1

Yang punya akun di Dreame boleh dong follow saya😀😀😀



***

Laras memasuki lobby hotel tempat berlangsungnya acara dengan langkah penuh percaya diri. Senyum mengembang sempurna dari bibirnya. Membalas sapaan para pegawai hotel juga para tamu pendukung.

Siang tadi ia sudah melakukan tahap wawancara. Juga sudah menyerahkan nama nama yang menurutnya cocok untuk menjadi finalis. Rata rata mereka masih muda. Dan bisa terlihat dengan jelas mimpi mimpi tentang masa depan.

Dulu ia juga pernah berada pada posisi mereka. Dan masih mengingat dengan jelas bagaimana cemasnya saat menanti pengumuman. Satu yang ia harapkan. Semoga ini mempermulus cita cita mereka. Karena sebenarnya ajang seperti ini sangat rentan. Apalagi melihat wajah para pengusaha  pejabat yang sudah setengah tua. Bagaimana binar mata mereka saat melihat tubuh tinggi, wajah cantik dan kulit halus itu berlenggok di depan mata.

Saat sampai di ballroom Laras diarahkan duduk tepat disamping dokter Benua. Ia kembali tersenyum dan mengulurkan tangan. Dokter itu menyambut uluran tangan tersebut. Lumayan juga ternyata. Sayang, pasti sudah suami orang!

***

Benua menatap panggung dengan serius. Sesekali memberikan catatan di kertasnya. Tahun inipun sama. Ada pemenang titipan. Putri salah seorang priyayi kota ini. Pemasok bahan bangunan terbesar.

Ditatapnya gadis yang tepat tengah berdiri ditengah panggung. Tampaknya memang sudah cukup lama menyiapkan diri. Dilihat dari kepercayaan diri, jawaban saat wawancara dan juga cara berjalan. Tanpa apa apa sebenarnya dia sudah layak menang. Tapi memang hal seperti ini lumrah terjadi.

"Pak Ben, yang ini kan yang kemarin dibisikin pak Bupati?" Tiba tiba perempuan disebelahnya bertanya.

Ben hanya  mampu mengangguk, karena saat menoleh tak sengaja matanya terbentur pada bagian dada yang cukup besar dan tampaknya sengaja diekspos. Ia kehabisan kata kata. Kalau dilihat, perempuan disebelahnya ini lebih menarik daripada gadis gadis muda diatas panggung. Namun sebagai orang yang berkedudukan cukup terhormat, Ben berusaha menjaga sikap.

"Menurut saya sih dia memang layak pak."

"Meski tanpa kalimat pesanan apapun kan?" Jawab Benua sambil tersenyum.

Larasati tertawa kecil. Baginya ini adalah hal biasa. Bayangkan kalau setelah ini keluarga besar gadis itu pasti akan membuat foto bersama. Dan kelak mahar permintaan keluarga terhadap sang gadis akan naik drastis. Ia sudah pernah mengalami. Ada saatnya sebuah keluarga tidak lagi membutuhkan uang.  Tapi nama yang harum ditengah masyarakat.

Waktu berlalu, saat puncak acara. Gadis titipan yang bernama Jasmine Subroto itu akhirnya menang. Binar bahagia dimatanya juga seluruh keluarga jelas terlihat. Meski sebenarnya hanya gadis itu yang tahu, bagaimana dadanya berdebar saat ini. Bukan cuma karena kemenangan. Tapi karena ada sosok dokter Benua yang dikaguminya!

***

Minggu pagi, Laras baru selesai melakukan lari pagi di sekitar alun alun kota. Saat sampai di rumah ibunya berkata,

"Ras, tolong jemput bapakmu di rumah sakit Graha Medika. Mungkin baru selesai olahraganya."

"Ngapain olahraga disana. Dirumah kan ada treadmill juga ?" Tanya Laras heran.

"Sekalian ngumpul sama teman temannya sesama penderita diabetes. Disana ada senam setiap minggu pagi."

"Iya sih, biar sekalian bisa keluar rumah. Kasihan juga bapak dirumah terus semenjak pensiun bu."

"Iya, makanya ibu ijinkan. Disana banyak yang seusia bapakmu. Kadang mereka malah jalan jalan bersama."

Laras mengangguk, "ya sudah aku naik motor saja ya bu biar cepat."

"Hush, jangan! Apa nanti kata orang. Kamu itu manajer di perusahaan minyak asing. Malu dong sama teman teman bapakmu. Lagipula siapa tahu disana kamu ketemu dokter Benua."

Laras m3mutar bola matanya.

"Yang pemilik rumah sakit itu? Tadi malam juga kami duduk bareng lama."

"Maksud kamu?" Mata ibu terlihat berbinar.

"Iya, dimeja penjurian!" Selesai mengatakan hal itu, Laras segera keluar dari ruang makan.
.
.
.

Benar saja, saat mobilnya memasuki area rumah sakit. Bapak sedang duduk dikursi. Dibawah sebuah pohon rindang. Dan ada dokter Benua disana.

"Kok lama jemput bapak?" Tanya bapak.

"Habis lari pagi pak di alun alun. Aku mau naik motor dilarang ibu. Bapak sudah selesai?" Tanya Laras sambil mengangguk ramah pada Benua.

"Sudah, ayo dok. Saya duluan." Pamit bapak.

"Baik, hati hati pak." Jawab Ben singkat.

Beruntung ia sudah mengenakan kacamata hitamnya. Karena jelas jelas perempuan di depannya itu menunjukkan bentuk tubuhnya. Dengan celana olahraga selutut yang ketat. Betisnya terlihat sangat bagus. Meski bagian atas tubuhnya ditutupi kaos besar yang melewati oinggul. Namun perbedaan ukuran pinggang dan pinggulnya jelas terlihat. Baru kali ini ia memperhatikan bentuk tubuh perempuan lain semenjak berpisah dari Nandhita.

Perempuan itu sudah menjauh. Tapi Ben masih terpaku ditempatnya. Menarik nafas panjang namun kemudian membuangnya pelan. Larasati... Larasati.... layak untyk dipikirkan!

***

Ben memasuki sebuah mal besar di Jakarta. Ditatapnya puluhan outlet produk asing disana. Berniat membeli beberapa kemeja, ia memasuki salah satu toko. Seorang SPG nan ramah menyambut dan segera mengikutinya.

"Selamat siang, ada yang bisa kami bantu pak?"

"Saya mencaei kemeja lengan panjang. Buat ngantor."

Perempuan itu segera memimpin langkahnya. Tanpa mencoba Ben memilih beberapa. Ia sudah menjadi lama mengenakan brand ini. Jadi tidak merasa perlu mencoba lagi. Ukuran tubuhnya juga belum berubah.

Setelah memilih beberapa, ia menuju kasir untuk membayar. Saat akan mengeluarkan dompetnya sebuah suara menyapanya.

"Pak Ben?"

Ben mengangkat wajahnya.

"Laras?"

"Sedang di Jakarta?"

"Iya, kebetulan ada yang harus diurus. Kamu?"

"Lagi nyari kado. Sudah selesai?"

"Kebetulan sudah, kamu?"

"Belum ketemu yang cocok."

Ben mengangguk. "Kebetulan saya belum makan malam. Mau menemani sekalian?" Tanya Ben.

Laras mengangguk. Kemudian melangkah disisi pria itu.

"Bapak mau makan apa?"

"Saya suka makanan jepang."

"Ok, kita ke lantai empat kalau begitu." Ajak Laras sambil menaiki eskalator.

Ben mengikuti, beruntung mereka mendapatkan meja disudut.

"Boleh saya bilang sesuatu?" Tanya Ben.

"Ya?"

"Hilangkan kata pak dipanggilan kamu.  Rasanya saya seperti berada di kantor pemerintahan." Ucap Ben.

Laras tertawa lebar,  "baiklah, mau saya panggil apa?"

"Nama saja. Ben!"

"Tapi saya yakin anda lebih tua dari saya. Dan kita sama sama berasal dari jawa. Ijinkan saya memanggil mas."

"Diterima, saya panggil dik kalau begitu."

Keduanya tertawa.

"Sudah berapa lama ya Ras kita nggak ketemu."

"Tiga bulan ya mas?"

"Iya, kamu masih ngantor?"

"Ya jelaslah, saya nggak punya pundi pundi yang cukup untyk bayar kreditan."

"Masak sih sampai segitunya? Kamu kan putrinya pak Suseno?"

"Saya memang beruntung menjadi putrinya. Tapi rasanya nggak nyaman seusia sekarang kalau masih meminta pada orangtua."

"Ia juga sih. Kamu nggak mudik lagi?"

"Belum mas, bapak sama ibu juga sering ke Jakarta. Oh ya saya boleh tanya?"

"Silahkan."

"Apa nggak ada yang marah atau cemburu kita makan berdua?"

Ben tertawa, "saya lajang. Berstatus duda. Kamu?"

"Masak nggak tahu?"

"Memang nggak tahu!"

"Sudah setahun ini saya bercerai." Jawab Laras pelan sambil mengaduk aduk minumannya.

"Berada pada posisi kita nggak enak ya Ras."

"Iya mas, aku aja kalau mau hangout sama teman harus mikir dulu. Takut pasangan mereka cemburu. Belum lagi pikiran buruk orang lain. Karena memang banyak kan orang berstatus seperti aku berperilaku macem macem."

"Aku kadang malah capek dijodoh jodohin sama orang. Padahal aku masih butuh sendiri."

Laras tersenyum. Tak lama makanan mereka datang. Keduanya makan dengan lahap.

"Mas Ben nginap dimana disini?"

"Di Kempinski. Kamu tinggal dimana?"

"Daerah Pejaten mas."

"Rumah tinggal?"

"Enggak, kost."

"Biasanya irang Jakarta suka tinggal di apartemen. Kok kamu enggak?"

"Nggak suka lingkungan apartemen. Juga merasa sepi. Lagian nggak terlalu jauh dari kantor juga."

Ben mengangguk.

"Oh ya mas, kapan pulang?"

"Besok sore rencana. Kenapa?"

"Aku boleh titip sesuatu untuk bapak? Beliau mau ulang tahun lusa. Sayang pekerjaanku masih banyak."

"Boleh, mau titip sekarang?"

"Aku belum beli mas. Nanti aku antar aja."

"Kamu hubungi saya aja nanti. Siapa tahu saya masih diluar."

"Nomornya?"

Ben menatapnya dengan tatapan menggoda.

"Habis ini mas kasih."
.
.
.
Benua menatap langit langit kamar. Entah kenapa pertemuan dengan Laras tadi membuatnya merasa nyaman.  Sudah lama perasaan tersebut tidak menghampirinya.

Lelah sepanjang hari, membuat Ben memilih untuk tidur. Sayang rencana itu terganggu dengan dering ponselnya.  Gun! Malas mengangkat, Ben memilih melanjutkan tidurnya.

Ia memang paling jarang memgangkat telfon dari keluarganya sekarang. Merasa kalau mereka bukanlah rumahnya. Ada banyaknkekecewaan yang datang saat mereka bertemu. Ben memilih menjauh.

Akhir akhir ini ia sering ke Jakarta. Karena memang harus mengurus sesuatu di Kemenkes. Namun tak sekalipun ia mampir ke rumah Gunung. Malah anehnya, adiknya itu yang kerap menghubunginya. Sesuatu yang membuat Ben merasa jengah. Karena sama sekali tidak mengharapkan hal tersebut.


***




Laras memasuki kamar kemudian menyalakan lampu. Sudah jam sepuluh malam lebih. Ia sudah biasa pulang pada jam seperti ini. Kadang karena pekerjaan. Tapi lebih sering berkumpul dulu bersama teman. 

Lelah sepanjang hari, perempuan itu memutuskan untuk masuk ke kamar mandi. Ia punya kebiasaan mandi sebelum tidur. Dulu saat masih menjadi istri, ini adalah waktu untuk tidak sekedar membersihkan tubuh. Tapi mempersiapkan malam malam panjang bersama Dirga.

Selesai mandi, Laras membuka lemari tempat penyimpanan pakaian dalamnya. Disana puluhan lingerie seksi yang tak pernah lagi digunakan terlipat rapi. Rasanya ini lebih layak disebut museum.

Tangan Laras terhenti. Lunglai ia meraih pakaian dalamnya. Mengenakan kemudian menjatuhkan tubuh keatas tempat tidur. Saat ini tidak ada lagi malam malam romantis tersebut. Semua sudah berubah menjadi dingin.

Teringat salah satu atasannya dikantor yang bernasib sama. Tidak kunjung punya keturunan setelah lima belas tahun menikah. Tapi tetap memilih bertahan. Menikmati apa yang mereka miliki. Jalan jalan ke tempat baru. Nah Laras? Baru enam tahun! Dan Dirga menyerah akibat tekanan keluarganya.

Salahkan Laras yang dulu hidup terlalu bahagia. Tidak peduli pada kalimat ketus keluarga mantan suami. Baginya Dirga tetap pria yang sama, dan  itu sudah lebih dari cukup. Bahkan tidak pernah berpikir kalau pria yang begitu mencintainya akan menyerah.

Mereka tidak pernah punya masalah. Orang lain yang merasa hidup mereka bermasalah dan akhirnya meminta mengkahiri ikatan tersebut. Dirga anak tunggal. Dan harus memenuhi tuntutan keluarganya. Sayang, Laras tidak suka menjadi yang pertama. Ia lebih suka menjadi satu satunya.

Betapa bahagianya Lia sekarang. Perempuan yang telah dipilihkan untuk mantan suaminya. Pasti mereka tengah menghabiskan malam bersama. Kembali Laras mengusap airmatanya. Karena ia harus melewati malam sendiri dan kesepian.




***




Yang Laras tidak tahu, tak jauh dari tempatnya sekarang. Dirga masih berada dikantor. Menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bisa didelegasikan pada anak buahnya. Ia enggan pulang! Karena tidak akan menemukan sosok yang dicintainya di rumah.




***



Happy reading

Maaf untuk typo

290220





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top