Bab 13. Pulang
Merdeka!
Pasti di kampung dan sekolah lagi pada merayakan 17an. Sapa yang pada ikutan lomba?
Kalo aku mo ikutan lomba memenangkan hatinya yang tidak memedulikanku🤧🤧🤣🤣
Yuk, ah, mendingan doain Miya memenangkan hati papanya🥰
Happy reading, Genks
🌷🌷🌷
Pesawat yang ditumpangi Miya mendarat di bandara internasional Syamsudin Noor, Banjar Baru. Suhu udara yang sedikit lebih hangat dari Jogja langsung menyambutnya begitu turun dari tangga pesawat. Beruntung hari sudah menjelang sore hingga terasa lebih sejuk.
Hatinya masih terasa perih. Keriuhan orang-orang yang hilir mudik di bandara tidak menarik perhatiannya. Dia harus berkali-kali meminta maaf karena tidak fokus berjalan hingga sering tertabrak. Hal itu membuat Dirga semakin marah dan memakinya karena tidak sabar.
Miya terdiam mematung menatap sebuah rumah besar bercat putih. Dia masih tak bergerak saat seorang wanita paruh baya berparas cantik berlari menyambutnya dan memeluknya dengan wajah basah. Wanita yang rambutnya disanggul itu kemudian menunduk dan hendak mencium Ciara yang berada di sisinya. Namun, hal itu malah membuat putrinya mundur ketakutan.
“Cia ... ini nenek, Sayang.” Riana yang berjongkok hanya bisa menatap dengan sendu raut ketakutan Ciara. Dia memilih mengabaikan perasaan nyeri di hatinya, dan tersenyum kepada Miya. Dengan antusias, Riana menggandeng Miya menuju rumah. “Selamat datang, Sayang. Mama sudah siapkan kamarmu yang dulu—“
Tanpa menghiraukan ucapan mamanya, Miya menggendong Ciara dan mengayunkan langkah menuju ke lantai dua. Ranjang kayu berwarna putih itu masih sama seperti dulu. Dia memilih merebahkan tubuhnya dan memeluk erat Ciara di sisinya. Memejamkan mata. Berharap semua mimpi buruk akan hilang saat dirinya terbangun nanti.
Miya merasakan tubuhnya berguncang pelan. Dengan berat dia membuka matanya.
“Ayo, makan dulu Miya. Kasian Ciara pasti lapar. Ini sudah jam tujuh.” Riana menatap Miya dengan wajah sendu. Seulas senyuman menghiasi wajahnya. “Mama tunggu di bawah, ya. Kalian sebaiknya bersih-bersih dulu.”
Berada dalam jarak pandang sedekat ini, membuat Miya bisa melihat dengan jelas kerutan-kerutan di wajah Riana. Tubuh sang mama terlihat lebih kurus. Wajahnya yang dulu terlihat segar penuh semangat kini terlihat layu. Seakan-akan menanggung beban berat di hatinya. Meskipun terselip sedikit tanya, dia memilih mengabaikan. Luka di hatinya masih berdarah mengingat ucapan Galen dua hari lalu.
Miya menatap punggung Riana yang menghilang di balik pintu. Dia duduk di ranjang, sementara Ciara masih terlelap dengan memeluk boneka teddy bear miliknya dulu. Pandangannya mengedar. Kamarnya masih sama seperti dulu. Aneka pigura kecil berisi fotonya tersusun rapi di rak sudut kamar. Semua koleksi novelnya pun masih terlihat sama persis susunannya. Yang terlihat berbeda hanya meja belajar miliknya terlihat bersih tanpa buku dan alat tulis yang berserakan.
Kelelahan yang mendera tak kunjung sirna. Bahkan perjalanan udara dari Jogja ke Banjarmasin yang tidak sampai dua jam membuatnya terlelap cukup lama hingga melewatkan waktu Magrib. Miya memilih membersihkan tubuhnya dan berharap dinginnya air bisa sedikit menjernihkan pikirannya.
Miya mengeratkan genggaman tangannya yang terkait dengan Ciara. Seakan-akan berusaha memberi kekuatan kepada putrinya. Padahal itu dia lakukan untuk menguatkan dirinya sendiri. Miya mengembuskan napas perlahan dan melangkah mendekati sepasang suami istri yang sedang duduk di meja makan.
“Sini Sayang. Cia maem sama nenek, ya?” ucap Riana dengan ramah. Mama Miya itu bahkan berdiri dan menyambut kedatangan Ciara. Dia berusaha mengambil hati cucunya.
Ciara memilih bersembunyi di belakang tubuh Miya. Gadis kecil itu masih terlihat takut menghadapi sosok asing di hadapannya.
“Cia masih butuh adaptasi di tempat baru.” Miya berusaha menjelaskan. Dia kemudian berjongkok dan membisikkan sesuatu di telinga putrinya.
Terlihat sedikit perubahan di paras Ciara. Meskipun terlihat ragu-ragu, anak perempuan itu bersedia duduk sendiri di sisi Miya.
“Kak Miya ... apa kabar? Ini pasti Ciara. Halo Cantik!” sapa seorang pemuda tampan.
Miya menoleh, mendapati Fadhil—adiknya—sedang tersenyum ke arahnya. Begitu banyak hal yang berlarian di kepalanya, sampai melupakan kehadiran anggota keluarga yang satu ini. Pemuda di hadapannya tampak banyak berubah. Tidak tampak lagi raut jahil yang suka menggodanya. Fadhil tampak lebih dewasa dan serius. Mungkin kuliah kedokteran yang berat mengubah sosoknya.
Miya hanya merespon dengan senyuman tipis yang lebih ke arah basa-basi. Entah kenapa dia kini merasa sangat berjarak dengan Fadhil, padahal dulu keduanya cukup dekat. Selama tiga tahun, Miya diasingkan oleh keluarganya. Fadhil, orang yang dulu amat dia harapkan menghubunginya setelah peristiwa itu pun nyatanya membuatnya kecewa. Sejak itu Miya berusaha membuang semua memori tentang keluarganya.
Saat ini, Miya merasa asing berada di rumahnya sendiri. Dia memilih fokus menyuapi Ciara bergantian dirinya dari piring yang sama. Miya tidak dapat merasakan aura kehangatan di keluarga ini.
Sepertinya waktu makan malam yang bagi sebagian besar orang menjadi ajang pelepas rindu setelah beraktivitas seharian tidak berlaku di keluarga ini. Hanya terdengar denting suara sendok dan piring yang beradu. Tak ada sapaan yang saling menanyakan kabar.
“Duduklah dulu. Papa mau bicara.”
Miya yang hendak beranjak, terpaksa mendaratkan pantatnya kembali di kursi. Dia memilih diam menekuri piring kosong di hadapannya.
“Papa sudah mendaftarkan kamu untuk kuliah kedokteran di sini. Kamu harus bersyukur bisa kuliah lagi walopun di swasta dan mengulang lagi dari awal.” Dirga berkata dengan tenang. “Kamu bisa tanya Fadhil tentang materi kuliah buat menyegarkan ingatan kamu. Perkuliahan mulai bulan depan bertepatan dengan semester baru,” imbuhnya.
Miya mendongak, menatap papanya dengan mulut menganga. Rasa tak percaya menghampirinya. Melihat wajah Dirga yang serius, Miya memilih mengatupkan mulutnya.
“Pa, apa tidak terlalu cepat. Mama rasa Miya pasti butuh waktu untuk—“
“Satu bulan cukup buat Miya menenangkan diri atau apa pun itu.” Dirga menyorot tegas ke arah istrinya.
“Pa ... Miya baru saja bercerai. Setidaknya waktu masa iddah—“ Suara Riana kembali terputus.
Braaak!
“Satu bulan cukup.” Dirga memukulkan tangannya ke meja hingga membuat semua orang terperanjat. Lelaki itu kemudian berdiri dan berjalan menuju ruang kerjanya.
“Mama ... takut ....” rengek Ciara sembari menarik-narik baju Miya. Gadis cilik itu bergelayutan dan bersembunyi di lengan mamanya.
“Miya, maafkan papamu, Nak. Nanti mama bantu bicara lagi sama papa.”
Miya menatap mamanya dengan wajah datar. Pertolongan apa yang bisa dia harapkan dari wanita tidak berdaya ini? Sejak dulu Riana hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Dirga. Pertunjukan yang baru saja terjadi tadi sudah menjadi bukti bahwa kondisinya masih sama.
“Nggap perlu, Ma. Percuma. Mama nggak akan pernah didengar Papa.” Miya tersenyum miring. “Kita semua hanya boneka bagi Papa,” lanjutnya.
Miya memilih menggendong Ciara dan berlalu menuju ke kamarnya. Dia tidak memedulikan Riana yang berulang kali memanggilnya.
Tujuan Miya hanya satu. Saat ini, kamarnyalah tempat paling aman di rumah ini. Dia hanya ingin bergelung di bawah selimut dan mengingat kenangan indah tentang pernikahannya dengan Galen. Hatinya masih terus menyangkal bahwa ikatan suci di antara mereka telah putus.
***
Merdeka!
Malang, 17 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top