Prakala | 0

"Sampaikan salamku pada masyarakat andailah aku mati terpasung, nanti, sebab kutentang raja diraja yang diagungkan satu serikat."

---

"Kita bunuh mereka yang ada di sini," katanya menunjuk peta Kerajaan Bentala. "Dengan apa? Dengan tangan-tangan mereka sendiri. Adu domba, ciptakan konflik sehingga terjadi pertumpahan darah. Tidak perlu ribuan tewas, ratusan pun cukup untuk percobaan pertama."

Tawa-tawa tersembunyi di dalam hati mereka kedengaran sangat munafik. Kulihat sejelas gajah di pelupuk mata, sosok pimpinan yang wajahnya kuhafal secepat kilat tengah tersenyum seperti orang sinting. Wajahnya yang hangat dan cerah khas orang-orang baik hati itu membuatku jijik sebab busuknya pemikiran yang tersembunyi di dalam kepalanya. Derajat sang pimpinan itu setara hewan dan tak perlu dipertanyakan mengapa, kalaulah orang berakal sehat mengetahui kelicikannya.

"Akan kita dapatkan pijar malam."---adalah deklarasi perang antara aku dan dia. Meski pengertian pijar malam masih perlu divalidasi, tetap bagiku empat kalimat yang baru saja dilempar sang pimpinan adalah pernyataan permusuhan.

Agaknya petaka, pijar malam itu petaka.

Telah tersebut-sebut kata itu berulang kali sampai otakku nyaris meledak. Dilihat dari ucapan mereka untuk menewaskan ratusan orang, kurang lebih kutangkap makna pijar malam sebagai kekacauan yang terjadi pada waktu malam. Asumsiku jujur saja jelek benar. Aku tidak punya informasi lebih tentang "pijar malam", jadi tak bisa kupetakan pula maksud utama komplotan yang inginnya kuhantam langsung di tempat. Meski demikian, jelas sudah perkara keburukan ini mesti kuhentikan, dengan cara-cara yang butuh dukungan besar.

Bukan tanpa alasan hatiku ini bicara. Penghentian atas kelompok durjana---tanpa nama---tidak kuniatkan sewenang-wenang. Sejak awal kucuri pembicaraan mereka, sejak dikatakan sang pemimpin bahwa ia temukan satu perkamen yang hilang dari arsip serikat, sejak itulah kutahu akan terjadi sesuatu di Kerajaan Bentala yang sangat kucintai.

"Jika benar tampak di hari itu pijar malam, maka kekuasaan yang kujanjikan pada kalian tinggal menanti masa," ia menduga-duga, menyeringai lebar.

"Dengarlah dengan seksama, hai kalian yang munafik!" sang pimpinan itu lantas berseru, rupa-rupanya mawas diri. "Di hari eksekusi, temukan seorang anak kecil dengan usia enam sampai dua belas tahun. Itu ialah umpan paling bagus, yang lemah tak berdaya, namun mampu memicu kekacauan luar biasa besar jikalau kita pandai memanfaatkan. Satu saja nyawa dari seorang gadis atau bocah belia, percayalah, lebih dari cukup untuk menimbulkan konflik lokal di tempat yang kita tentukan. Karenanya, sekali lagi, dengarlah dengan seksama!"

Perintah yang menggema ke seisi ruangan itu membuatku berdoa, berdoa semoga sang pimpinan tak pernah tahu bahwa yang mendengar dengan khidmat bukan cuma kaki-tangannya. Kutahan-tahan amarahku, kutahan-tahan kesedihanku. Semakin kudengar baik-baik rencana mereka dari A hingga Z, semakin sedih, marah, dan kecewa dalam dada membuncah. Kendati begitu pun alangkah tidak pentingnya perasaanku dibanding kebenaran yang terkuak tiap detik di sini. Maka aku tetap berdiri, kuat hati mendengar dan mencatat betul-betul rencana sang pemimpin.

Beberapa menit berlalu dan telingaku bersyukur tidak menyerah. Seperti pembuat naskah drama, mereka ongkang-ongkang kaki selepas menyala lampu sorot di panggung atau paling tidak begitulah umpamanya. Bila kuringkas menjadi satu kalimat, maka bunyinya "komplotan ini hendak membunuh seseorang dengan pembunuhan yang difitnahkan pada orang lain". Itu membuat tungkai-tungkaiku lemas, dan aku berkeluh kesah. Mereka meletakkanku dalam kecamuk batin yang rumit, antara beruntung telah menyibak tirai-tirai tipu muslihat dan ketakutan luar biasa mendengar susunan acara yang mereka gelar pada hari "eksekusi". Perjamuan pijar malam---begitu sebut mereka---akan dan hendaknya menjadi batu loncatan ke perjamuan berikutnya. Para munafik di ruangan ini mengadakan pementasan penuh darah, pesta kematian.

"Hingga tiba hari perjamuan pijar malam yang pertama, diam-diamlah kamu sekalian dalam sandiwara."

Sungguh sebuah amaran yang biadab.

Bentala
Prakala

(588 kata)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top