2
Siap siap.... GUNUNG dan ANDANTE akan saya tarik untuk revisi yaaaaa....
***
Ben tengah memeriksa laporan gaji karyawan. Saat Jasmine Subroto bersama keluarga memasuki ruang kerjanya. Sebagai tuan rumah ia segera menyambut mereka.
"Selamat siang. Silahkan duduk." Sapanya sambil menyalami mereka satu persatu.
Setelah berbasa basi sejenak. Keluarga tersebut menyampaikan maksudnya.
"Begini dok, kami mau melakukan general check up untuk Jasmine. Supaya nanti tidak ada masalah saat maju ke propinsi." Ucap ayah Jasmine.
"Apakah itu menjadi satu persyaratan? Setahu saya palingan tes narkoba, darah dan urologi. Itupun tim mereka yang akan melakukan. Biasanya bukan berdasarkan saat sebelum kontes."
"Maksud kami begini dok, supaya nanti tidak ada kendala. Jadi lebih baik dicek duluan." Jawab ibu Jasmine.
Ben hanya mengangguk.
"Kalau begitu, saya akan buat pengantar ke bagian lab. Nanti mereka yang akan melaksanakan sesuai prosedurnya..."
"Apa nggak bisa dokter aja?" Tanya ibu Jasmine lagi.
Ben mengerenyitkan keningnya.
"Itu bukan tugas saya. Ada dokter spesialis patologi klinik yang akan menjelaskan. Kalau memang ada masalah, beliau yang akan menganjurkan untuk cek ke dokter yang diperlukan."
"Tapi bisa kan nanti dokter yang akan menjelaskan? Kami kebetulan merasa nyaman kalau dokter Ben yang menjelaskan." Jawab ayah Jasmine.
Ben menarik nafas panjang. Meski tidak suka, akhirnya ia mengangguk. Sekedar untuk menjaga hubungan baik.
"Oh ya, boleh nanya dok?" Tanya ayah Jasmine lagi setelah beberapa lama mereka terdiam.
"Apa dokter masih sendiri?"
Ben tertawa kecil. Ditatapnya Jasmine yang tengah memandangnya. Ia bukan pria bodoh yang tidak tahu arti tatapan tersebut.
"Kebetulan masih."
"Tidak ada rencana nyari jodoh dok?" Tanya ayah Jasmine lagi.
"Santai aja pak. Kalau nanti ketemu ya syukur. Saya nggak ngoyo."
"Lho, dokter kan sudah berumur harus cepat cepat lho dok."
Ben mengerti arah pembicaraan mereka. Ia sudah biasa dengan pertanyaan itu.
"Kalau jodoh, pasti akan dipertemukan gusti Allah pak. Siapapun dia."
"Kira kira mau yang seperti apa ya dok?"
Ben mulai kesal. Tapi mengingat posisi pak Subroto, ia berusaha menahan kesabaran.
"Nggak ada yang spesifik. Yang penting kami saling suka. Sisanya biar berjalan natural saja."
Ketiga tamunya tersenyum puas. Terutama Jasmine yang menatapnya penuh binar.
***
Laras baru saja selesai ngegym, saat ia melihat sosok Dirga di depan pintu masuk. Perempuan itu buru buru keluar. Meski sadar pertemuan mereka tidak terelakan lagi.
"Ras," sapa Dirga memghentikan langkahnya.
"Ya mas?" Jawabnya setelah membalikkan badan.
Sosok yang cukup menjulang itu berdiri dihadapannya dengan memgenakan pakaian olahraga. Aroma tubuhnya masih sama, berikut juga ketampanannya.
"Kamu buru buru?" Tanya Dirga lembut setelah mereka lama saling menatap.
"Iya mas, mau ketemu teman."
"Apa kita bisa ngobrol dulu?"
"Maaf mas, aku buru buru. Lagian nanti nggak enak sama Lia. Apa jadinya kalau dia tahu."
Tanpa menunggu jawaban pria itu. Ia segera keluar. Setengah berlari menuju mobil. Menghempaskan tubuhnya kasar. Disana ia berusaha menentramkan debaran jantungnya. Rasanya ingin menangis saat ini. Apalagi mengingat kisah masa lalu mereka.
Ayo Laras.... move on dong. Lupakan Dirga... lupakan Dirga... lupakan Dirga.. Mending kamu mikirin Ben aja! Sudah jelas, kamu akan lebih baik.
Setelah menarik nafas panjang. Laras melajukan mobilnya. Beruntung, perasaannya sudah lebih baik sekarang.
Tapi apa aku gila ya, kenapa nama Ben yang terpikirkan?
***
Laras tengah membersihkan wajahnya saat panggilan dari Ben masuk.
"Laras?"
"Ya mas?"
"Pesanan kamu untuk pak Suseno sudah mas sampaikan." Ujar Ben.
"Oh ya, matur nuwun sanget mas. Kata bapak sudah sampai. Maaf saya lupa mengabari. Agak sibuk akhir akhir ini."
"Nggak apa apa. Saya tahu kamu sibuk."
"Iya mas, karena ada banyak program di kantor harus direalisasikan, mas Ben bagaimana kabar?"
"Baik, kamu sehat?"
"Sehat mas, kapan ke Jakarta lagi?" Tanya Laras.
"Kalau kamu undang, malam ini juga saya bisa ke sana."
Terdengar tawa Laras berderai. Ben tersenyum lebar.
"Mas ih, bikin aku melayang. Mana sanggup aku ngundang dokter sekelas mas Ben. Berapa tarifnya?""
"Nggak apa apa, nanti aku tangkap kamu. Tarifku nggak mahal kok. Bisa dibayar dengan sepiring nasi goreng atau semangkuk bubur ayam saat CFD." Balas Ben tak mau kalah.
Keduanya kembali tertawa. Ben bertanya.
"Kalau cuma itu sih, bisalah mas,"
"Ini malam minggu, kamu nggak ada rencana keluar Ras?"
"Sudah lama enggak mas. Istirahat aja. Temen temen juga sudah punya keluarga semua. Jadi aku nggak enak kalau mengganggu jadwal mereka. Mas sendiri?"
"Memang selalu di rumah. Malam minggu aku nggak praktek."
"Nggak keluar sama teman gitu?"
"Aku lebih suka di rumah. Kamu?"
"Kadang suka keluar juga kalau ada teman yang cocok. Beberapa kali juga keluar kota bareng teman teman."
"Malam ini pengecualian berarti?"
"Nggak juga mas. Capek dengan kerjaan minggu ini. Rata rata rapat selesai setelah jam delapan malam. Jadi kepengen istirahat di rumah."
"Aku ganggu ras?"
"Enggak sama sekali. Aku malah senang punya teman ngobrol."
Akhirnya keduanya terdiam. Sampai kemudian Ben kembali bertanya.
"Ras.."
"Ya mas?"
"Apa aku boleh kenal kamu lebih dekat?"
Laras terdiam. Sejenak ia memejamkan mata. Rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ia malah menjadi gugup.
"Aku..."
"Kamu punya pacar? Kalau punya ya nggak apa apa. Aku akan mundur."
"Nggak.. nggak kok mas. Cuma..."
"Cuma apa?"
Laras berusaha menetralkan debaran jantungnya. Rasanya ia ingin menceritakan semua sekarang. Tapi apa tidak terlalu dini? Bagaimana kalau Ben mundur? Bagaimana nanti dengan keluarganya?
"Raaas...?"
"Eh.. iya mas."
"Kok bengong?"
"Aku mau cerita dulu sama mas. Setelah ini terserah mas."
"Cerita aja, aku punya waktu untuk dengerin."
"Aku janda, karena diceraikan mas."
"Kamu sudah pernah cerita itu."
"Karena aku tidak bisa memberikan anak dalam perkawinan kami. Aku lelah kalau nanti kita akan berujung sama."
"Apa waktu itu kalian sudah berusaha?"
"Sudah, sampai program IVF. Dua kali dan gagal." Laras mulai menangis.
"Lalu?"
"Karena tekanan keluarga, dia memilih menceraikan aku. Sekarang istrinya sedang hamil tua. Berarti aku yang nggak bisa kan?" Tangis Laras makin keras. Ia tidak malu lagi menangis.
"Kamu merasa sakit saat ini? Maksud aku perasaan kamu?"
"Ya, marah, benci, merasa nggak punya harga diri dan kalah!"
"Mau dengarkan saya?"
"Ya,"
"Saya mau kenal kamu lebih dekat. Untuk menemani saya. Syukur syukur kalau nanti kita cocok. Dan bisa lanjut ke jenjang yang lebih serius."
"Tapi mas.."
"Anak itu anugerah. Kita jalanin aja dulu. Ilmu kedokteran selalu berkembang Ras. Dan kita bisa berusaha kan?"
"Kalau nanti gagal? Bagaimana mas mengatakannya pada keluarga mas?"
"Kita belum memulai. Kenapa takut gagal? Banyak orang punya anak tapi gagal juga."
"Aku nggak mau membangun mimpi mas."
"Aku ngajak kamu membangun kenyataan."
"Mas ih, ngeyel."
"Aku serius, lagi nyari pendamping."
"Kenapa aku? Aku yakin disana banyak yang suka. Mas kan cukup terkenal diantara ibu ibu pemburu jodoh."
"Masak aku kamu jodohin sama ibu ibu?"
"Bukan untuk mereka. Tapi untuk anaknya yang masih gadis."
"Aku lebih tertarik sama kamu."
"Kenapa?"
"Ya suka aja. Lihat cara berpikir kamu, cara ngomong kamu."
"Fisik?"
"Itu juga jadi pertimbangan."
"Mas kenapa bercerai?"
"Karena kami memang harus berpisah. Mantan istriku membohongku. Mengatakan kalau ia hamil dihari pernikahanku dengan kekasih yang sudah kupacari selama lima tahun. Akhirnya aku harus menikahinya, meski aku tak pernah menyentuhnya. Katakanlah aku bodoh saat itu.
Lalu kemudian aku tahu kalau dia tidak hamil. Kemudian membuat kebohongan baru dengan alasan keguguran."
Laras membuang nafas perlahan.
"Lalu mantan kekasih mas?"
"Dia menikah dengan adikku, pada hari itu juga. Kami memang nggak jodoh."
"Pasti rasanya sakit sekali ya mas."
"Yaa... begitulah."
"Kadang aku mikir mas, kenapa cinta itu sangat menyakitkan.aku juga masih merasa sakit. Mas bayangkan dua bulan setelah menceraikan aku. Dia menikah lagi. Nggak lama istrinya hamil. Sakit banget kan aku?"
"Terus kamu nangis tiap malam?"
"Iya, ada kali dua bulanan. Pekerjaanku sampai terbengkalai. Aku daapat teguran. Pokoknya waktu itu aku memperkaya pabrik tisyu. "
"Sekarang?"
"Sudah lebih baik. Egoku saja yang kadang bikin aku masih emosi. Karena merasa kalah. Padahal memang jodoh kami cuma segitu."
Ben hanya tertawa kecil. Mereka tidak jauh berbeda.
"Ya sudah, ayo belajar bersama buat melupakan."
"Jarak kita terlalu jauh mas. Kesibukan kita juga. Aku malah nggak yakin kalau kita akan punya waktu."
"Nggak alasan kalau cuma jarak dan waktu."
"Tapi aku nggak mungkin sering sering pulang kesana. Males nanti ditanyain terus sama bapak dan ibu. Nanti mereka penasaran lagi. Aku yang pulang cuma kalau lebaran. Eh tiba tiba tiap bulan muncul."
"Mas yang akan kesana."
"Itu nggak adil, nanti mas doang yang capek. Kerjaan mas nggak bisa diabaikan."
"Kan ada kamu yang mijitin kalau aku capek."
"Memangnya aku tukang pijet."
"Terus kamu tega?"
"Mijet kamu mas? Entar kalau kamu minta pijet yang lain?"
"Ya kita menikah dulu."
"Mas Ben ih, menikah kan susah."
"Ada yang nggak susah kok."
"Iya nikah siri."
Ben tertawa.
"Ya udah kalau mas mau, kita nikah siri aja dulu. Sambil pacaran, kan jadi halal." Celetuk Laras.
"Jangan main main Laras." Ben berusaha mengingatkan.
"Aku serius, kita sama sama single. Daripada nanti kebablasan bikin dosa."
Ben hanya menggelengkan kepala. Baru kali ini ia menemukan perempuan yang cara berpikirnya cukup nyeleneh.
"Makanya Ras, ya jaga dong keinginan."
"Siapa yang bisa jaga mas? Jangan jangan malah mas Ben nanti yang gak bisa jaga mata. Kalau kita ketemu juga mata mas sering mampir didadaku?"
Ben tertawa miris. Ia ketahuan.
"Gimana mas? Mau nggak?"
"Lho, kan tadi aku yang nanya kamu. Mau apa enggak."
"Aku mau, dengan syarat ada ikatan."
***
Syelamat hari minggu...
Hari baru... bulan baru... semangat baru...
Happy reading
Maaf untuk typo
010320
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top