Bab 17. Pertemuan Tak Terduga

Hai ... selamat sore🤗

Maafkeun aku kemaren nggak apdet, gegara naskahku hilang. Duh, rasanya nyesek banget harus nulis lagi dari awal 🤧🤧🤧

Yang kemarin kepo dengan sosok laki-laki berkaca mata, yuks kenalan 🥰

🌷🌷🌷


Udara pagi yang sejuk ditambah semilir angin yang menerobos di antara pohon-pohon yang rimbun sungguh suatu perpaduan yang harmonis. Pantas saja jika taman Van Der Pijl yang berada di jantung kota menjadi salah satu objek wisata favorit warga Banjarbaru.

Pagi ini, Miya bersama Fadhil dan Ciara ingin menikmati suasana pagi taman kota Banjarbaru yang sejuk. Sebenarnya, Fadhil ingin mengajak sang kakak berserta keponakannya yang imut itu pergi ke tempat lain. Namun, Miya menolak dengan tegas. Akhirnya mereka bersepakat mencari tempat yang dekat. Sepasang kakak beradik itu berencana jalan-jalan pagi sekalian menemani Ciara bermain.

Menurut Fadhil, Miya perlu banyak menghirup udara segar. Wajah Miya terlihat sangat pucat dengan kantung mata yang menghitam. Bobot tubuh wanita itu juga merosot  drastis. Fadhil bahkan sempat bercanda jika kondisi kakaknya seperti itu terus bisa dirawat di rumah sakit akibat kurang gizi.

Miya hanya tertawa kecil menanggapi candaan adiknya. Bobot tubuhnya memang berkurang delapan kilogram dalam waktu kurang dari empat bulan. Dia kini menderita insomnia. Sejak pulang ke rumah, sering kali Miya baru bisa memejamkan mata menjelang Subuh.

Baru satu putaran mengitari taman, kepala Miya sudah berdenyut nyeri. Wanita itu kemudian memilih duduk sejenak di bangku taman. Miya mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya berharap kadar oksigen yang sampai ke otak bisa mengurangi sakit kepalanya.

Fadhil yang merasa khawatir berniat mengajak pulang, namun segera ditolaknya. Miya tidak ingin mengecewakan Ciara yang tampak antusias begitu memasuki taman. Banyaknya permainan untuk anak-anak membuat Cia bersemangat.

Miya hanya mengamati putrinya sang tampak antusias bermain pancing ikan bersama Fadhil. Tawa kecil Cia sayup-sayup sampai ke telinga Miya. Tampak Fadhil jongkok di sisi Cia mengajari gadis kecil itu bermain pancing ikan. Miya bersyukur adiknya begitu telaten menemani Cia pindah dari permainan satu ke permainan yang lain.

Pandangan Miya kemudian mengedar ke penjuru taman. Banyak sekali keluarga muda yang sedang menemani anak-anaknya bermain. Di sisi lain taman tampak beberapa pasangan muda-mudi yang bercanda mesra menghabiskan waktu pagi bersama.

Melihat pemandangan di hadapannya, membuat kerinduan menyeruak dari hati Miya. Wanita yang pagi ini mengenakan setekan kulot panjang dan kaus itu teringat kebersamaannya bersama Galen dan Cia. Tangan Miya melipat seakan-akan memeluk dirinya sendiri. Mencoba mengusir sepi yang mendadak hadir memenuhi ruang rindu di hatinya. Berharap dengan memeluk dirinya sendiri dada Miya terasa hangat. Namun, semua hanya angan kosong belaka. Hatinya kini dipenuhi tanya bagaimana kabar kekasih hatinya itu? Apakah Galen juga merindukan mereka sebesar dia menabur dirinya?

“Mamaaa!”

Miya tersentak ketika tiba-tiba Ciara menghambur dan memeluk pinggangnya. Dengan cepat dia mengerjap beberapa kali berusaha menormalkan matanya yang sejak tadi memanas. Jika saja Ciara tidak datang mungkin air mata sudah berlomba turun. Miya kemudian sedikit membungkuk guna memeluk dan mengecup kening Cia.

“Cia haus, Mama ....” Ciara merengek dan menarik-narik baju sang mama. Bulir keringat terlihat di kening dan beberapa titik di wajahnya.

“Kak, adek mau cari air mineral dulu. Kaka mau titip apa?” Sama seperti Ciara, Fadhil juga terlihat kehausan.

Miya hanya menggeleng pelan. Setelah Fadhil menghilang dari pandangan, dia kemudian mengulurkan sekotak susu cokelat kesukaan Cia lengkap dengan sedotannya. Tak butuh waktu lama satu kota susu berukuran kecil itu tandas tak bersisa.

“Mau lagi Mama ....”

Miya terkekeh seraya mengusap kepala Cia dengan gemas. “Oke, ini satu lagi buat Cia. Ada biskuit kesukaan Cia juga, nih.”

Dengan mulut masih menyesap susu kotak, tangan kecil Cia langsung menyambar biskuit di genggaman Miya. Gadis kecil itu terlihat menikmati susu dan biskuit kesukaannya. Sesekali matanya mengedar melihat sekelilingnya.

“Mamaaa ... Cia mau balon spongbob yang besal,” tunjuk Ciara ke arah penjual balon di ujung taman.

“Oke. Kita tunggu Om Fadhil bentar, ya.” Miya berusaha membujuk putrinya.

Tiba-tiba, Ciara menghambur berlari ke arah penjual balon. Miya sungguh terkejut. Dengan gelagapan, dia menyambar tas di bangku dan berusaha mengejar putrinya. Kepala yang masih terasa pusing membuat Miya sedikit kesulitan mengejar Ciara.

Miya begitu terkejut setelah berhasil menemukan Ciara, tampak putrinya sedang menangis dalam gendongan laki-laki asing. Wanita itu segera meraih Cia dan berusaha menenangkan Cia yang terisak.

“Sakit Mama,” rintih Cia sambil memeluk leher Miya yang terbalut hijab.

Wanita bertubuh mungil itu kembali terkejut mendapati siku dan lutut Cia yang berdarah. Miya seketika menjadi panik.

“Maaf, itu semua salah saya.” Suara berat seorang laki-laki berpakaian kasual mengejutkannya. “Saya sedang menelepon sambil jalan hingga tidak melihat gadis cantik ini lari.”

Miya mendongak dan menatap laki-laki yang menatap Ciara dengan raut bersalah.

“Biar saya obati. Kebetulan di mobil saya ada kotak P3K.” Laki-laki itu melepas topi yang dikenakannya dan tersenyum tulus.

Miya menimbang sesaat. Cia yang terus merengek membutuhkan peetolongan segera. Lagi pula, dia tahu betul bahwa di mobil Fadhil tidak menyimpan obat-obatan. Akhirnya, dia mengekori laki-laki asing itu menuju mobilnya.

Kening Miya mengkerut ketika melihat mobil berwarna hitam di hadapannya. Kendaraan itu tampak familier. Namun, tangisan Cia mengalihkan perhatian wanita itu. Miya begitu takjub melihat sosok asing itu begitu telaten membersihkan luka Cia sambil menceritakan cerita lucu.

Cia kembali ceria. Matanya berbinar kembali. Putri kecil Miya langsung terlihat akrab dengan sosok penolongnya.

“Selesai,” Laki-laki itu tersenyum lebar setelah menutup luka Cia dengan plester lucu bermotif dinosaurus.

“Makasih, Om. Udah enggak sakit, kok,” ucap Cia sambil meringis.

“Sama-sama, Cia. Panggil aja Om Arzan. Oke?” ucap Arzan sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Om Aljan, ya. Oke?” Cia kembali meringis.

Arzan pun terbahak melihat tingkah Ciara yang menggemaskan.

“Ma-maaf, Pak. Putri saya belum lancar bicara. Ehm, saya berterima kasih atas pertolongan Bapak. Sekali lagi, kami pamit.” Miya sedikit menunduk guna menunjukkan ras terima kasih. Dia kemudian menggendong Ciara dan bersiap pergi.”

“Sebaiknya sebelum kuliah kamu lebih baik sarapan dulu,” seru Arzan hingga membuat Miya berbalik dan menatap dengan raut bingung.

“Maksud Bapak?”

“Roti yang saya berikan nggak akan cukup mengganjal perutmu yang berbunyi keras. Pastikan sarapan yang cukup hingga kamu bisa fokus mengikuti kuliah saya besok ... tolong jangan panggil saya Bapak selain di kampus. Saya rasa wajah saya belum setua itu.” Arzan kembali berucap dengan tenang.

Mata Miya membulat. Wajahnya memerah mengingat peristiwa di parkiran kampus beberapa waktu lalu. Dia menunduk menyembunyikan malu saat mengingat perutnya yang berbunyi nyaring. Suara ponselnya yang berdering menjadi penyelamat. Miya bergerak sedikit menjauh guna menjawab panggilan.

Tak lama Fadhil berlari dengan sedikit terengah menuju ke arah mereka. Raut khawatir tergambar jelas di wajah pemuda itu. “Kakak sama Cia nggak papa? Maaf aku tadi beli minum terus ke toilet, eh malah ketemu temen. Jadinya ngobrol. Maaf!” Fadhil berusaha mengatur napasnya.

“Iya, nggak papa, Dek.”

“Loh, ini Fadhil anaknya Dokter Dirga, ‘kan?”

Fadhil berpaling dan terkejut melihat laki-laki di hadapannya. “Kak, Arzan. Kok bisa kenal sama Kak Miya dan Ciara?” tanya Fadhil dengan raut bingung.

Fadhil tersenyum kecil. Dia mencatat dalam hati nama wanita di hadapannya. Sosok wanita rapuh dengan sorot penuh luka itu mengusik perhatiannya.

***

Malang, 23 Agustus 2022
Askina Hasna

.
.
.
.
.

Lagi bingung nyari visual Arzan sama Ciara. Belum nemu yang klik.

Btw, ada yang kangen Galen nggak🤭😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top