Peristiwa Kala Subuh
*Dengan visualisasi berbeda, cerita pun beda.
Selepas fajar.
Arvi terkantuk-kantuk. Biasanya jam segini ia berada di balik selimut. Terbuai di alam mimpi. Tapi tidak dnegan hari ini. Arvi harus bergelut dengan udara dingin serta kantuk. Ia menguap berkali-kali sembari mengeratkan jaket yang dipakainya.
Arvi tidak sedang menunggu orderan atau mengantarnya. Ia libur. Arvi sedang berada di peron stasiun kereta menunggu kedatangan kakaknya dari luar kota. Kakak perempuannya berangkat naik kereta malam.
Tidak banyak orang yang berada di tempat ini. Namun, ada yang mencuri perhatian Arvi. Dua orang yang duduk di kursi tunggu. Jaraknya hanya berselang beberapa kursi darinya. Arvi diam-diam mencuri pandang.
Seorang laki-laki memakai jaket tebal. Kepalanya tertutupi tudung jaket. Di sebelahnya duduk seorang gadis berperawakan kurus. Rambutnya dikuncir seperti ekor kuda. Arvi terus memperhatikan mereka berdua.
Gadis itu memberi obat pada laki-laki yang berada di sampingnya. Laki-laki itu seperti menolak, tapi si gadis berhasil membuatnya meminum obat. Arvi mendengarnya terbatuk-batuk.
"Sepertinya cowoknya sakit," gumam Arvi. Sekali lagi ia menguap.
Arvi bangkit dari duduknya. Ia butuh ke kamar mandi. Udara dingin membuatnya ingin mengunjungi terus mengunjungi kamar kecil. Menunaikan panggilan alam.
Letak kamar mandi ada di dekat kursi yang diduduki kedua orang itu. Arvi harus mereka berdua. Kebetulan ia juga penasaran dengan wajah keduanya.
Arvi berjalan sedikit lambat. Ketika di depan kedua orang itu, Arvi melirik sekilas. Saat itu juga ia tidak menyangka kalau matanya akan bertemu dengan mata si gadis. Arvi merinding. Baru kali ini ia mendapati tatapan tajam seperti itu.
Kamar mandi tinggal beberapa meter. Arvi mempercepat langkahnya. Ia sudah tidak penasaran lagi. Lebih baik menjauh. Arvi tidak berniat kembali ke tempat duduknya tadi. Ia sudah menemukan tempat baru—berada di kursi lain dengan beberapa orang yang sedang menunggu juga. Semoga kursi itu tidak ada yang menempati sampai ia keluar dari kamar mandi.
"Ngeri banget. Matanya kayak mata pembunuh di film-film," gumam Arvi ketika berada di kamar mandi.
Selesai urusan kamar mandi, Arvi segera keluar. Namun, langkahnya terhenti. Ia melihat gadis tadi menuju ke arahnya. Sepertinya ingin ke kamar mandi juga. Arvi buru-buru pergi. Sayangnya, ia harus berpapasan dengan gadis itu.
Arvi mengembuskan napas lega. Gadis itu sama sekali tidak memperhatikannya. Ternyata ia sudah begitu paranoid. Padahal hanya seorang gadis. Tubuhnya saja kurus. Kakinya yang terbalut celana jeans tampak sangat kecil. Arvi sempat berpikir, apa gadis itu tidak kedinginan. Hanya memakai kaos lengan pendek berwarna hitam.
Ada satu lagi yang membuat Arvi tanpa sadar menoleh pada gadis itu. Ada sebuah boneka yang dibawa gadis itu. Mirip mainan adik perempuannya.
Ngapain bawa boneka ke kamar mandi? pikir Arvi.
Arvi kembali berjalan menuju kursi lain. Ia tidak boleh ikut campur. Terserah gadis itu mau membawa bonekanya ke mana. Bukan urusan Arvi.
"Boleh duduk di sini, Pak?" tanya Arvi pada laki-laki paruh baya yang duduk di depannya.
"Tentu saja boleh. Duduk sini, Nak. Nunggu juga?"
Arvi mengganguk. Kemudian ia duduk di samping laki-laki ini. Memang lebih nyaman duduk di sini. Ia pun terlibat obrolan ringan.
"Bapak punya benih labu. Coba ditanam di kampungnya, Dek. Ini benih kualitas super. Lumayan loh kalau panen untungnya gede," ujar laki-laki paruh baya ini sambil memberikan bungkusan kecil berisi benih labu pada Arvi.
"Wah, terima kasih, Pak. Nanti saya berikan ke kakak saya. Kebetulan dia senang berkebun." Arvi langsung memasukannya ke kantong celananya.
Obrolan pun kembali berlanjut. Kereta belum juga datang. Sesaat Arvi lupa rasa kantuknya, rada dingin, serta gadis itu.
Sampai sesuatu terjadi ....
"Itu kenapa?" laki-laki di samping Arvi menunjuk ke arah tempat duduk gadis tadi.
Arvi kaget. Laki-laki yang duduk bersama gadis itu sudah tumbang. Mulutnya mengeluarkan darah. Ia memang sempat mendengar laki-laki itu batuk beberapa kali. Makanya Arvi menyangka jika sedang sakit.
Arvi ikut berlari bersama orang-orang yang berada di sini menuju laki-laki itu. Ia ingin memastikan apa yang menimpanya. Dari dekat Arvi bisa melihat wajah laki-laki ini. Masih muda. Mungkin anak kuliahan.
"Panggil petugas. Harus segera dibawa ke rumah sakit."
Arvi tidak tahu siapa yang mengatakan kalimat ini. Tapi memang harus seperti itu. Laki-laki ini batuk lagi. Darah yang keluar dari mulutnya makin banyak.
"To-long sa-ya."
Hanya kalimat itu yang Arvi sempat dengar darinya. Karena laki-laki ini sudah tidak bernapas lagi. Arvi tidak bisa berkata-kata.
Kehebohan pun terjadi. Petugas stasiun sibuk mengamankan tempat kejadian sampai polisi datang. Sementara itu, orang-orang makin ramai karena bertepatan dengan dengan kedatang kereta.
Ada yang aneh. Di mana gadis itu? Apa masih di kamar mandi?
Arvi masih bingung karena kejadian yang tadi dilihatnya. Sampai ia lupa jika kakaknya mungkin sedang mencarinya. Segera ia mengedarkan pandangan demi mencari sosok sang kakak. Ketemu.
Arvi bergegas menuju kakaknya yang sedang melambaikan tangan padanya. Namun, seseorang menabraknya. Si gadis tadi baru muncul. Dan langsung berlari menuju laki-laki tadi yang sudah terbujur kaku.
Selanjutnya, Arvi menyaksikan gadis itu menangis histeris. Petugas berusaha menenangkannya, tapi tangisnya kian keras.
"Katanya ada yang meninggal?" tanya kakak Arvi.
"Iya. Kayaknya sakit parah," jawab Arvi.
"Kasian ceweknya pasti terpukul."
"Eh, Kak. Ini ada benih labu. Nanti tanam di kebun belakang rumah. Kalau panen bikinkan dodol ya. Bawain ke sini." Arvi mengeluarkan bungkusan benih labu pemberian laki-laki paruh baya tadi.
"Tiba-tiba nyuruh tanam labu segala. Kalau mau dodolnya tinggal beli saja. Tanam tuh lama. Tapi, yasudah sini. Nanti kakak coba tanam." Kakaknya menerima bungkusan benih labu.
Arvi kembali fokus pada keadaan sekitar ketika polisi dan ambulan datang. Mayat laki-laki itu langsung dievakusi. Si gadis sendiri masih menangis. Arvi menatapnya dari jauh. Sejak tadi ia merasa janggal. Tapi apa?
Pintu keluar stasiun masih ramai karena kejadian ini.
Arvi berjalan bersebalahan dengan kakaknya. Bertepatan dengan si gadis yang dipapah petugas kesehatan. Sekilas Arvi menatap wajah gadis itu. Ia menganga. Gadis itu tersenyum sambil menangis. Hanya seper sekian detik. Namun, Arvi yakin tidak salah lihat.
Dan satu lagi. Gadis itu sempat berkata tanpa suara padanya. Arvi tidak tahu apa artinya.
Bulu kuduk Arvi tiba-tiba merinding. Ia merasa pandangannya sedikit kabur. Otaknya berhasil mencerna kalimat gadis itu.
"Aku racuni dia. Aku santet juga. Kamu mau coba?"
Arvi sulit bernapas. Jika benar yang otaknya simpulkan, maka ini kasus pembunuhan. Ia harus melaporkannya pada polisi. Tapi, bukti apa yang harus dibawa? Apa obat tadi racun? Di mana itu? Pasti sudah dihilangkan.
Lalu, santet?
Jangan-jangan boneka tadi itu semacam boneka voodoo. Gadis itu melakukan ritual di kamar mandi. Tidak. Tidak mungkin semudah itu. Pikiran Arvi kacau.
"Gawat, Vi. Benih labu tadi kayaknya jatuh. Eh, itu di sana. Kakak ambil dulu." Kakaknya sudah hendak untuk mengambil benih labu yang tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Biarin saja, Kak," ucap Arvi. Bibirnya bergetar.
"Kamu kenapa, Vi? Sakit? Muka kamu pucat banget."
"Kak ... bagaimana caranya menangkal santet?"
"Hah?!"
Selesai
Benih Labu Membawa Cerita, pureagiest ©2023
All right reseved | 25 February 2023 | 21.55. WIB
Visualisasi Arvi versi ini
Sumber gambar dari pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top