Bab 11. Pertemuan yang Tak Dirindukan
Alhamdulillah masih bisa menyapa teman-temam di sini. Pastinya pada malming, ya?
Buat yang lagi gabut, mending baca kisah Galen-Miya. Wkwkw ...
Happy reading, Gebks 😘
🌷🌷🌷
“Papa ....”
Miya mematung melihat sosok yang paling ditakutinya. Bagi Miya, Dirga Hutomo saat ini bagaikan seorang eksekutor yang siap menerkam mangsanya. Sorot dingin itu belum berubah semenjak tiga tahun lalu.
Dengan menuntun Ciara mendekati Dirga yang berdiri bersedekap di teras rumahnya. Miya memutar kunci dan membuka pintu rumah lebar-lebar. Wanita itu dengan ragu-ragu mempersilakan sang papa untuk masuk.
Tanpa melepas sepatunya, Dirga memasuki rumah berukuran 36 meter persegi. Pandangannya mengedar ke penjuru rumah, matanya mengernyit ketika melihat mesin jahit di sana. Seketika sorot laki-laki lima puluh tahun itu berpaling ke arah Miya dan Ciara. Wajah Dirga tidak menunjukkan ekspresi apa pun ketika melihat cucunya. Semua tampak datar. Dingin.
Aura yang ditimbulkan akibat kedatangan Dirga begitu dasyat bagi Miya. Begitu banyak tanya di benaknya, namun bibirnya seakan-akan terkunci. Rengekan Ciara bagaikan bel penyelamat bagi Miya. Putrinya sejak tadi bergerak gelisah di belakang tubuhnya. Ciara tampak ketakutan melihat sosok tidak dikenal.
“Hmm ... Miya tinggal bentar, ya, Pa. Ciara rewel. Papa mau minum apa?” tawar Miya ragu-ragu.
“Teh hangat.”
Miya mengangguk singkat seraya tersenyum tipis sebelum berlalu. Sesaat kemudian dia membawa secangkir teh hangat aroma melati. Miya masih ingat bahwa teh melati adalah favorit sang papa karena sejak kecil dia sudah terbiasa mmbuatkan untuk papanya. Wanita itu kemudian meletakkan teh yang di bawanya di meja kecil dan mengambilkan Dirga sebuah kursi.
Rumah Miya yang kecil memang tidak memiliki ruang tamu khusus. Dirinya dan Galen terbiasa duduk lesehan. Selama ini mereka tidak terbiasa menerima tamu. Galen pun tidak pernah membawa temannya ke rumah. Hanya beberapa orang langganan jahit Miya yang kerap bertandang ke rumah.
Saat ini tidak mungkin Miya meminta Dirga untuk duduk lesehan karena riwayat kesehatan sang papa. Dari sudut matanya dia dapat menangkap Dirga memejam menikmati aroma melati dari teh buatannya. Ada rasa hangat menyelusup melihat kebiasaan seorang Dirga Hutomo.
“Maaf, Pa ... Miya tinggal sebentar.” Miya kemudian menuju kamar bersiap menemani Ciara tidur. Tangan kanannya mengusap-usap lembut rambut Ciara, sedangkan tangan kirinya memeluk putrinya. Sementara itu pikirannya menerawang, mencoba mengingat pertemuan terakhir dengan papanya.
Masih lekat di ingatan Miya, bagaimana Dirga menghajar Galen saat mereka pertama kali datang ke rumah besar itu. Galen mencoba mendapatkan restu dari orang tua Miya. Lelaki itu ingin bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuatnya. Galen menceritakan kehamilan Miya di hadapan Driga Hutomo dan istrinya. Sementara Miya hanya bisa menangis di samping Galen. Bogem mentah langsung mendarat di pipi Galen, bahkan saat Galen belum selesai bercerita. Lelaki yang dicintai Miya langsung diusir oleh Dirga.
Galen yang keras kepala tidak menyerah begitu saja. Keesokan harinya, laki-laki penyuka warna hitam itu kembali datang ke rumah Dirga dan memohon agar sang dokter merestui dan menikahkan Galen dengan Miya. Permintaan Galen tak digubris. Bogem mentah kembali melayang ke wajah lelaki itu.
Hari ketujuh,Galen kembali mendatangi kediaman Dirga Hutomo, sang dokter bedah terkenal itu. Miya hanya bisa meratap menyaksikan Galen yang pincang dengan menyeret satu kakinya dengan wajah lebam tidak karuan mendatangi Dirga. Luka yang dialami Galen sangat serius, namun itu tak menyurutkan langkahnya.
Dirga akhirnya mau berbicara dengan Galen empat mata di ruang kerjanya. Pembicaraan yang berlangsung tiga jam itu terasa sangat mencekam. Miya teringat bagaimana dia berdiri ketakutan mendengar papanya mengamuk dan memaki Galen dengan keras. Tidak cukup hanya itu, suara barang pecah menghiasi ruang kerja Dirga. Miya luruh di lantai dengan tangan memeluk lututnya yang menekuk. Pandangannya nanar menatap sang mama yang duduk dengan tidak berdaya di sofa.
Dua hari kemudian, Dirga Hutomo menikahkan Miya dengan Galen di rumah. Tidak ada kerabat yang hadir, hanya petugas KUA saja dan dua orang saksi yaitu Pak Man—sopir—dan Pak Tejo—tukang kebun—yang bekerja di rumah Miya. Sesaat setelah akad nikah Dirga Hutomo mengusir Miya dan Galen dari rumah. Sang papa berkata tidak ingin melihat keduanya lagi.
Dengkuran halus Ciara menutup memori masa lalunya. Teringat sosok yang menungggunya di depan, dia pun bangkit dari ranjang. Miya mengembuskan napas panjang berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya yang berserak guna menghadapi sang papa.
Miya sengaja duduk di karpet dang mengambil jarak dengan papanya. Setelah keheningan yang tercipta beberapa saat, dia memilih untuk menyuarakan isi hatinya. “Jadi ... angin apa yang membawa Papa ke rumah Miya sekarang? Setelah—“
Tawa Dirga memutus ucapan Miya. Laki-laki berkacamata itu terbahak dengan keras hingga matanya menyipit. “Rumah? Gubug kecil seperti ini kamu bilang rumah! Tiga tahun bersama gembel itu rupanya membuatmu semakin tidak waras,” decih Dirga dengan ketus.
“Pa ... Galen suami Miya. Tolong Papa jangan menghinanya!” ucap Miya berusaha membela diri.
“Suami apa yang bertindak bodoh dan membiarkan dirinya dipenjara?” bentak Dirga.
Miya terperanjat mendengar ucapan Dirga. Bibirnya mengatup sempurna tanpa mampu bersuara. Ucapan Dirga bagaikan pedang yang menusuk langsung ke ulu hati. Bagaimana mungkin sang papa mengetahui perihal Galen?
Mata Miya mengerjap. Dengan sorot kebingunan dia menatap Dirga yang duduk dengan angkuh. “B-bagaimana papa tahu?” cicit Miya.
Dirga kembali terbahak keras. Pandangannya menyorot tajam ke arah putri sulungnya. “Kamu jangan terlalu naif, Miya. Putus kuliah benar-benar membuatmu jadi wanita bo-doh,” ejek Dirga sengit.
Hati Miya berdenyut keras menerima penghinaan kedua kalinya dari sang papa. Ternyata papanya tidak pernah berubah sejak dulu. Hanya kalimat-kalimat pedas yang selalu terlontar dari mulutnya. Hal itulah yang menyakiti Miya sejak kecil. Tidak pernah ungkapan sayang maupun pujian meluncur dari mulut lelaki berkaca mata itu.
“Pa ... sebaiknya Papa pulang saja, kalo kedatangan Papa hanya untuk menghina Miya. Biarkan Miya menjalani hari-hari Miya bersama Galen dengan tenang.” Miya pun bangkit. Dia melangkah dan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap sendu ke arah Dirga dengan hati terluka. Miya merasa sangat lelah saat ini. Bahkan, dia berusaha keras menopang kakinya agar bisa tegak berdiri.
Dirga bergeming dan tetap duduk dengan santai dengan kaki bertopang. Dia tidak memedulikan ucapan Miya. Lelaki paruh baya itu malah dengan tenang menyesap teh yang sudah dingin.
“Paaa!” Miya berusaha meraih perhatian Dirga. Perasaan tidak berdaya selalu merajai setiap kali dia berhadapan dengan sang papa. Hal itu membuatnya kesal dan amat lelah.
Setelah menghabiskan tehnya, Dirga bangkit. Ketika sampai di hadapan Miya,dia pun berhenti. Tatapannya menyorot tajam, “Kamu harus siap-siap. Kedatangan papa kali ini untuk membawamu pulang. Tentu saja kamu boleh membawa Ciara. Biar bagaimanapun darah Hutomo mengalir di tubuhnya. Galen sudah merusak perjanjian, maka kalian harus segera bercerai.”
Kalimat terakhir sang papa bagaikan petir yang menyambarnya. Tubuhnya membeku dan otaknya mencoba mencerna kalimat Dirga. “Perjanjian apa? Apa yang sudah Galen lakukan?” ucap Miya bermonolog.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top