Bab 14. Adaptasi Perkuliahan

Sore ....

Baru kali ini aku posting menjelang DL. Rasanya sungguh nganu. Gegarq semalam harus nyelesaikan tugas cernak di sebelah jadi belum bisq nulis. Seharian rasanya dikejar depkolektor, harus setor sebelum jam lima. 🤣🤣🤣

Yang lagi ngopi atau ngeteh boleh sambil baca kisah Miya🥰

Cuzzz 😘😘😘

🌷🌷🌷



Miya memasuki ruang perkuliahan dengan setengah hati. Seperti dejavu. Rasa yang dia alami bertahun-tahun lalu kembali menyergapnya. Rasa muak menggerogoti dirinya. Dia harus mengulang kembali materi kuliah yang dulu dipelajarinya.

Seperti titah Dirga Hutomo. Kini, Miya menjalani peran kembali sebagai seorang mahasiswi. Tiga bulan berlalu sejak dia dinyatakan sebagai mahasiswi baru fakultas kedokteran di sebuah universitas bergengsi di Banjarbaru.

Wanita itu memilih untuk menyendiri ketika masa perkuliahan berlangsung. Dia tidak berusaha menjalin pertemanan dengan siapa pun di kampus. Kecuali berhubungan dengan tugas. Saat ini Miya bagaikan mengenakan topeng kaca dan berusaha menjalankan peran sebaik mungkin. Sebuah topeng yang rapuh, bisa pecah setiap saat. Dirinya hanya boneka bagi seorang Dirga Hutomo, ayahnya.

Miya rindu menggoreskan penanya di kertas. Namun, semenjak peristiwa perpisahan dengan Galen jemarinya seakan-akan kehilangan nyawa. Selama berjam-jam kertas di hadapannya tetaplah kosong. Berapa kali mencoba hasilnya tetap sama. Hanya coretan tak beraturan dan gumpalan kertas- kertas yang diremasnya kuat yang pada akhirnya berserakan. Untuk sementara Miya menyerah pada impiannya. Ada suatu lobang besar yang menganga kini tumbuh di dadanya.

Hati Miya tertawa miris ketika berhasil menyelesaikan kuis yang diberikan oleh dosen. Dengan gampang dia menyelesaikan soal-soal tentang adaptasi sel terhadap luka dan inflamasi. Miya bahkan merasa dirinya dikutuk. Kenapa untuk hal yang dibencinya, dia malah dengan mudah mengingat. Akan tetapi, untuk hal yang dia cintai malah tangannya tidak mau bekerja sama. Ironis!


Miya menatap kosong ke depan. Ucapan sang dosen yang sedang menjelaskan surface anatomi superior dan interior hanya terdengar berupa dengungan di rungunya. Meskipun pandangannya mengarah ke layar yang menampilkan diagram anatomi, namun pikirannya melayang kepada Galen.

Sudah hampir dua bulan, Miya meninggalkan Jogja. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Mami Heni dan Bu Endang, namun nomor ponsel keduanya tidak aktif. Entah bagaimana kabar suaminya kini? Miya bahkan belum bisa menerima fakta bahwa hubungan suami istri di antara mereka sudah selesai.

Berbagai prasangka berlarian di benaknya. Hatinya bergelung kekhawatiran. Tidak mungkin dia menanyakan keadaan Galen dan Mami Heni kepada sang papa. Namun, Miya tahu bahwa Dirga Hutomo adalah sosok yang memegang ucapannya.

Rasa khawatir akan kondisi Galen melebihi perasaan rindu di hatinya. Bayangan wajah Galen yang tampak putus asa saat pertemuan terakhir terus saja berputar memenuhi kepala Miya.

“Kak ... kuliah sudah selesei dari tadi,” ucap seorang gadis berhijab biru di sampingnya.

Miya berpaling, menatap gadis yang berdiri di sampingnya dengan kikuk. Sontak dia berdiri dengan tergesa hingga diktat kuliah yang di bangku jatuh berhamburan. Miya mengucapkan terima kasih seraya tersenyum tipis ketika gadis membantunya memunguti kertas-kertas yang berserakan.

Sepasang mata mengamati sosok Miya dari balik meja. Wanita yang pandangannya tampak kosong itu mencuri perhatiannya sejak masuk ruangan. Di antara para mahasiswi yang hadir, sosok wanita itu tampak lebih dewasa untuk ukuran mahasiswi semester awal.

Laki-laki berkaca mata itu segera memasukkan semua bahan ajar dan hasil kuis para mahasiswa ke dalam tas hitam. Teringat akan jadwal praktik di rumah sakit, dokter muda itu segera melangkah keluar ruangan.

***

Miya memilih menepi di sudut taman dekat area parkir. Beruntung di bawah pohon akasia terdapat bangku kosong. Masih ada satu mata kuliah lagi hari ini. Matanya menyipit memandang ke langit di sela ranting yang berjarak. Gumpalan-gumpalan awan terlihat tenang, bertolak belakang dengan hatinya sekarang.

Entah sudah berapa lama, Miya mengarahkan pandangan ke atas. Luas langit yang tanpa batas seakan-akan menghipnotisnya. Dia berharap menemukan ketenangan dan kedamaian di sana. Matanya kini terpejam. Miya berusaha mengosongkan pikiran dan menikmati embusan angin disertai gemeresik daun.

Miya mengabaikan perutnya yang  meronta karena sejak pagi belum terisi. Dia masih menikmati kesejukan embusan angin dengan mata terpejam. Tiba-tiba suara deheman membuyarkan lamunannya. Sontak, Miya terkejut mendapati sebuah tangan yang mengulurkan sebungkus roti.

“Makanlah! Suara perutmu tadi terdengar nyaring.”

Wajah Miya. Dia meringis menahan malu dengan menunduk. Miya hanya mengangguk sekilas tanpa memandang wajah sang penolong. Bibirnya bahkan tak mampu mengucapkan terima kasih  saat menerima pemberian lelaki itu. Dengan roti dalam genggaman, Miya baru mendongak dan menatap punggung berbalut snelli itu bergerak menjauh.

Lelaki itu  masuk dalam mobil berwarna hitam yang terparkir tidak jauh dari tempatnya duduk. Pandangan Miya masih terpaku pada fortuner berwarna hitam.  Kaca berwarna gelap menyamarkan dua sosok berbeda kelamin yang sedang beradu pandang. Ada perasaan familier ketika Miya mengingat sosok tersebut. Dia mencoba menggali memori, namun suara ponsel mengalihkan perhatiannya.

“Hai Sayang!” sapa Miya dengan hangat begitu wajah sang putri memenuhi layar ponsel. “Cia lagi apa?” Melihat wajah Ciara yang tertawa membuatnya ikut tertawa lepas.

“Liat Mama! Boneka Cia balu!” ucap Ciara yang tampak bahagia memamerkan barbie barunya.

“Wah. Cantik sekali! Seperti princess, ya, sama kayak Ciara.” Miya mengacungkan jempolnya ke udara. “Nenek mana?”

Tak lama wajah Ciara berganti dengan mamanya. Riana tampak bahagia. Senyuman menghiasi bibir berwarna merah itu.

“Mama jangan terlalu manjain Cia! Masak tiap hari Ciara dibelikan mainan.” Miya langsung mengomel melihat sikap Riana yang berlebihan. Emosinya gampang tersulut oleh hal-hal kecil.

“Maafin Mama, Miya. Mama yang nggak bisa menahan diri. Mama selalu merasa bersalah tiap melihat Ciara. Mama cuma pengen Cia seneng aja beliin dia sesuatu.” Riana berusaha membela diri dan memberikan penjelasan.

“Sayang itu nggak harus materi. Kenapa sih hanya materi yang ada di pikiran keluarga kita?” Miya segera mematikan sambungan telepon. Emosinya kembali tersulut. Dia segera menutupi wajahnya dengan kedua tangan guna meredam amarah. Tak lama bahu Miya bergetar. Isak kecil lolos dari bibir wanita bertubuh mungil itu. Kali ini, Miya memilih mengeluarkan emosinya lewat air mata. Lelah. Hatinya terasa amat lelah.

Sementara itu, di dalam mobil lelaki berkaca mata itu diam mematung memperhatikan bagaimana wanita itu yang semula tampak kosong, kemudian tertawa dan berakhir dalam tangis. Kerapuhan wanita berhijab lemon itu mengusik nuraninya.

Laki-laki itu baru menghidupkan mobilnya ketika sosok wanita yang duduk di bangku memakan roti pemberiannya dengan wajah sembab. Selarik senyum terbit di bibirnya yang tipis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top