3

"Kamu perempuan teraneh yang pernah aku kenal."

"Cara berpikirku memang beda mas."

"Sejak kapan?"

"Sejak jadi janda."

"Apanya yang beda?"

"Cara aku memandang hidup, cinta, pernikahan, pertemanan. Kamu yakin kan kalau aku bukan perempuan yang suka bergantung pada laki laki. Aku punya penghasilan yang lebih dari cukup. Aku cuma nggak mau lagi merasakan sakit.

Bolak balik ke pengadilan. Melihat wajah sedih ibu dan bapak. Mencoba berjalan tegak dibawah tatapan penuh curiga dan kasihan orang lain. Mengasihani diriku sendiri setiap malam.

Sampai kemudian aku merasa harus pura pura bahagia supaya nggak ditanyain lagi. Aku capek mas." Ucap Laras pelan.

Entah kenapa rasanya seketika dadanya plong. Sudah lama ia tidak punya tempat cerita. Biasanya semua ditelan sendirian. Entah kenapa ia percaya pada Benua. Orang yang belum lama dikenalnya. Mungkin karena pria itu terlihat kalem. Tidak meledak ledak seperti dirinya.

"Mau berbagi terus denganku?" Tanya Ben lagi.

"Aku cuma masih sulit berbagi waktu karena pekerjaan. Sisanya nggak masalah."

"Kamu tentukan dan siapkan tempat pernikahan kita. Aku akan datang begitu kami bilang ok."

Kali ini, Laras yang terdiam.

"Mas yakin?"

"Seyakin yakinnya. Tapi satu yang harus kamu ingat. Aku serius dengan perkawinan. Tidak berdasarkan nafsu atau juga kasihan sama kamu. Aku sedang butuh pendamping. Juga orang yang bisa membawaku keluar dari patah hati.

Jadi kalau dari aku, pernikahan ini bisa saja nanti kita legalkan. Dan aku harap, jangan macam macam. Apalagi kalau kamu ketemu pria lain kemudian berharap saya menjatuhkan talak. Jadi pikirkan keseriusan saya."

"Keluarga mas?"

"Ini hanya untuk kita. Saya tidak mau lagi ada hambatan dalam pernikahan. Panjang ceritanya. Nanti kalau ada waktu saya akan ngomong semuanya ke kamu. Kamu serius kan?"

"Aku juga serius mas."

***

Laras menatap jalanan dibawah sana dari lantai tiga puluh kantornya. Hari sudah malam. Ia kembali termenung, memikirkan kalimat kalimat percakapan kemarin. Seketika kepalanya terasa pecah.

Ia, yang entah mendapat pemikiran darimana. Tiba tiba menawarkan pernikahan. Siri pula! Bukan... bukan ia menyesal. Karena sebenarnya banyak yang jauh  lebih ia sesali dalam bidup. Hanya saja, kenapa kali ini ia bertemu dengan pria yang sama gilanya?

Laras menarik nafas panjang. Memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Belumlah terlambat kalau ia meminta mundur. Dan yakin, kalau Ben akan mengerti. Itu bukanlah solusi dari niat awalnya.

Tapi jujur, ia letih sendirian. Jangan berpikir seperti pandangan banyak orang. Seks! Bukan itu. Ia merasa ada yang salah dengan hatinya. Dengan perasaannya! Laras merasa sudah terlalu lama berkubang dalam masalah yang sama.

Kali ini ia ingin bangkit dengan mengambil resiko. Paling tidak, kalau nanti gagal juga. Ben bukanlah pria  bermulut ember yang akan cerita kesana kemari. Juga tidak perlu berurusan dengan nama baik keluarga, pengadilan agama, juga hukuman sosial dari masyarakat.

Lagipula laki laki itu juga memiliki masalah yang sama. Siapa tahu mereka bisa saling memgobati. Paling tidak menikah pasti akan membuat semakin dekat. Ada seseorang yang bisa menjadi tempat bercerita.

Laras hanya ingin memastikan, ini bukan ajang balas dendam. Tapi sekaligus bisa menunjukkan pada keluarga Dirga. Kalau ia sudah berhasil bangkit daei keterpurukan. Semoga tidak akan ada korban setelah ini.

***

Ben mulai mencari informasi tentang pernikahan siri. Sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada dalam pikirkannya. Ya, ia juga malas dengan segala urusan menjelang pernikahan. Teringat bagaimana letihnya dulu, tapi akhirnya  gagal!

Hubungannya dengan Laras justru semakin baik. Setiap pagi mereka berkomunikasi. Mengenai hal hal menjelang pernikahan. Sejauh mana progressnya. Kalau malam memang jarang. Karena Ben harus praktek. Dan tidak bisa ditentukan jam pulangnya.

Selama itu pula Laras juga mulai bertanya secara diam diam. Kepada beberapa penghuni kost kostan tempatnya tinggal. Akhirnya ia menemukam orang yang bersedia menikahkan mereka. Keduanya sepakat melakukan diakhir minggu ini!.

***

Ben tiba di jakarta sabtu pagi. Tadi malam ia sengaja langsung ke Surabaya setelah selesai praktek. Menginap disana untuk berangkat dengan pesawat paling pagi. Laras sendiri yang akan  menjemputnya.

Pagi itu perempuan yang berhasil mencuri hati Ben tersebut tampil sangat cantik. Mengenakan hotpants dan juga sebuah kemeja longgar berwarna kuning. Rambut panjangnya diikat satu. Meski hanya bersendal jepit, Ben merasa penampilan perempuan  tersebut sangat sempurna.

Laras membawa Ben ke Ritz Carlton. Tempatnya menginap semenjak tadi malam. Beruntung pagi itu Jakarta tidak terlalu macet.

"Bagaimana persiapannya Ras?"

"Udah semua mas. Nanti jam satu siang penghulunya datang."

Ben melirik jam dipergelangan tangannya. Sudah jam sembilan lewat. Dan perempuan disampingnya ini masih santai?

Tak lama mereka tiba di hotel. Laras memesan kamar disana. Sebuah ruangan yang sebenarnya cukup mahal. Tapi kali ini Ben yang akan membayar. Memasuki kamar nan luas. Executive suite hotel Ritz Carlton.

Kamar yang memiliki ruang tamu tersendiri tersebut akan menjadi saksi pernikahan mereka.

"Mas mau mandi dulu?"

"Sebentar lagi. Kamu siap siap saja." Jawab Ben sambil melemparkan tubuhnya ke tempat tidur.

Laras hanya mengangguk. Perempuan itu memasuki kamar mandi. Kemudian membersihkan tubuhnya. Masih mengenakan bathrope, saat keluar dilihatnya Ben sudah pulas. Laras hanya tersenyum. Pria itu pasti sangat letih. Namun tetap menepati janjinya. Ia tidak akan main main dengan hubungan ini.

***

Pukul dua siang, semua selesai. Laras dan Ben sudah sah menjadi suami istri. Setelah mengantar tamu mereka pulang dan menutup pintu, kembali keduanya memasuki kamar. Ben masih dengan kemeja batik berwarna hitamya. Keduanya saling memandang, sampai kemudian Ben menghampiri dan memeluk sang istri.

"Nggak lapar Ras?" Tanya Ben yang memang belum sempat makan siang.

"Sebentar lagi ya mas, makanannya datang. Aku sudah pesan."

"Nggak masalah. Kamu kapan dandannya tadi?"

"Waktu mas tidur."

"Secepat itu?"

Laras tertawa. "Sudah biasa mas."

Ben hanya mengangguk,  kemudian membuka ponselnya. Tapi benda itu segera tidak menarik lagi. Karena tepat didepannya. Laras membuka seluruh  pakaian. Ben kesulitan menelan ludahnya seketika.

"Mas kenapa?" Tanya sang istri sambil menoleh.

Pria itu hanya tersenyum sambil menggeleng. Berusaha fokus pada ponselnya. Beruntung tak lama kemudian Laras sudah mengenakan dress simpel berwarna putih.

"Makan yuk mas," ajak perempuan itu.

"Ayo, aku sudah lapar."

Dua orang pelayan ternyata sudah menunggu di depan pintu.  Dengan segera melayani mereka berdua. Sesaat sebelum mereka pergi, Laras memberikan tip yang cukup besar.

"Anggap saja kita sedang merayakan." Bisik Laras lagi.

Akhirnya keduanya berbaring di ranjang. Ben memeluk istrinya dari belakang. Sampai kemudian terdengar suara Azan.

"Sholat yuk Ras?" Tanya Ben hati hati.

"Aku nggak bawa mukena." Ada nada takut dalam suara perempuan itu.

Ben menarik nafas.

"Aku akan tanya salah satu karyawan disini. Siapa tahu bisa pinjam dari mereka."

"Nggak enak pakai punya orang, takut jorok. Ya udah aku beli aja." Tolak sang istri.

Ben menghembuskan nafas kesal. Namun ia memilih tidak melanjutkan kalimatnya. Segera pria tersebut mengambil  wudhu. Dan sholat sendirian. Sementara Laras hanya duduk disofa menemaninya. Selesai semua ia mencium tangan Ben. Pria itu membalas dengan mencium keningnya.

Kemudian ia duduk disebelah Laras. Membelai bahu perempuan itu kemudian berkata dengan lembut.

"Maaf kalau aku belum bisa sesuai dengan keinginan kamu mas." Ucap Laras pelan.

"Kita akan sama sama belajar kan? Jangan lupa banyak orangtua dijaman dulu seperti kita. Menikah tanpa saling mengenal. Tahu tahu langgeng juga." Balas Ben.

"Iya sih, dulu aku pacaran tiga tahun, menikah enam tahun. Bubar juga. Cinta memang perlu saat pacaran mas. Tapi saat menikah, banyak faktor lain yang juga harus kita miliki."

"Sama, rasanya pacaran lima tahun, kemudian merasa cocok. Nggak tahunya malah jagain jodoh adikku."

"Mas masih merasa sakit?"

Ben mengangguk, "tapi sudah tidak lagi membenci. Hanya masih malas untuk ketemu. Apalagi adikku pencemburu."

"Adik mas Gunung yang penyanyi itu kan?"

"Ya, kamu kenal?"

"Kenal." Jawab Laras sambil mengangguk.

"Perempuan secantik kamu nggak mungkin nggak dikenal Gunung." Balas Ben.

"Makasih udah bilang aku cantik. Tapi aku kenal dia waktu ada acara Gathering dari kantor. Kebetulan dia nyanyi."

"Ya, dia cukup terkenal kan?"

"Tapi kalian nggak mirip sama sekali?"

"Ibu kami berbeda. Tapi kami berada dalam pengasuhan ibu yang sama.  Kami juga seperti langit dan bumi. Nggak pernah bisa cocok. Tapi sekarang sudah lebih baik sih."

"Dia tinggal di Jakarta juga kan?"

"Iya,"

"Mas nggak pernah menemuinya?"

"Pernah dulu, waktu awal dia menikah. Mengingat sifat dia, aku benar benar khawatir dengan Nandhita.  Saat itu aku begitu bodoh bertanya tentang kabar istrinya. Suami mana sih yang mau istrinya ditanya tanya laki laki lain. Akhirnya aku diusir."

"Namanya Nandhita?"

"Ya,"

"Nama yang cantik mas. Pasti dia juga cantik."

Ben memilih tidak menjawab.

Cukup lama mereka saling diam.

"Ibu mas bekerja?"

"Enggak, cuma ikut bapak yang selalu pindah tugas, sama mengurus kami. Ibu kamu?"

"Sama dengan ibuku, cuma mendampingi bapak dan mengurus kami." Ujar Laras.

"Perempuan angkatan ibu kita kan memang banyak yang seperti itu kan?"

"Ya, dan mereka happy, meski kadang aku tahu mas. Kalau ibu harus sangat berhemat ketika kami bayar uang kuliah dan kost tahunan. Dan anehnya, uang itu selalu ada. Entah bagaimana dulu ibu mengatur uang.

Sementara aku sekarang harus bersusah susah untuk mengatur keuangan. Padahal cuma hidup sendiri. Kalau mas?"

"Selama ini aku merasa lebih dari cukup. Lagian aku tinggal sendiri. Kebutuhanku sebagai laki laki kan nggak terlalu banyak. Pengeluaran terbesar nantinya paling bolak balik Jakarta. Tapi tenang aja. Aku sudah menyiapkan kok."

"Aku jadi nggak enak. Kamar hotel ini aja lumayan mahal."

"Jangan selalu berpikir tentang uang. Oh ya kamu suka cincin yang aku belikan tadi?"

"Suka banget."

"Nggak terlalu murah kan?"

Wajah Laras memerah. Ia memukul bahu Ben pelan. "Apaan sih? Aku kan bukan perempuan yang gitu gitu amat?"

"Aku tahu harga setiap benda yang kamu pakai."

"Aku beli dari penghasilanku lho mas."

"Aku percaya, tapi kalau kamu mau ganti ya nggak apa apa. Akan kuganti."

"Bukan tentang harganya mas, tapi nilainya. Itu cincin kawin. Dan aku nggak berniat menggantinya."

Ben memeluk Laras dengan erat. "Terima kasih." Bisiknya lembut kemudian.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

030320


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top