Part 2 ; Raden Purbakala
Anak panah melesak mengenai sasaran, tepat mengenai jantung buruan. Si pemburu berlari mendekati buruannya yang tumbang. Bagus sekali. Malam ini ia akan pesta daging kijang.
"Oi! " Terdengar suara panggilan berjarak sepuluh meter dari si pemburu. Pemuda pemburu itu berhenti menyilet kulit buruannya.
Si pemanggil mendekati si pemburu.
"Berapa daging per kepal? Akan kubeli! " Tanya pemuda yang mendekati si pemburu.
"Dagingku tidak dijual. Lagipula Kisanak terlihat seperti saudagar. Belilah daging di Pasar Raya, jangan di tengah belantara seperti ini! "
Orang yang dipanggil saudagar itu terkekeh jenaka. "Aku berbicara dengan sopan dan baik, tapi kau menolak tawaran rendah hatiku. Padahal anjingku hanya butuh sekepal. Pasar Raya jauh dari sini, dan hari Kurban masih jauh. Kalau aku berburu, akan sia-sia jika hanya kuambil sedikit. Aku hanya membeli sekepal darimu, apakah itu akan membuatmu miskin? " Cerocos saudagar itu panjang lebar.
"Begitu, ya. Baiklah, satu kepal seharga sepuluh koin emas, " Kata si pemburu.
"Bagus. Pertama kau harus beli pakaian yang pantas. Jangan pakai goni itu. Layaknya pakaian orang purba! "
Pemburu itu berjengit. Ia sidikit familiar dengan gaya bicara saudagar yang sengit itu. Tanpa aba-aba pemburu itu menarik anak panah dan melesakkannya ke saudagar kaya tersebut.
Si saudagar membelokkan panah dengan pedang melengkung miliknya. Kilatan cahaya menyilaukan keluar dari pedang tersebut, membuat si pemburu buta untuk sesaat, pemuda saudagar menyerang dengan jarak dekat. Terjadi pertarungan sengit antara senjata pedang dan busur panah pemburu yang kokoh.
"Kau berani menyerang ku? " Desis pemuda saudagar.
"Kau sendiri? Berani sekali mengejekku, Raden Surya! " kata si pemburu. "Hati-hati saja, pakaian sutramu mungkin akan tergores ranting pohon! "
Raden Surya memberi jeda pada serangannya. "Aku hanya miris, penerus tahta Sumuran Wetan terlihat menyedihkan sepertimu, apa kau tidak takut 'barang-batang'mu kececer kalau hanya pakai karung goni? Kasihan 'mereka', " Kata Raden Suryadinata dengan nada melas.
"Sejak kapan peduli urusanku? Biasanya kau naik motor mabur, kenapa pula menembus belantara? Apa kau cari mati? " ucap si pemburu penuh ancaman.
"Jika ini akhir hidupku, maka aku akan menikmatinya dengan teman lamaku, Raden Purbakala," kata Raden Surya. Pemuda berpakaian saudagar itu menyarungkan pedangnya. Ia melempar sekantong koin emas pada Raden Purba.
"Ini koinmu! Belilah sabun ketek kalau perlu. Tidak akan ada perempuan yang melirikmu kalau seorang pangeran terlihat kumuh sepertimu!"
Purba menangkap koin dari Surya. "Yang perlu dicuci dan dibersihkan itu mulutmu! Supaya tidak mengeluarkan kata hinaan lagi, ini bukan jaman dimana orang-orang bisa menginjak-injak orang lain, kecuali jika kau yang memintanya, " Purba balik melempar satu kilo daging kijang kepada Surya.
Matahari beranjak turun. Surya membuat perapian dari kayu kering dan membakar daging kijang dari Purba. Pemuda itu menikmati dagingnya sendirian. Sedangkan Purbakala kembali ke Negara Wilayahnya. Perjalanan darat memang memakan waktu. Butuh satu hari lagi untuk sampai ke Sabrang Lor. Para menterinya menaiki Motor Mabur dan ia memilih melewati daratan. Di sisinya Raden Surya, Kerispatih, anjing kerajaan Sabrang Lor juga menikmati sajian daging kijang bakar yang disuguhkan majikannya.
"Bukankah ini enak, Patih? " Komentar Surya memecah hening. Kerispatih menggeram sebagai bentuk persetujuan. Ya daging ini enak, mengenyangkan. Begitu mungkin artinya.
"Satu hari lagi dan kita akan sampai, aku harap Papa Raja tidak marah karena kita pasti sangat terlambat, "
Kerispatih menggeram lagi. Tiada hari Raden Surya selalu membuat Papa Raja cemas. Begitu mungkin artinya.
Bintang gemintang di atas menampilkan rasi Orion dengan jelas dan terang. Perkiraan Surya sudah pukul sembilan malam. Bulan Purnama meneranginya, sehingga membuat pandangannya sejelas siang hari.
"Lihatlah, Patih! Saudariku menyinariku dengan cahaya purnamanya." Surya mengadahkan telapaknya seolah menerima cahaya dari Bulan Purnama di atas sana.
Kerispatih menggeram. Kalian saling mengisi. Menyinari bergantian, siang dan malam. Begitu maksud Keripatih.
"Entahlah, jika aku bisa memahamimu, Kerispatih. Tapi kau benar. Aku dan Purnama adalah simbol Sabrang Lor yang sempurna. Jika salah satu dari kami tiada, maka keseimbangan Sabrang Lor pun juga akan hilang. Dalam artian akan ada bencana! "
Raden Surya mematikan perapiannya dan menutupnya dengan tanah agar tidak mengundang binatang buas mendekat karena mencium bau daging bakar. Setelah memastikan tempat aman, Raden Surya bersandar di batang pohon besar untuk melepas penat. Memejamkan mata.
Sedangkan Kerispatih meringkuk di kaki tuannya. Mereka tenggelam dalam tidur lelap. Angin malam yang terkadang dingin justru menjadi buaian yang melelapkan, menguarkan rasa lelah, penat, selama perjalanan.
Next.... Part 3
Sesuk wes kerja maning😉 part 3 entah kapan bertelur. Kalau ada selentingan ide yg menyumpal kepala tak tuangkan.... 🤯
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top