Ciuman
Inuyasha menepis tangan sang kakak, bahkan menendang kaki Daiyokai yang tengah berjongkok. Alis perak bertaut. Garis bibir masih sama lurus tanpa perubahan.
"Hanyou." Meski terdengar pasif, namun Inuyasha dapat mendeteksi rasa kesal yang tersembunyi dalam nada panggilan tadi. Tanpa peduli, sang Inuhanyou menopang tubuh dengan kedua siku. Rasa sakit dan terkejut telah sirna.
"Menyingkir dariku," Inuyasha berkata kasar. Manik emas menatap teliti. Setelah sekian detik, Daiyokai barat pun bangkit dengan elegan. Melirik ke bawah pada adik yang tergeletak dengan tubuh telanjang dan selimut yang ditindih berantakan.
"Bersihkan dirimu." Dua kata yang diucap tanpa nada oleh Sesshomaru. Rasa peduli yang sempat lepas dari raja dataran barat, ditarik kembali. Menampilkan sisi apati.
Sesshomaru melangkah pergi. Tanpa sedikitpun menengok kondisi Inuyasha.
"Keh, aku tidak butuh bantuanmu," ucap Inuyasha masih tak terima jika ia terlihat lemah di hadapan kakaknya. Orang yang telah menelantarkan dan berulang kali melukainya. Hanyou yang tengah mengandung kini berusaha bangkit. Energi yang telah terisi mempermudah, namun saat ia mencoba menekuk tubuh untuk duduk, rasa sakit langsung melanda.
Ia mengusap perut yang terasa seperti berdenyut. Inuyasha mengerang kesal. Kenapa kondisinya seperti ini? Apa kesulitan yang ia derita masih belum cukup?
Terpaksa dengan berat hati Inuyasha membaringkan diri di lantai. Ia mendongak terkejut, melupakan jika Jaken masih ada dalam ruangannya. Dengan segera Inuhanyou menutupi tubuh dengan selimut. Rambut putih tergerai indah di atas marmer.
"Apa yang kau lihat?!" sambar Inuyasha marah dan malu.
"Kau -- kau! Tidak tahu diri. Padahal tuan Sesshomaru telah bertindak baik pada hanyou seperti dirimu. Beraninya bersikap tak sopan!" Jaken membuka mulutnya tak terima. Kebencian dan ketidak sukaan sang kappa terlihat jelas.
"Jika kau selesai membereskan ranjang, pergi dari sini. Keh, aku tidak butuh ocehanmu," balas Inuyasha tak kalah dalam menyindir.
Mulut sang kappa membuka-tutup untuk berulang kali. Inuyasha mengabaikan. Tangan kembali mengusap perut dengan harapan mengurangi rasa sakit.
Jaken terus berbicara, namun Inuyasha masih mengabaikan. Sampai sang kappa kesal dan keluar dari kamar dengan menutup pintu keras.
Inuyasha menghirup beberapa tarikan udara. Tatkala denyut dalam perut berkurang, ia memiringkan tubuh. Satu tangan mencengkeram selimut, yang lain digunakan untuk menopang.
Ia tak menyangka memiliki anak akan merepotkan seperti ini. Apa ibu Izayoi sama sepertinya dulu? Jika sang ibu dapat bertahan, maka ia pun pasti dapat melakukannya.
Sudut bibir Inuyasha naik.
Ia berusaha kembali untuk duduk. Merasakan energi yokai mulai berkurang. "Kau begitu rakus, tsk," gumam Inuyasha kesal dan sayang. Jika diingat, sikap rakus mungkin menurun darinya. Tak dapat ia bayangkan tuan besar seperti Sesshomaru menjadi seorang yang rakus. Mungkin memang dia gila akan kekuatan, namun pribadi sang kakak tampak sangat terkendali.
Alis putih bertaut tak senang. Kenapa ia membela kakaknya?
Inuyasha menyerah untuk bangkit. Semakin ia berusaha memutar tubuh atau menekuk, perutnya akan berdenyut sakit. Ia memilih kembali berbaring di lantai.
Pikiran berkecamuk. Apa yang teman-temannya tengah lakukan saat ini? Ia pergi tanpa memberi kabar. Mendesah lelah, ia menutup wajah dengan lengan kiri. Tangan kanan mencengkeram selimut untuk menutupi tubuh.
~
Entah berapa lama ia terbaring. Punggung mulai terasa sakit. Tengkorak kepala pun ikut berdenyut. Rasa tak nyaman berkumpul pada anus yang tak ia bersihkan. Mungkin beberapa tetes semen Sesshomaru telah menetes di selimut yang ia kenakan.
"Cih, kenapa aku begitu lemah. Cepatlah keluar bocah, agar aku bisa kembali ke kondisiku yang dulu," gerutu Inuyasha yang makin bosan. Ia mencoba membangkitkan diri kembali. Ingin rasanya berguling, namun perut besar menghalangi.
Inuyasha melirik terkejut tatkala suara pintu terdengar. Wajah sang hanyou memerah mendapati sang kakak menatap dengan wajah apati di depan pintu. Seolah terkejut melihat ia yang masih terbaring di atas lantai.
"Hm," Sesshomaru bergumam pelan. Ia memasuki kamar dengan langkah panjang tanpa suara. Helaian perak panjang yang mencapai pinggang, berkibas pelan. Wajah tampan Daiyokai barat semakin mendekat.
"Berengsek! Turunkan aku!" Inuyasha menjerit tak terima tatkala sang kakak tanpa berbicara langsung meraup tubuhnya dalam dekapan. Moko-moko segera menyanggah belakang kepala sang hanyou, membuat denyut sakit yang dirasakan berkurang. Sayang, sikap keras kepala masih dipertahankan oleh putra bungsu Inutaisho.
"Sesshomaru!" Inuyasha berteriak kesal. Manik emas menatap tajam. Membungkam sang adik. Mereka berjalan menjauhi ruangan. Tentu putra bungsu masih meronta, namun sang kakak masih melanjutkan perjalanan.
Inuyasha makin mengetatkan selimut. Telinga anjing miliknya bergerak resah. Ia menggeram pelan, namun moko-moko bergerak mengusap kepalanya. Membuat sang bungsu menggeleng kuat.
Aroma harum wewangian mulai tercium. Ia melihat beberapa siluman berlarian membawa ember kayu. Inuyasha terkejut saat melihat kolam air hangat. Kakaknya terus melangkah dengan pandangan mendongak. Tak memperhatikan sama sekali pada sekitar.
"Sesshomaru akan membantumu membersihkan diri. Gobodo-sama telah menunggu."
Inuyasha akan menolak, namun ia diturunkan begitu hati-hati pada kolam yang mengepulkan asap hangat. Tanpa peduli pada selimut yang kini ikut basah.
Sang hanyou merasa panik. Ia melihat sekitar. Para siluman yang ia lihat sebelumnya kini telah menghilang. Pintu kayu besar pun menutup rapat. Dengan khawatir Inuyasha mencengkeram selimut. Hati berdetak cepat. Tak ingin mengakui jika ia ketakutan.
"Aku bisa membersihkan diriku sendiri. Kau tidak perlu ke sini!" ucap Inuyasha cepat saat melihat sang kakak akan melepaskan jubah agungnya.
Sesshomaru menatap penuh ketelitian. Menandai sikap tak nyaman sang adik. Ia memutar tubuh. "Jangan membuatku menunggu, hanyou."
Manik cokelat madu membesar. Dengan segera ia membasuh diri. Selimut tak ia lepaskan sedikitpun. Meski posisi canggung, namun lebih baik ketimbang membiarkan Sesshomaru memandikannya.
~
Inuyasha menatap tajam tak senang. Ia merasa dipermainkan oleh Sesshomaru. Apa yang sebenarnya ada di pikiran sang Daiyokai?
Saat ia telah terburu membersihkan diri, ternyata beberapa pelayan muncul. Mereka adalah siluman tingkat bawah. Yang bisa dibunuh dengan satu cengkeraman oleh sang Daiyokai. Mereka merebut selimut basah yang dikenakan, kemudian memaksa Inuyasha kembali ke kolam.
Wajah sang putra bungsu masih merah karena marah dan malu.
Ia berjalan di belakang sosok kuat Sesshomaru. Langkah Daiyokai begitu pelan. Rambut perak terus berkibas indah. Wajah bergaris warna magenta menilik untuk ke sekian kali. Memastikan adik sekaligus mate masih mengikuti.
Sesshomaru menghentikan langkah tatkala Inuyasha tertinggal jauh. Ia memperhatikan bagaimana jarak dekat telah membuat sang adik kelelahan. Perut besar berbalut haori merah berulang kali diusap.
Ia merasa ada yang tak beres. Ia memusatkan diri untuk merasakan aura yokai anaknya. Kekuatan mentah yang begitu kuat. Tak heran hanyou ini terlihat kelelahan.
Ia kembali menatap ke depan dan berjalan saat Inuyasha telah menyusul langkahnya.
Harum masakan telah di udara. Ia membuka pintu menuju ruang makan di mana ibunya telah menunggu.
"Hm," ibunya bergumam sebagai sambutan. Tanpa berkata ia memilih duduk sembarang. Dua kursi dari sang ibu.
Inuyasha terlihat tak tenang. Hanyou itu kesulitan menyeimbangkan tubuh untuk duduk.
Mereka terdiam. Meski makanan telah tersaji, namun tujuan utama bukanlah ini. Manik emas melirik sang ibu.
Daiyokai istana langit meneliti putra kedua dari mendiang kekasihnya. Wajah yang beberapa waktu lalu kurus pucat, kini lebih terlihat segar.
"Sebenarnya apa yang kita lakukan di sini?" Inuyasha memasukkan tangan pada lengan haori. Manik cokelat menatap heran. Ekspresi kesal terpampang jelas.
"Apa kau siap untuk menyambut anakmu?" Inukimi bertanya tanpa nada.
Inuyasha menggertakan gigi. Menatap tajam pada dua yokai murni yang duduk di hadapan. "Aku tidak selemah itu," sahut sang hanyou masih emosi. Berulang kali ia direndahkan. Jika benar ucapan Kaede, maka ia pun dapat dikatakan kuat karena berhasil menyamai energi yokai Sesshomaru.
Inukimi masih menilik. "Anak yang kau kandung tak seperti umumnya. Dia akan lahir dengan merobekmu."
Inuyasha berkedip tak mengerti, namun Sesshomaru lah yang menjawab ucapan sang Daiyokai istana langit. "Apa yang akan terjadi pada hanyou ini?"
Mereka mengabaikan sajian yang ada. Juga menghiraukan pelayan yang menguping.
"Hum, jika tak ada penanganan yang sesuai. Dapat dipastikan hanyou ini akan mati dalam proses melahirkan."
"Aku masih di sini!" sahut Inuyasha tak terima. Mereka terus mengucap hanyou ini, tak memperhatikan jika yang dibicarakan ada di depan mata.
Sesshomaru berdiam diri. Manik emas melirik. Tak dapat dipungkiri rasa khawatir meresap, namun segera ia tepis. Jika hanyou ini tak selamat maka dia tak pantas bersanding dengannya.
"Tapi masih ada cara untuk menyelamatkannya. Siluman dengan kemampuan penyembuhan akan dibutuhkan," Inukimi menghentikan ucapan. Melirik pada anaknya dengan hati-hati. "Jika tak ada jalan lain, kau harus menggunakan Tenseiga."
Inuyasha makin gerah dengan apa yang kedua bangsawan Inuyokai ini bicarakan. Ia bangkit terburu. Tangan memegang kursi sesaat untuk menghilangkan rasa pusing yang menyerang tiba-tiba. "Jika kalian ingin bicara berdua, lakukan saja. Keh, tak ada gunanya juga aku di sini."
Inuyasha melangkah menjauh. Dengan seluruh kemampuan ia segera menghindari ruang makan.
Ia menggerutu sepanjang jalan. Tak mengerti kenapa ia harus ada di sini. Semua bersikap seolah ia hanya wadah dari bocah yang ada di dalam perutnya.
Segera ia menuju kamar. Mengingat semoga tak salah ruangan. Manik cokelat madu yang masih berhias kemarahan, menyusuri kamar demi menemukan Tessaiga.
Rasa kesal terkumpul. Siapa yang berani memegang pedang miliknya? Dan di mana mereka menyembunyikannya?
"Hanyou."
Inuyasha menegang. Harum aroma yokai telat ia cium. Hidung berkedut kecil. Ia memutar tubuh untuk menghadapi Sesshomaru.
Bagaimana bisa kakaknya terlihat begitu tenang? Oh ia lupa. Yang mempertaruhkan nyawa di sini adalah Inuyasha. Yang akan dirobek hidup-hidup adalah dirinya. Bukan Sesshomaru.
Tapi dengan mudah ia tak dianggap. Sejak pertama ia sadarkan diri hingga saat ini, Sesshomaru selalu bertindak mendominasi. Mengatur tanpa persetujuan Inuyasha. Jika bukan karena anak dalam perut, ia pasti telah memilih hidup mengembara seorang diri.
Sesshomaru mendekat. Tiba-tiba ia merasa kesal. Tak ingin melihat kesempurnaan dari topeng dingin sang Daiyokai.
Tanpa berkata apapun, Inuyasha melompat dengan cakar di kedua tangan. Manik cokelat madu terkotori oleh merah.
"Hentikan ini, hanyou."
Inuyasha tak mendengarkan. Entah darimana rasa kesal ini muncul. Ia berusaha mencakar sang kakak yang berhasil menghindar. Rasa sakit dan lelah, ia abaikan.
Sesuatu dalam perut bergerak gelisah, namun Inuyasha masih persisten menyerang Sesshomaru. Tak peduli peluh dingin telah menghiasi wajah. Bibir merah memucat. Ataupun tubuh yang bergetar. Ia hanya ingin meluapkan perasaan yang ada.
~
Sesshomaru masih dengan tenang menghindar. Manik emas meneliti postur adik yang terlihat memburuk. Ia tak yakin apa penyebab kemarahan sang hanyou. Ia hanya membicarakan perihal kelahiran anak yang dikandung Inuyasha, namun adiknya langsung pergi begitu saja.
Serangan yang dilancarkan Inuyasha tak terasa untuknya. Hanya saja, semangat untuk terus menyeranglah yang ia akui. Meski telah terlihat kelelahan, adiknya masih belum mau berhenti.
Kelamaan, sang Daiyokai merasa khawatir. Ia berulang kali melirik perut besar berbalut haori.
Merasa cukup. Sesshomaru langsung menangkap kedua tangan Inuyasha. Memutar tangan sang adik untuk menghentikan tindakan sia-sia ini.
Inuyasha meronta. Sesshomaru memaksa sang adik berjalan. Hingga mencapai tempat tidur. Selimut telah diganti. Harum darah telah menghilang.
Merasa puas, ia dengan mudah membaringkan tubuh Inuyasha. Mengunci kedua tangan dengan moko-moko. Kemudian kaki sang adik ia tarik.
"Apa maumu, Sesshomaru?!"
Sesshomaru tak menjawab. Daiyokai dataran barat menatap tenang pada lautan cokelat madu yang bergejolak dengan emosi. Setiap tarikan napas sang hanyou ia teliti. Tubuh yang lebih kecil masih bergetar. Energi yokai kembali menurun.
Mereka terus dalam posisi ini. Sang kakak di atas sembari mengunci pergerakan adiknya.
"Lepaskan." Akhirnya Inuyasha mulai terlihat normal, namun Sesshomaru masih diam. Rambut perak jatuh membingkai setiap sisi dari pipi sang adik.
Manik cokelat madu membelalak tatkala bibir Sesshomaru mengecap bibirnya.
~
E
nd....
Preview only. Sudah dibukukan 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top