benar dikurung oleh Dirga. Laki-laki itu bahkan menempatkan penjaga di depan kamar putrinya. Dirga membatasi interaksi Miya dengan penghuni rumah kecuali memberikan makan dan minum. Dirga beralasan itu dilakukan agar Miya mendapat efek jera dari perbuatannya.

“Ma, Ciara gimana?” Fadhil tiba-tiba sudah berada di belakang Riana.

“Ssstt! Pelankan suaramu. Cia barusan tidur lagi. Kasihan anak ini,” ucap Riana dengan sendu.

“Mama harus berusaha bujuk Papa lagi. Kasian Kakak sama Ciara,” bujuk Fadhil.

“Sudah, Nak. Berkali-kali. Percuma. Kamu tau sendiri bagaimana sikap papamu.” Riana mengedikkan bahu.

“Kita harus berbuat sesuatu, Ma.”

“Kenapa bukan Fadhil yang bicara sama Papa?” Riana menatap putranya penuh harap.

“Sudah ... dan nggak berhasil,” ucap Fadhil lirih.

Keheningan melingkupi mereka. Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran mengembara. Sesaat kemudian Riana dan Fadhil mengembuskan napas secara hampir bersamaan. Keduanya tertawa sumbang menertawakan kebodohan dan ketidakberdayaan mereka di rumah ini. 

Riana kemudian bangkit dari ranjang dan menepuk bahu Fadhil pelan. “Mama titip Ciara sebentar. Mama mau ke atas lihat keadaan kakakmu sambil bawa makanan.”

Fadhil hanya tersenyum tipis menanggapi permintaan mamanya.

Dengan membawa nampan berisi makanan dan buah-buahan, Riana menuju lantai atas. Laki-laki yang menjaga kamar Miya langsung membuka kunci guna mempersilakan Nyonya rumah untuk masuk.

Begitu memasuki kamar, Riana langsung menjatuhkan nampan yang di bawanya dan berteriak histeris.

“Aaarrgghh ... Tolooong Miya! Ya Allah, Miyaaa!” jerit Riana panik. “Papaaa! Fadhiiiil”

Fadhil yang datang lebih dahulu langsung memucat melihat Riana yang memeluk Miya yang sudah bersimbah darah. Dia menghambur memeluk Miya yang sudah lunglai tak berdaya.

Dirga masuk dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya berubah pias menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya.

Sementara itu, lelaki penjaga suruhan Dirga mematung di depan pintu menatap orang-orang yang histeris dengan tubuh gemetar.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top