Bab 16. Pertengkarqn Tak Berujung
Hai, Genks🥰
Aku mau survey kecil-kecilan, nih. Kalian tahu cerita ini dari mana? Menurut kalian gimanq
cerita ini, alurnya terlalu cepat atau lambat?
Makasih atas masukannya🥰🙏
Happy reading🤗
🌷🌷🌷
“Mamaaa!” Ciara berlari menyambut Miya yang baru memasuki rumah. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang lucu dengan senyum mengembang sempurna. Tampak Riana mengekori di belakangnya.
Miya langsung berlutut dan memeluk Ciara dengan gemas. Berulang kali menciumi pipi gembil sang putri guna meluapkan kerinduan setelah seharian tidak bertemu. “Mama bersih-bersih diri dulu, ya, habis itu kita main. Oke?”
Ciara mengangguk-angguk dengan semangat. Tak lama keduanya bergandengan tangan menuju lantai atas.
Riana melangkah mendekat, kemudian membungkuk di depan Ciara. “Ciara mau camilan apa? Nanti nenek bawain ke kamar buat Cia maen. Kalo puding stroberi mau nggak? Tadi siang nenek sudah buatin Cia, loh.”
“Mauu! Cia mau puding stobeli, Mama,” rengek Cia sambil menarik-narik baju mamanya.
“Iyaaa tapi Cia mandi dulu, ya. Bau asyem, nih. Sekarang sudah sore.” Miya berusaha membujuk putrinya.
“Nggak mauuu! Mau stobeli dulu, Mamaaa.” Ciara menggeleng dan merajuk. Dia berdiri mematung sambil cemberut.
Miya memandang putrinya dengan raut kesal. Akhir-akhir ini Ciara sering merajuk. Padahal dulu sang putri sangat penurut. Rasa lelah mengikuti perkuliahan seharian menyulut emosi Miya. Dengan tidak sabar wanita itu langsung menggendong Ciara.
“Huwaaa ... Cia mau stobeli, Mama. Mama jahaaat.” Ciara merengek dan tangan kecilnya memukul-mukul bahu sang mama.
“Ciaa ....” Miya mendesis menahan geram.
“Miya, Cia biar sama mama dulu, aja, ya!” bujuk Riana berusaha menengahi.
“Nggak! Pokoknya Cia harus mandi dulu. Ini semua gara-gara Mama, Ciara sekarang jadi manja.” Mata Miya melotot, menatap Riana dengan sengit.
“Kak, jangan keterlaluan!” tegur Fadhil dengan nada meninggi. Dia yang dari tadi diam saja melihat pemandangan di hadapannya akhirnya buka suara memprotes sikap Miya yang berlebihan.
“Diam kamu! Nggak usah sok ikut campur!” Mata Miya melebar, menatap tajam ke arah Fadhil.
“Sudah ... sudah ... Miya ... Fa–“
“Ada apa ini? Sore-sore sudah berisik sekali. Bertengkar saja!” Suara Dirga menggelegar mengagetkan semua orang. Detak sepatu laki-laki yang memasuki rumah beradu dengan lantai marmer yang licin menimbulkan bunyi cukup nyaring.
Riana langsung menghampiri sang suami, dan memberi kode kepada Miya lewat tatapan agar segera ke atas. Wanita paruh baya itu mengambil tas kerja Dirga dan menggiring sang suami ke kamar dengan lembut. “Ayo, Pa ... kita ke kamar dulu. Papa pasti capek. Biar mama siapkan air hangat dulu. Tumben, Papa sore sudah pulang.”
“Malam nanti aku harus ke rumah sakit lagi. Ada operasi.” Dirga berkata dengan dingin. Dia tidak menolak ajakan sang istri. Tubuhnya memang terasa letih karena sejak Subuh sudah harus berada di rumah sakit. Pagi sampai siang tadi, Dirga habis melakukan operasi sebanyak tiga kali berturut-turut. Operasi bedah membutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi. Sebagai dokter senior, Dirga kerap dipercaya menangani kasus khusus.
Kehadiran Dirga selalu membuat Miya merasa terancam. Dia masih mematung ketika Dirga dan Riana melangkah pergi. Sayup-sayup suara Dirga dan Riana terdengar. Namun bagi Miya, suara jantungnya berdegup lebih keras saat Dirga berada di dekatnya. Kecemasan langsung membanjirinya hingga wajah Miya berubah pias.
“Mama ....”
Suara Ciara mengejutkannya. Dia terdiam sesaat berusaha menormalkan degup jantungnya.
“Kakak baik-baik, aja?” tanya Fadhil cemas. Dia melihat wajah Miya yang langsung pucat dan sedikit gemetar. Bulir-bulir keringat bermunculan di kening kakaknya.
Miya hanya bisa menggeleng lemah. Dia kemudian memperbaiki posisi gendongan Ciara yang melorot dan segera berlalu ke atas.
“Mamaaa, ayo, main!” rengek Ciara. Dia menggoyang-goyangkan boneka barbie-nya di depan wajah mamanya.
“Ah ... i-iya.” Miya tergagap dari lamunannya. Wanita itu mencoba tersenyum dan meraih barbie satunya dan mengajak main Ciara dengan rumah barbie berwarna pink.
Mengenakan rok bunga warna kuning, Ciara tampak cantik dan menggemaskan. Aroma bedak dan minyak telon memenuhi ruangan. Segar khas bayi. Setelah drama tadi, akhirnya gadis kecil itu mau mandi.
Di saat asyik bermain, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Riana menyembul dengan nampan berisi camilan. Wanita yang mengenakan gaun rumahan itu langsung duduk di karpet di mana Ciara bermain. “Nenek masuk, ya, Sayang. Ini ada puding sama susu buat Ciara. Buat Mama Miya juga ada, loh. Cia maem bareng Mama, ya. Harus dihabiskan, ya,” bujuk Riana sambil mengusap rambut Ciara.
Ciara bertepuk tangan dengan gembira. Dia langsung meraih mangkuk berisi puding stroberi dengan saus cokelat. Dengan semangat Ciara menyuap sendiri makanannya hingga wajahnya terdapat bercak saus cokelat.
Dengan gemas, Riana berusaha membantu dan membersihkan wajah sang cucu. Dia kemudian berpaling kepada Miya. Hatinya terasa nyeri melihat wajah putrinya yang semakin tirus. “Makanlah yang banyak, Miya. Kamu semakin kurus,” lirih Riana.
Miya hanya tersenyum miring menanggapi ucapan mamanya. Dia hanya mencoba menyuap perlahan puding di tangannya.
“Mama minta maaf, Nak.” Riana berucap lirih.
Sontak, Miya tertawa. “Kenapa hari ini banyak sekali orang minta maaf?” Menghentikan suapannya, mata Miya berpaling menatap deretan foto-foto masa kecilnya. “Apakah permintaan maaf Mama bisa mengubah masa lalu?”
“Miya ....”
“Miya maafin Mama, kalo itu bikin lega.”
“Mama selalu khawatir keadaanmu. Kamu jangan lagi mengabaikan keluargamu, Nak.”
“Mama lucu! Kalian yang membuang kami bertahun lalu. Lalu, tiba-tiba datang dan memaksa kami berpisah. Sekarang, Miya seperti tawanan. Kemana-mana harus dikawal,” ejek Miya.
“Itu semua demi kebaikanmu, Nak. Lagi pula Galen pecandu, dia tidak pantas—“
“Galen tidak bersalah, Ma. Dia memang khilaf. Tapi, malam itu dia hanya ingin menolong temannya!” pekik Miya tidak terima. “Nggak ada pernikahan yang sempurna. Kami sama-sama berjuang, tapi kami saling mencintai. Miya cinta Galen, Ma!”
“Cinta nggak akan bisa menghidupi kalian.” Suara Dirga terdengar tegas. Laki-laki berkaca mata itu berdiri di pintu kamar Miya. Sebenarnya, dia ingin mencari istrinya karena harus berangkat lebih awal ke rumah sakit.
Miya dan Riana terkejut mendapati Dirga yang tiba-tiba muncul. Riana segera bangkit dan menghampiri suaminya. Dia tidak ingin melihat pertengkaran antara mereka dan berusaha mengalihkan perhatian Dirga. “Papa, kok, sudah rapi. Katanya berangkat jam tujuh malam. Sekarang masih jam enam lebih dikit,” ucap Riana setelah melihat jam di dinding.
Mengabaikan perkataan Riana, Dirga menyorot tajam ke arah Miya. “Sepertinya kamu harus banyak bergaul. Terlalu lama hidup susah membuat cara berpikirmu perlu direset ulang. Papa akan mengenalkan kamu bagaimana kehidupan sosial yang sesungguhnya.”
“Apa maksud Papa?”
Mengabaikan pertanyaan putrinya, Dirga segera berlalu dan turun diikuti sang istri. Mendengar nama Galen kembali membuatnya geram. Dia pikir setelah keluar dari kehidupannya yang susah, dan memberi fasilitas layak bisa membuat Miya berubah. Dirga berencana akan memikirkan hal ini nanti. Saat ini dia harus bergegas ke rumah sakit secepatnya.
Perkataan sang papa membuat hati Miya diliputi tanda tanya. Tindakan Dirga selalu tak terduga. Seketika dirinya merasa khawatir.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top