Bab 18. Tekad Baru

Yuhuuu ....

Aku datang membawa cinta. Eakk 😁
Yang kemaren kangen Galen siapa? Cung!

Cuzz ... happy reading❤

🌷🌷🌷


Miya hanya diam menyimak perkataan Fadhil tentang dr. Arzan Ravindra. Sosok penolong Ciara itu ternyata dosen sekaligus dokter salah satu kolega Dirga. Fadhil bercerita bahwa dia pernah dikenalkan oleh papanya saat dimintai tolong mengantar berkasnya yang ketinggalan.

Fadhil bercerita dengan antusias tentang Arzan. Dokter sekaligus dosen muda paling terkenal di fakuktas kedokteran. Miya hanya menyimak cerita Fadhil sambil lalu. Hal-hal yang berbau dokter membuatnya muak. Dia lebih menikmati memandang ruas jalanan yang macet seraya mendengarkan suara merdu Mahalini. Tangannya mengusap lembut kepala Ciara yang tertidur di pangkuannya.

Masih jelas teringat pelukanmu yang hangat
Seakan semua tak mungkin menghilang
Kini hanya kenangan yang telah kau tinggalkan
Tak tersisa lagi waktu bersama
Mengapa masih ada
Sisa rasa di dada
Di saat kau pergi begitu saja?
Mampukah ku bertahan
Tanpa hadirmu Sayang
Tuhan, sampaikan rindu untuknya

Lagu Sisa Rasa milik Mahalini merupakan lagunya setiap malam. Jeritan rindu di hati Miya seakan-akan terwakili di setiap lirik yang keluar dari bibir penyanyi cantik itu. Miya berpaling, membuang ke jendela samping berusaha menyembunyikan pelupuk matanya yang mulai terasa panas. “Ganti lagunya, Dek.” Miya berkata lirih dengan suara bergetar.

Fadhil menatap sang kakak yang memalingkan wajah. Sesaat pemuda itu bingung dengan permintaan Miya. Dia baru sadar setelah mendengarkan lirik lagu yang keluar dari audio. Dengan cepat jemari Fadhil mengganti dengan lagu lain. Berusaha mencairkan suasana yang terlihat muram, pemuda berkumis tipis itu menjatuhkan pilihan pada lagu Ojo Dibandingke.

Fadhil berusaha menyanyikan lagu yang sedang viral itu. Lidahnya beberapa kali keseleo menirukan lagu dengan bahasa Jawa hingga membuat Miya akhirnya menoleh. Wanita berhijab itu berusaha mengoreksi ucapan Fadhil. Beberapa tahun tinggal di Jogja membuat Miya sedikit banyak memahami bahasa Jawa.

Fadhil tersenyum puas ketika mendapati sang kakak turut bernyanyi. Canda tawa mengiringi perjalanan mereka menuju ke rumah.

***

Sementara itu di sebuah rumah sederhana di Jogja.

Laki-laki berjambang itu berdiri di teras samping. Maniknya menatap ke langit yang dipenuhi cahaya bintang. Alam selalu dapat menenangkan batinnya. Namun, malam ini hal tersebut tidak berlaku untuknya.

Entah sudah berapa lama laki-laki itu berdiri. Hingga akhirnya lelaki berkaus hitam itu memilih duduk di lantai dan menyulut sebatang rokok untuk menemani kesendiriannya. Bibirnya bermain-main mengeluarkan gumpalan asap berbentuk lingkaran-lingkaran kecil yang akhirnya hilang tersapu embusan angin. Wajahnya begitu muram. Ketampanan yang bisanya terlihat kini tertutup kumis dan jambang. Rambutnya pun sedikit lebih panjang. Beberapa bulan berada di balik terali besi membuatnya abai kepada dirinya sendiri.

“Ga ... Galeeen ....” Terdengar suara lirih dari arah kamar.

Galen segera menginjak rokok yang tadinya terselip di bibirnya hingga mati. Dengan tergesa dia melangkah menuju kamar di mana Mami Heni terbaring lemah.

“Gaaa ....” Suara Mami terdengar lirih dan bergetar. Wajahnya kini terlihat pucat dan kuyu. Tidak ada lagi riasan yang menghiasi wajah cantiknya. Hanya kesedihan yang tergambar jelas di wajah renta itu.

“Mami butuh apa? Minum? Biar Galen ambilkan, ya?” Galen duduk di tepi ranjang, menatap cemas ke arah wanita yang melahirkannya. Dia meraih air mineral di meja kecil samping ranjang. Meja itu sengaja diletakkan di sana untuk meletakkan keperluan dan obat-obatan Mami Heni.

Mami menggeleng pelan dan menepis botol air mineral dalam genggaman Galen dengan tangannya yang sehat. “Mami nggak haus Ga. Mami butuh Miya sama Ciara. Kapan kamu jemput mereka? Sudah satu minggu kamu pulang. Mami rasa sudah waktunya kamu jemput mereka. Mami kangen. Mami mau minta maaf, Gaaa. Kamu bisa jual perhiasan simpanan Mami di lemari buat ongkos dan keperluanmu.”

Galen hanya tersenyum mendengar ucapan Mami. Jemarinya mengusap-usap punggung tangan Mami Heni yang keriput. “Kita fokus Mami sembuh dulu. Miya sama Ciara biar liburan dulu di rumahnya. Kalo Mami sembuh nanti kita jemput sama-sama. Oke?”

Mami Heni hanya tersenyum tipis. Dia memahami alasan Galen. Obat yang baru diminum Mami membuatnya mengantuk. Tak lama dengkur halus terdengar dari bibir Mami Heni.

Setelah Galen bebas, Mami memilih pulang ke rumah meskipun biaya perawatannya sudah terjamin. Kondisi Mami sebenarnya belum mengalami kemajuan berarti. Tubuh bagian kanan masih tidak bisa digerakkan.

Mami Heni pernah bertanya kepada perawat perihal biaya perawatannya. Namun pihak rumah sakit hanya mengatakan bahwa semua biaya gratis karena sudah ada yang menjamin. Ketika Mami mendesak, mereka hanya mengatakan bahwa itu data rahasia.

Galen memandang Mami yang terlelap dengan hati iba. Begitu bebas, hanya Mami tempatnya pulang. Dia tidak mungkin tinggal di rumah kontrakan mereka yang dipenuhi oleh kenangan Miya dan Ciara.

Pada akhirnya Galen memang dinyatakan tidak bersalah oleh pihak kepolisian. Sebenarnya tanpa bantuan Dirga pun, dia yakin akan bebas.

Saat ini, dia merasa menjadi sosok laki-laki yang tidak berguna. Seorang pecundang sejati. Rasa bersalah terus saja menggerogoti jiwanya. Semenjak Miya dan Ciara pergi, dirinya merasa hampa.

Galen memang pernah khilaf, di saat dia memutuskan berhenti justru mendapat kesialan. Dirinya tertangkap. Semua kesalahan itu harus dibayar sangat mahal, dengan kehilangan anak dan istrinya.

Setelah memastikan Mami terlelap, Galen beranjak keluar kamar. Dia memilih untuk kembali ke teras. Laki-laki itu kembali menyulut rokok guna membunuh sepi. Pikirannya kembali menerawang. Banyak hal yang berlarian di benaknya.

Tanpa terasa waktu sudah melewati tengah malam. Galen masih dalam posisi duduk di lantai dengan kaki bersila. Entah sudah berapa puntung rokok yang habis terbakar. Asbak yang berada di sisi Galen sudah tidak mampu lagi menampung isinya. Abunya berserakan di lantai.

Setelah merenungi banyak hal dalam hidupnya. Asa yang tadi berserak kini berganti dengan sebuah tekad. Ada yang harus diperjuangkan demi sebuah asa. Meski harus memulai semua dari nol, Galen merasa siap. Dia harus berjuang lagi demi merebut kembali harta miliknya yang berharga. “Orang itu harus membayar semua,” desisnya geram.

Keesokan pagi, Galen tampak sudah rapi. Kumis dan jambangnya sudah tercukur habis. Rambutnya yang sedikit panjang disisir ke belakang dan terlihat klimis. Dia kemudian menghampiri Mami yang baru saja selesai sarapan.

“Mi, Galen pergi dulu, ya. Ada sesuatu yang harus Galen kerjakan. Mudah-mudahan siang bisa selesai.” pamit Galen kepada Mami. Kemudian laki-laki yang mengenakan kemeja biru itu berpaling kepada Bu Endang. “Bulik, Galen titip Mami, ya.”

“Iya, Le. Kamu nggak usah khawatir. Selesaikan aja urusanmu itu. Mamimu  Insya Allah aman sama bulik,” ucap Bu Endang sembari membereskan bekas sarapan Mami.

Mami tersenyum melihat putranya yang sudah rapi. Hatinya bersyukur melihat penampilan Galen yang kembali seperti semula. Binar mata Galen pun tampak lebih hidup. Tanpa banyak bertanya Mami hanya berpesan agar Galen berhati-hati.

Galen melangkah memasuki Epico Coffee diiringi tatapan kaget para karyawan. Dia mencoba tersenyum dan menyapa teman-teman lamanya. Tujuannya ke sini bertemu Pak Juna. Galen merasa berhutang banyak hal kepada pemilik Epico itu.

Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, Galen melangkah masuk ke ruangan berwarna putih. Hatinya sempat berdebar dan merasa khawatir melihat pria yang duduk di balik meja kerjanya itu.

“Selamat pagi Pak Juna ....”


***

Sorry for typo

Malang, 24 Agustus 2022
Askina Hasna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top