6

Laras menangis keras. Kemarahan Ben membuatnya takut. Lama mereka memilih diam ditempat masing masing. Sampai akhirnya Ben masuk kembali dan menatapnya lembut.

"Mas minta maaf," ucapnya pelan.

"Aku yang salah mas. Nggak tahu apa yang sebenarnya  terjadi sama aku."

"Aku pernah mengalaminya, sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Dan aku tahu apa yang kamu rasakan. Melihat dia tersenyum bahagia, rasanya sakit sekali. Karena selama ini akulah sumber senyumnya.

Tapi tidak ada jalan lain selain belajar melupakannya. Sebesar apapun cintaku, dia sudah menjadi milik orang lain.

Sadari juga itu Ras. Kamu menyesalpun nggak akan berguna. Apalagi marah dan menangis!"

Kemudian pria itu meraih istrinya masuk kedalam pelukan.  Mengelus rambut Laras dengan lembut.

"Kita sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang bernama penyesalan. Jangan pertanyakan perasaanku terus Ras. Karena kamu tahu jawabannya.

Ras, aku sayang sama kamu. Aku mau kamu juga belajar hal yang sama. Dengan ucapan kamu tadi, aku berpikir kamu nggak benar benar serius menjalani pernikahan."

"Aku bersedia karena ingin punya pendamping. Punya istri yang benar benar istri. Aku sama dengan laki laki lain dalam harapan tentang sebuah rumah tangga.

Tapi aku juga mengerti kamu dengan identitasmu selama ini. Aku nggak minta kamu berhenti bekerja. Karena aku tahu kamu butuh itu. Kita juga harus lebih saling mengenal. Kita sama sama butuh waktu. Jangan selalu berpikir tentang akhir pernikahan. Berpikirlah bagaimana cara kita mempertahankannya. Tugas kita masih banyak."

Laras akhirnya mengangguk dan membalas pelukan suaminya.

"Aku minta maaf, sudah bikin mas marah."

"Mas juga minta maaf dek, sudah ngomong keras tadi." Bisik sang suami.

***

Laras kembali menjalani kehidupannya. Pekerjaan menumpuk yang harus diselesaikan. Tapi ia bersyukur,  karena masih punya jatah cuti sepuluh hari. Ditambah dengan libur kantor selama tiga hari. Meski belum ada rencana mau kemana.

Dulu, ia akan menghabiskan akhir tahun di Bali. Lalu pulang kerumah orang tuanya. Tapi sekarang, ia harus membagi dengan Ben. Meski belum ada jawaban pasti dari sang suami. Karena setiap kali dibicarakan, pasti menghindar.

Tapi Laras tidak kehabisan akal. Akhir minggu ini mereka akan bertemu di Semarang. Ia berjanji dalam hati akan membicarakannya disana.

Ingat Semarang, perempuan itu kembali mengingat sang mantan suami. Dirga berasal dari sana. Keluarga besarnya juga tinggal disana. Dulu, bagi Laras itu adalah rumah kedua. Bahkan mereka sempat memiliki rumah disamping rumah milik mertuanya dikawasan Graha candi Golf.

Ia paling malas kembali kesana. Tapi berhubung Ben sedang ada urusan di kota tersebut, ia tidak bisa menolak. Mau tidak mau, Laras harus kembali menginjakkan kaki disana.

Jumat jam enam sore, perempuan bertubuh sintal itu sudah menginjakkan kaki di Bandara Ahmad Yani. Ben menjemputnya dengan senyum sumringah. Setelah mencium tangan sang suami, keduanya masuk ke mobil.

"Mas beli mobil baru?" Tanya Laras saat sudah duduk nyaman di dalam mobil jenis van tersebut.

"Enggak, cuma mobil ini biasa parkir di rumah sakit. Karena garasi rumah nggak muat."

Perempuan itu mengangguk. "Kita nginap dimana mas?"

"Aston, punya pilihan lain?"

"Nggak ada sih. Lagian kan cuma buat tidur aja."

"Adek capek?"

"Sedikit mas. Ini masih harus  sambil ngerjain buletin perusahaan."

"Mas ganggu akhir pekan adek?"

"Nggak sama sekali, bisa dikerjain sambil nonton kok. Aku hanya tinggal cek."

Keduanya memasuki hotel megah itu. Seperti biasa Ben memilih ruangan yang cukup besar.

"Kamu mandi dulu, habis itu ikut mas."

"Kemana?"

"Semarang Medical Centre. Mau ketemu dengan salah seorang teman lama disana."

"Kok nggak ketemu disini atau di resto aja?"

"Dia lagi sibuk sibuknya. Mas cuma mau ketemu tiga puluh menit aja."

"Teman lama dimana?"

"Di Unair dulu. Mas kan lulusan sana."

Laras hanya mengangguk. Selesai mandi ia mengenakan kulot berwarna hitam dan blouse corak floral berwarna pink. Terlihat jauh lebih segar.

"Kamu lebih cantik pakai begini dari pada seksi seksi kayak biasa." Puji Ben.

Dengan menghembus nafas kesal Laras menjawab,

"Kalau gitu nanti malam aku pakai baju begini aja tidurnya."

Ben hanya tertawa, tapi kemudian berbisik.  "Kalau nanti malam, mending kamu nggak pakai apa apa."

Perempuan itu hampir mencubit lengan suaminya. Kalau saja Ben tidak segera menjauh.

***

Ben menggenggam jemari Laras saat memasuki area kantin rumah sakit. Sampai kemudian seseorang meneriakkan namanya.

"Ben!"

Mereka segera memutar kepala mencari sumber suara. Segera pria itu menghampiri

"Hei Di,"

"Akhirnya ketemu juga. Apa kabar Ben?"

"Baik, kamu?"

"Baik juga, oh ya ini siapa?"

"Kenalkan Laras, istriku."

"Lho, kok diam diam? Atau aku yang nggak masuk daftar undangan."

"Belum pesta, masih sibuk. Nanti aku undang kalau buat acara."

"Selamat kalau begitu. Ya sudah, ayo ke ruanganku saja."

Pasangan itu segera mengikuti langkah Ardi menuju lantai berbeda.  Diruangan, kedua sahabat lama itu saling bertukar cerita. Membuat Laras merasa jenuh. Akhirnya ia pamit keluar dengan alasan mau ke toilet.

Ia tengah berjalan sambil menatap kearah lain saat tiba tiba seseorang meneriakkan namanya.

"Laras!"

Langkah perempuan itu terhenti, ia mengenal dengan baik suara tersebut. Mantan ibu mertuanya! Dengan malas ia menoleh. Tidak hanya bunda yang disana. Juga ada Dirga dan beberapa anggota keluarga.

Mau tidak mau, demi kesopanan ia melangkah mendekat. Kemudian menyalami.

"Apa kabar.. tante," sapanya berusaha ramah.  Ini pertama kali mereka bertemu setelah perceraian. Dan ia juga sudah mengubah panggilan, dari bunda menjadi tante.

"Baik," sapa perempuan tua itu dengan binar bahagia. Sementara putranya terlihat kikuk.

"Kamu ngapain disini?"

"Nemenin teman, kebetulan ada janji disini."

"Laras liburan?" Tanyanya lagi. Sementara mantan suaminya cuma diam.

"Sekedar weekend." Laras masih mencoba menjawab dengan tenang. Meski hatinya bergemuruh. Melihat kebahagiaan perempuan itu, rasanya ia tahu apa yang akan menjadi kalimat selanjutnya.

"Oh, ini, tante kemari karena Lia sudah melahirkan. Anak Dirga laki laki, jadi penerus nama keluarga SuryoKusumo." Kembali ibunda Dirga tersebut memberi penjelasan tanpa diminta.

Laras tidak menjawab, ia menelan ludah yang terasa tersangkut ditenggorokan. Debaran dadanya terasa semakin kencang. Matanya memanas. Kemudian menatap Dirga dengan tajam. Seolah olah ingin membunuh. Pria itu membuang pandangan seketika.

"Selamat kalau begitu tante." Jawab Laras singkat. Ia masih mencoba tersenyum. Meski tubuhnya terasa ringan.

"Atau kamu mau sekalian besuk? Wajahnya mirip sekali sama Dirga."

Laras bingung hendak menjawab apa. Antara rasa sakit dan ingin membunuh itu bedanya sangat tipis. Beruntung percakapan mereka terputus saat Ben keluar dari ruangan Ardi.

"Laras? Katanya tadi mau ke toilet?"

"Sorry, kebetulan ketemu temen lama mas. Oh ya,.. kenalin, ini Dirga dan ibunya."

Ben mengernyit dahinya sebentar. Dari nama yang disebutkan juga bahasa tubuh istrinya, pria itu tahu siapa yang ada dihadapannya sekarang. Meski  kemudian ia tersenyum lebar. Lalu meraih pinggang Laras kedalam tangan kirinya. Dan mengulurkan tangan kanannya kepada pria didepannya itu.

"Saya Ben,"

"Dirga," jawab mantan suami Laras. Kali ini tatapan tajamnya yang menghujam ke Ben. Jelas terlihat, ia tak suka melihat tangan Ben yang melingkar dipinggan mantan istrinya. Menandakan bahwa hubungan mereka tak sekedar teman

"Sudah selesai ke toiletnya dek?" Tanya Ben dengan mesra.

"Belum mas, mas sudah ngobrolnya?"

"Sudah, cuma mau ngomongin tentang Laboratorium aja. Kebetulan dia ambil patologi klinik. Sambil nanya apa dia punya orang yang bagus untuk ditempatkan di rumah sakit."

"Ya sudah, nanti aja sekalian turun mas."

"Oh ya, tante, Dir, permisi aku pulang dulu ya."

"Nggak mau ketemu Lia dulu?"

"Nggak tante, kebetulan kami buru buru." Ben segera menjawab dengan lugas.

Kemudian pria itu menarik istrinya memasuki lift. Saat tiba dimobil, Laras tidak sanggup menahan tangisnya. Ben membiarkan, sambil mengemudi keliling kota. Pulang ke hotel dengan Laras yang masih berderai airmata bukanlah pilihan terbaik buat mereka.

"Kamu masih ngerasa sakit?" Tanya Ben.

Laras masih diam, tapi akhirnya tangisnya terhenti.

"Bagaimana rasanya?"

"Nggak bisa dijelaskan."

"Kita makan dulu ya?"

"Pesan online aja dari hotel mas. Aku kepengen istirahat."

Ben mengangguk, ia menuruti keinginan sang istri. Sebelum pulang ia mampir ke sebuah resto ayam bakar yang cukup terkenal. Memesan makanan untuk dibawa.

Saat mereka makan, Laras mencoba menghabiskan nasinya. Karena tidak ingin suaminya kecewa.

"Nggak usah dipaksa. Kalau kamu nggak selera ya berhenti aja."

"Nggak apa apa mas, kalau nggak makan nanti aku sakit."

Ben tersenyum sambil mengecup keningnya. Kemudian mengelus rambut istrinya dengan penuh rasa sayang.

"Mas suka adek yang seperti ini. Boleh sedih tapi jangan sampai sakit."

Selesai makan keduanya memilih langsung berbaring. Ben meraih Laras kedalam pelukannya.

"Ras, mas tahu kalau kamu sedih. Mungkin juga, yang dimiliki keluarga mantan suamimu sekarang adalah impian kamu. Tapi ingat satu hal, hidup kamu jauh lebih berharga.

Mas kagum sama banyak orang yang bisa bahagia dengan apa yang ditakdirkan padanya namun tetap menikmati hidupnya. 

Kamu tahu Andrra Bocelli?"

Laras mengangguk,

"Ia tidak buta sejak lahir. Tapi sanggup menggapai mimpinya Melalui kerja keras dan dukungan keluarga. Seandainya ia adalah orang yang pesimis. Ia pasti berakhir dibalik jendela tanpa mampu merasakan indahnya dunia.

Memang mungkin rasanya nggak sanggup melihat kebahagiaan mereka. Tapi kamu juga punya kebahagiaan yang berbeda kan? Jangan putus asa, merasa kalau duniamu runtuh. Justru dunia kita baru dibangun."

Laras menggigit bibirnya.

"Aku pernah tiga kali IVF. Berharap banyak. Orang yang santao santai aja bisa cepat punya anak."

"Mungkin belum waktunya. Selalu ada saat terbaik untuk kita menerima anugerah. Agar kamu bisa bersyukur.

Kalau membuat anak semudah yang kamu bayangkan. Mas nggak bisa bayangkan bagaimana penuhnya dunia ini. Lagian kan, kalau sekali buat langsung jadi, bagaimana kami laki laki  harus sering puasa. Dan bagaimana jadinya kaum perempuan?  Kasihan kan pekerjaan kalian cuma untuk hamil seumur hidup?"

Laras akhirnya tertawa kecil. "Kaum kami bukan kucing mas. Waktu musim kawin pasti hamil."

Ben kembali mengecup keningnya. "Mas harap ini terakhir kali kamu menangis karena hal yang sama. Jangan lagi ya."

Akhirnya perempuan itu bisa kembali tertawa.  Dalam hati, suatu saat nanti. Ben berencana mengajak Laras ke Thomson Fertility Centre Singapura.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top