Bab 2. Godaan


Makasih banget buat yang sudah mampir dan baca ceritaku.

Jan sungkan buat komen dan kasih ⭐ biar makin semangat buat nulis 😁

Happy reading, Genks😘

🌷🌷🌷

Miya menatap putrinya yang asyik bermain boneka. Ciara adalah anugerah terindah yang Allah hadirkan dalam hidupnya, meskipun gadis kecil ini hadir dari kesalahan.

Ketika harapan seseorang masih berupa angan, maka diperlukan hati yang luas untuk menerima sebuah takdir. Ikhlas. Seperti Miya yang berusaha menerima apa pun yang diharuskan Allah menjadi cerita hidupnya.

Dari sebuah kesalahan, seseorang mendapat sesuatu yang berharga. Pengalaman yang mengajarkan kehidupan sejati. Sebuah pertobatan seorang hamba akan membuka pintu rahmat terbuka lebar. Anugerah terindah akan hadir dan menyapa seorang hamba yang bersujud dalam tangisan jiwa.

Miya bukanlah seorang hamba yang sempurna. Dia tertatih dan kadang tersesat dalam menemukan sebuah keikhlasan. Hatinya yang dipenuhi luka masih belajar untuk menyembuhkan diri.

Rasa sesak akibat kedatangan Mami dua hari yang lalu, masih menyisakan sesak di dada Miya. Selama dua tahun, dia menjadi menantu yang tak diinginkan oleh Heni. Saat awal pernikahan, Miya selalu berusaha mengambil hati Mami meskipun selalu berujung pada sakit hati.

Miya bersyukur, Galen memutuskan keluar dari rumah dan hidup mandiri. Meskipun hidup sangat sederhana di rumah kontrakan yang mungil, dia bahagia. Keputusan Galen keluar dari rumah berdampak besar kepada Heni. Wanita yang melahirkan Gelan itu semakin membenci dan menyalahkan dirinya.

"Mamaaa ... cucuuu ...." Rengekan Ciara membuyarkan lamunan Miya. Wanita bertubuh mungil itu bergegas menuju dapur untuk membuatkan susu yang diminta putrinya.

Galen ternyata sudah duduk di sebelah Ciara ketika Miya selesai membuatkan susu. Pria itu terlihat berantakan dengan penampilan khas orang baru bangun tidur. Miya kemudian mengambil sebuah bantal dan menepuk-nepuknya, meminta Ciara mendekat. Gadis kecil itu tersenyum cerah setelah menerima botol susu miliknya, dan langsung tidur.

Miya mengusap kepala Ciara dan mencium pipinya lembut. Pandangannya beralih menuju Galen yang tampak kusut sambil bermain ponsel. "Kamu kenapa, Ga? Kusut sekali. Sudah seminggu ini, kamu selalu pulang dini hari," keluhnya.

"Ah, cerewet sekali kamu ini! Kayak Mami aja!" seru Galen seraya meninggalkan Miya kembali menuju kamar.

Nada bicara Galen yang tinggi membuatnya terkejut. Dia tidak tahu dimana kesalahannya. Wanitu itu hanya mengkhawatirkan sang suami.

Miya beranjak dari duduk dan langsung mengejar suaminya ke kamar. Dia duduk di ranjang bersisian dengan Galen. Wanita bermata bulat itu menyentuh lengan suaminya. "Kamu bisa berbagi denganku, Ga. Ceritakan apa masalahnya!"

"Lamaranku selalu berakhir penolakan Miya. Sedangkan kamu tahu, kita tidak bisa mengandalkan hidup dari gaji barista saja. Itu nggak cukup!" Mata Galen memerah, dia tampak frustasi.

"Kamu hanya perlu bersabar, Ga." Miya berusaha memberi semangat kepada suaminya. Tiba-tiba, dia mendapat ide. "Kamu bisa menerima jasa desain grafis. Kamu mahir untuk itu, sementara aku masih bisa menerima jasa menjahit dari konveksi untuk membantu keuangan kita."

Miya bisa memahami kegusaran Galen. Selama dua tahun ini, pria 24 tahun itu berjuang menyelesaikan kuliahnya sambil bekerja menjadi barista di malam hari. Semenjak enam bulan yang lalu, Galen lulus dan menjadi sarjana akuntansi. Entah kenapa, Galen memilih jurusan yang bukan minatnya. Padahal Galen sangat berbakat dalam desain grafis.

"Aku bisa membiayai kehidupan kita tanpa bantuanmu!" ketus Galen tidak suka, tapi di lubuk hatinya dia suka gagasan Miya tentang desain grafis.

"Please, Ga! Aku hanya ingin berguna dan ingin mewujudkan mimpiku."  Miya menatap Galen dengan perasaan campur aduk.

"Aku tidak melarangmu belajar menjahit dan merancang pakaian. Tapi, untuk urusan kebutuhan kita biar aku yang mencari," tegas Galen.

Harga diri Galen terlalu tinggi. Mereka berdua sama-sama keras kepala. Miya bersyukur suaminya adalah orang yang bertanggung jawab. Masalahnya, dia tak bisa mengandalkan gaji Galen  sebagai barista yang hanya dua juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan membayar sewa rumah. Dia hanya ingin membantu suaminya.

Pembicaraan tentang hal ini selalu saja berakhir perdebatan di antara mereka. Miya hanya bisa terdiam ketika Galen beranjak pergi dan menyambar jaket yang tersampir di kursi. Tak lama terdengar suara deru motor yang menjauh.

Wanita mungil itu menatap kepergian suaminya dengan hati terluka. Mereka akhir-akhir ini sering bertengkar. Padahal dulu, Galen adalah sosok yang romantis dan selalu memuja Miya. Dia memejam sejenak, berusaha meredamkan emosinya yang tersulut. Bibirnya dengan lirih melantunkan kalimat istigfar.

Miya mendekati Ciara yang tertidur pulas di karpet ruang tamu. Melihat wajah yang tak berdosa itu selalu membuat hatinya menghangat sekaligus menjadi penyemangat dalam menjalani hari. Miya mengecup kening Ciara perlahan agar tidak membangunkan buah hatinya.

Wanita cantik itu mengambil sebuah buku sketsa di rak peralatan jahit. Dia membuka halaman demi halaman mengamati hasil coretan tangannya. Sketsa beragam model pakaian muslim memenuhi buku itu. Tanpa sadar bibirnya melengkung, menjadi seorang desainer pakaian adalah impiannya.

Tangan Miya berhenti pada suatu halaman, ia mengusap sebuah gambar berupa setelan celana dengan tunik panjang semi blazer selutut berwarna biru navy yang dipadukan dalaman blus putih. “Entah kapan mimpi itu bisa terwujud, tanyanya dalam hati,” gumam Miya lirih sambil mengusap bukunya yang berharga.

Bagi Miya impiannya menjadi seorang desainer masih tersimpan rapi di sanubari. Semenjak menikah dengan Galen, semangatnya meraih mimpi kembali menyala. Impian yang harus terkubur bertahun-tahun lalu, kini mulai menemukan titik terang.

Wanita berhidung mungil itu membuka lembar yang masih kosong, dia mengambil sebuah dan mulai menggambar. Beberapa hari ini, kepalanya dipenuhi ide tentang desain gaun pengantin muslim.
***
Jalanan Jogja siang ini sangat terik ketika Gelan memacu motor matic-nya dengan cepat. Dia keluar rumah dengan emosi, kepalanya berdenyut nyeri dan hatinya dipenuhi amarah.

Beberapa bulan ini, Galen melamar pekerjaan tapi belum ada yang diterima. Hal ini membuatnya gusar. Pekerjaan sebagai barista yang dijalani hanya sekedar penyambung hidup. Galen merasa hal itu bukanlah passion-nya.

Sepanjang perjalanan Galen memikirkan ucapan Miya. Mungkin benar yang dikatakan istrinya, bahwa dirinya mempunyai bakat di bidang desain grafis. Sewaktu kuliah, Galen paling sering dimintai tolong oleh teman-temannya untuk membuat desain untuk flyer, logo, banner bahkan desain kaos untuk kebutuhan even kampus.

Galen mengendarai motornya melewati jalan Gejayan yang cukup padat, dia bermaksud mengunjungi kost Riko. Pria itu memarkir motornya di depan rumah kost berlantai dua. Gegas dia menuju sebuah kamar kos di lantai dua yang terletak paling ujung.

"Woi! Panjang umur nih bocah, baru juga gue omongin," seru Riko begitu Galen terlihat di depan kamarnya. Galen menatap pria asal Jakarta yang tampak duduk di lantai sambil merokok.

"Kenapa lu suntuk banget?" Riko mengernyit melihat penampilan Galen yang ajaib. Seketika Riko terbahak melihat kostumnya yang hanya memakai kaus putih yang sudah memudar warnanya dan celana panjang bergaris yang biasa dipakai saat tidur.

"Anj**t! Nggak sadar gue!" Wajah Galen memerah ketika memindai penampilannya. Dia merutuki dirinya sendiri, padahal selama ini Galen dikenal sebagai “man in black”. Hanya saat di rumah, pria itu berpakaian selain warna hitam.

"Dah lah ... nggak usah lo pikirin. Masuk! Ngapain lo diem di pintu?!" Galen melangkah masuk ke kamar dan langsung mengempaskan tubuhnya di samping sahabatnya.

Galen melirik Riko yang tampak santai tanpa beban dalam hidupnya. Riko merupakan orang yang dia datangi jika hatinya sedang galau, bersama-sama mendengarkan segala jenis aliran musik sambil bercanda yang kadang melewati batas.

"Mo nyobain nggak?" Tiba-tiba Riko mengulurkan sebuah lintingan kecil mirip rokok kepada Galen.

"Apaan tuh? Cimeng ya? Ogah gue!"

"Tenang aja, kalo ini nggak bakal mabuk. Buat relaks aja." Riko meletakkan lintingan putih itu di lantai, kemudian beranjak keluar kamar dengan alasan mau buang air besar.

Kepala Galen bergoyang mengikuti irama musik cadas yang menggema dalam ruangan. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada lintingan yang tergeletak di lantai. Tanpa sadar jemarinya terulur meraih benda tersebut, benda yang mengubah hidupnya di kemudian hari.

♥️♥️♥️

Cerita tanpa visual kek makan sayur tanpa garam. Enggak enak, Genks😁
Sosok Miya yang mungil berdampingan dengan sosok playboy insaf kek Galen. 😎😂

Kalian boleh banget bayangan visual lain sebagai tokohnya😘

🌷🌷🌷

See U tomorrow, Genks

😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top