Bab 15. Sang Bodyguard

Hai, Genks🥰

Semoga hari ini sehat semua, ya. Bagi yang sakit semoga segera diberikan kesembuhan. Aamiin🤲

Enjoy, it! Happy reading😘

🌷🌷🌷


Ahmad Fadhil Ardiansyah
Adek yang baru saja dilantuk jadi bodyguard. Status : jomlo😁

***

Dengan ponsel menempel di telinga, Miya keluar dari kampus menuju area parkir. Langit sudah mulai berubah warna. Wanita itu melihat jam digital di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 15.03. Pandangannya mengedar, dengan segera wanita mungil itu membuka pintu mobil berwarna putih dan mengempaskan pantatnya di kursi penumpang.

“Kak ....”

Miya hanya melirik sekilas kepada pemuda yang duduk di belakang kemudi. Dia memilih memainkan ponsel dan sekedar cuci mata di aplikasi belanja.

Fadhil hanya menggeleng pelan melihat sikap sang kakak yang tak kunjung mencair. Dia merindukan kehangatan mereka dahulu. Rasa bersalah selama bertahun-tahun yang menghantuinya kembali mencuat ketika melihat langsung kondisi kakaknya sekarang.

Tubuh Miya yang semakin menyusut membuat kekhawatiran Fadhil bertambah besar. Pemuda dua puluh tahun itu merasa tidak berdaya. Tekanan ayah mereka sangat besar sehingga membuat anggota keluarga yang lain tidak berkutik.

Miya baru menghentikan aksinya memainkan ponsel ketika mobil yang ditumpanginya berhenti. Keningnya seketika mengernyit saat mengetahui bahwa mereka tidak di rumah melainkan di depan sebuah restoran cepat saji. “Kenapa ke sini? Aku harus pulang! Ciara butuh aku!” ketus Miya seraya menyorot tajam ke arah Fadhil.

Hati Fadhil terasa nyeri ketika Miya masih saja membuat jarak dengannya. Dulu, keduanya terbiasa menyapa dengan sebutan kakak adek, namun semenjak kepulangan Miya ke rumah semua telah berubah. Sang kakak membentengi dirinya begitu tinggi. Bahkan, sekarang Mia selalu ber-aku kamu dengan Fadhil.

“Please ... Kakak butuh makan. Tolong temeni Adek, ya! Please ....” Fadhil mencoba memohon seraya mengusap punggung tangan Miya.

Miya akhirnya mau turun ketika Fadhil membukakan pintu dan menggandengnya turun. Wanita berhijab lemon itu mengekori adiknya memasuki sebuah restoran cepat saji. Beruntung jam makan siang sudah lewat hingga kondisi restoran lumayan sepi. Mereka memilih duduk agak di belakang.

Tak lama, Fadhil datang dengan membawa dua nampan makanan. “Makanlah dulu! Aku tahu Kakak tadi melewatkan sarapan.” Fadhil membukakan tutup sup dan nasi, kemudian mendorong makanan tersebut ke arah Miya. “Adek sudah bilang Mama, jadi Kak Miya nggak perlu kuatir masalah Ciara. Makanlah pelan-pelan dan ... harus habis.”

Miya melotot ke arah Fadhil. “Gila kamu! Ini banyak sekali. Aku nggak mungkin ngabisin semua,” protes Miya. Miya menatap nampan yang berisi sup, nasi ayam krispi, soda ukuran besar dan es krim yang tersaji di hadapannya. Dia hendak melayangkan protes lagi, namun diurungkan. Bagaimana tidak? Pemuda di hadapannya hanya terkekeh pelan sambil memasang headset dan makan bagiannya.

Akhirnya, Miya memilih menyuap makanannya perlahan dalam dian. Dia memilih menyimpan rapat kedongkolan di hatinya. Lagi pula, perutnya sekarang sudah terasa nyeri dan kepalanya mulai terasa berat.

Fadhil baru membuka headset-nya ketika Miya mulai memakan es krimnya yang mulai mencair. Dia segera beranjak dari kursi dan kembali lagi dengan es krim yang baru. Dengan cepat Fadhil menukar es krim Miya dengan yang baru.

“Kata orang makan es krim bisa membuat suasana hati lebih baik,” ucap Fadhil sambil memandang es krim di tangannya yang mencair. Dengan cepat pemuda itu malah meminumnya. “Hmmm ... sepertinya salah. Pepatah itu nggak berlaku untuk Fadhil.” Fadhil seakan-akan berbicara sendiri, kemudian tertawa kecil.

“Jelas aja! Yang kamu minum itu susu bukan es krim,” ejek Miya.

“Kak ... maaf! Ma-af!” ucap Fadhil dengan wajah menunduk. “Fadhil memang adek yang nggak guna,” geram Fadhil. Tanggannya mengepal erat seiring emosinya yang mencuat. Terakhir, pemuda itu memukul meja dengan keras hingga semua mata memandangnya.

“Fadhil!” tegur Miya. Wanita itu tersenyum kepada orang-orang yang duduk di sekitar mereka dengan sorot permohonan maaf.

“Kakak pasti kecewa sama adek ... sama Mama ....” lirih Fadhil. Tangannya memutar-mutar gelas soda di hadapannya. Sesaat hening menyelimuti keduanya. “Setelah peristiwa itu ... papa merampas hape kita dan langsung dibanting. Semua barang kakak di buang. Mama yang mengambilnya kembali sambil berlutut dan memohon sama papa. Mama yang merapikan lagi semua barang kakak di kamar hingga seperti semula.”

Miya terkesiap mendengar penuturan Fadhil. Suapan es krim di mulutnya terhenti. Dengan sendok masih di mulut, dia menatap sang adik dengan tidak percaya. Semua kesakitan masa lalu seketika menyeruak dalam ingatan. Miya tidak menyangka bahwa Fadhil dan Riana juga merasakan kesakitan yang besar.

“Adek sama Mama bingung. Kita nggak tahu gimana caranya menghubungi Kakak. Apa daya seorang bocah yang belum lulus SMU? Mama juga tidak berdaya ....” Fadhil mengembuskan napas pelan. “Dari Kak Miya, adek belajar untuk tidak frontal sama Papa. Percuma. Kita nggak bisa menang.”

Miya menyimak semua ucapan Fadhil dalam diam. Dia merasa gamang harus menyikapi seperti apa informasi yang baru diterimanya. Selama ini dia hanya fokus dengan kesakitannya sendiri, tanpa memikirkan hal lain.

Fadhil menyesap soda yang tersisa dalam cup. Tenggorokannya terasa kering. Membuka luka lama seperti menabur garam. Semua terasa perih seperti luka itu masih baru. Di sisi lain, dia merasa bersyukur. Fadhil berharap semua bisa mengurangi sedikit rasa bersalahnya kepada Miya.

“Waktu adek ngambil kedokteran gigi, Papa marah besar. Papa sangat berharap anaknya meneruskan jejaknya jadi dokter bedah terkenal. Saat itu adek juga merasa frustasi. Kak Miya tau sendiri kalo adek nggak sepintar Kakak. Bunuh diri namanya kalo adek memaksakan diri. Akhirnya, adek merayu Papa agar mengizinkan masuk KG.” Fadhil tertawa miris. Sama seperti Miya, dia pun sebenarnya tidak ingin jadi dokter. Musik adalah dunianya. Namun, demi keutuhan keluarga Fadhil menyimpan rapat-rapat keinginannya. Kadang, dia iri melihat sang kakak yang pemberani.

“Trus ... bagaimana Adek meyakinkan Papa?” tanya Miya antusias.

Panggilan Miya barusan membuat hati Fadhil menghangat. “Ya, adek bilang kalo Papa mau naggung kalo Fadil salah pas ngoperasi pasien nggak masalah.”

Tawa Miya meledak diikuti Fadhil. Bahkan, matanya sampai berkaca-kaca menahan geli. Sungguh, dia bahkan tidak bisa membayangkan seorang Dirga mau mengalah. Hanya dua orang yang bisa  bernegosiasi dengan sang papa. Galen dan Fadhil.

Miya menatap sosok Fadhil yang duduk bertopang dagu. Pemuda di hadapannya mewarisi paras dan ketampanan Dirga saat muda. Dengan rahang yang kokoh dan kumis tipis yang menghiasi wajahnya, Fadhil terlihat lebih dewasa dari usianya. Otot-otot di tubuh sang adik yang menyembul di balik kemeja pasti menjadi magnet tersendiri bagi para gadis.

“Adek udah punya pacar?”

“Hah! Gila aja! Bundir namanya kalo sekarang!” Fadhil melotot ke arah Miya.

Miya tertawa pelan sambil mengangguk-angguk. “Ya sudah! Adek jadi bodyguard kakak aja, kalo gitu!”



***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top