Orderan Larut Malam (Bagian Awal)
Hampir Magrib.
Arvian Dwi Laksana alias Arvi masih berada di jalan. Sebenarnya ia ingin segera pulang, tapi target hari ini belum terpenuhi. Pundi-pundi rupiahnya belum terisi.
Bau keringat. Badan gerah. Serta perut yang sudah sejak tadi berbunyi.
Arvi masih sabar menunggu datangnya pesanan. Sebagai kurir makanan, penghasilannya tidak tetap. Kadang dalam sehari bisa mendapat ratusan ribu. Kadang hanya puluhan ribu. Kadang pula tak ada sama sekali.
Seperti hari ini. Baru lima puluh ribu yang dikantonginya. Itu pun belum dipotong untuk biaya bensin dan makan. Ia menghela. Sudah tiga hari penghasilannya hanya cukup untuk makan.
“Bagaimana bayar kontrakan?” gumam Arvi yang sejak tadi menatap layar ponselnya. “Datanglah orderan. Datanglah.” Ia menggenggam erat ponselnya sambil memejamkan mata.
Tak ada yang terjadi.
Arvi kembali menghela. Sepertinya, ia harus pulang dengan menelan rasa kecewa. Pasrah.
Tanpa tenaga, Arvi menyalakan mesin motornya bertepatan dengan suara notifikasi ponselnya. Ia buru-buru mengecek benda tipis yang berada di dalam kantong jaketnya. Wajahnya makin muram.
Bukan orderan yang didapat. Hanya notifikasi dari operator. “Ah, memang jangan terlalu banyak berharap. Lebih baik ke musala dulu.”
Akhirnya, Arvi mengarahkan motornya menuju musala terdekat. Dari magrib sampai isya, ia berada di sana. Beruntung rasa laparnya mendapat penawar. Ada yang membagikan makanan gratis beserta amplop yang berisi uang sebesar dua puluh ribu.
Arvi bersyukur. Uang lima puluh ribunya utuh. Biaya bensin dan makan sudah teratasi. Begitu juga dengan sarapannya besok. Orang yang membagikan makanan gratis tadi memberinya dua porsi makanan ditambah dua bungkus roti lapis selai stoberi yang langsung dimasukan ke kantong jaketnya.
Malam mulai merayap. Dan Arvi masih belum pulang. Ia bertekad pulang ketika mendekati tengah malam. Harapannya masih besar. Ia belum berputus asa. Siapa tahu sebentar lagi ada orang yang memerlukan jasanya.
Namun, kantuk mulai menyerang. Arvi menguap beberapa kali. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam tangan yang sudah menemaninya sejak SMA dulu.
“Sudah jam 10. Apa pulang saja?” ujarnya. Ia menepuk keningnya yang digigit nyamuk. “Tapi, mau ngapain di kontrakan juga. Enggak ada yang nungguin. Nasib jadi jomlo.”
Arvi sedang meratapi nasibnya yang masih melajang. Orang tuanya berada di kampung. Padahal kata teman-teman seprofesinya, wajah Arvi sudah setara dengan artis Korea. Hanya saja beda peruntungan.
Pangkalan ini sudah sepi. Warung kopi tempat Arvi dan teman-temannya ngopi pun sudah mau tutup. Tinggal ia sendiri. Masih sabar menunggu.
Menjelang jam sebelas malam, ponsel Arvi berbunyi. Setengah mengantuk, ia mengeceknya kembali. Seketika itu pula kantuk hilang. Arvi girang.
“Alhamdulillah. Orderan gede masuk.” Ia melakukan selebrasi. Kesabarannya membuahkan hasil.
Namun, ….
Beberapa kali Arvi membaca catatan yang tertulis di orderannya. Ia bingung sekaligus heran. Bukan permintaan yang biasa. Malah aneh.
“Benih labu? Hah? Enggak salah?”
Arvin pun bertanya kepada pemilik warung kopi yang sedang membereskan dagangannya. Bertanya tentang toko yang menjual benih labu. Akan tetapi, ia mendapat jawaban kalau mungkin saja toko tersebut sudah tutup sejak tadi.
Keberuntungan sedang memihak padanya. Karena pemilik warung ternyata punya satu bungkus benih labu kuning. Meskipun yang tertulis di catatan minta dua bungkus, tapi ini sudah cukup.
Orang yang memesan menjanjikan uang cukup besar, jika Arvi bisa memenuhi permintaannya. Terdengar tidak wajar, tapi pelanggan itu raja. Apa pun permintaannya sebisa mungkin harus dipenuhi.
Mungkin benih labu ini mau dicampurkan ke bakso atau ditabur di atas pizza, pikirnya.
Kemudian, Arvi pun bergegas membeli makanan yang tertulis di pesanan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkannya. Namun, sekali lagi Arvi dibuat bingung. Alamat pemesan.
“Di sebelah mana?” Arvi celingukan. “Ini sudah depan stasiun. Mana orangnya? Apa masih di dalam?” ujarnya.
Arvi memarkir motornya. Ia tidak bisa masuk ke dalam stasiun. Hanya bisa menunggu di luar. Ia berusaha menghubungi pemesan. Sudah tiga kali dan tidak mendapat jawaban.
Pikirannya mulai kalut. Stasiun tampak lengang. Arvi memutuskan untuk duduk di depan stasiun. Ia masih terus mecoba menghubungi orang yang memakai jasanya.
“Halo, Mbak Dian. Saya sudah berada di depan stasiun. Mbak ada di sebelah mana?” Arvi langsung menanyakan keberadaan orang yang bernama Dian ini.
“Tolong tunggu di parkiran. Saya segera ke sana.” Terdengar suara dari seberang sana. Arvi menebak jika lawan bicaranya seorang perempuan muda.
“Baik, Mbak.”
Baru saja Arvi mau memutuskan sambungan telepon, dari seberang sana terdengar lagi Dian berbicara, “Mas, di parkiran, kan? Tolong nyalakan mesinnya. Nanti saya jelaskan.”
Aneh.
Meskipun begitu, Arvi tetap menuruti permintaan Dian. Ia segera kembali ke parkiran dan menyalakan mesin motornya. Sejenak ia terdiam, duduk di atas jok motor. Masih terdengar jelas suara Dian seperti orang yang ketakutan. Berbicara setengah berbisik.
Arvi tidak ingin ambil pusing.
Sudah hampir sepuluh menit berlalu. Dian belum muncul. Arvi mulai gelisah. Malam makin larut. Arvi mengeratkan jaketnya. Kantuk menyerang lagi.
“Mas. Buruan pergi dari sini. Antarkan saya ke Selatan. Ini ongkosnya sekalian bayar titipan saya tadi.”
Arvi yang setengah mengantuk hampir terjungkal. Di depannya sudah berdiri seorang perempuan memakai dress selutut berwarna cokelat ditambah crop warna cokelat tua. Dilengkapi tas selempang hitam ukuran kecil yang tersampir di bahu kirinya. Arvi menebak jika usia perempuan ini tidak terpaut jauh darinya. Dua puluh tahunan.
“Mas …. Buruan!” Dia menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu.
“Iya, Mbak. Tapi ini kebanyakan.” Arvi masih enggan menerima uang yang diberikan Dian. Ia juga bingung melihat perempuan ini terus melihat ke sekeliling. Tampak gelisah.
“Gini saja, Mas. Antar saya ke kantor polisi terdekat. Buruan, Mas!”
Makin bingung. “Kantor polisi? Ada apa, Mbak?” tanya Arvi yang langsung mendapat marah lawan bicaranya.
“Banyak tanya sekali. Buruan. Saya dikejar orang gila.” Dia sudah duduk di belakang Arvi.
Arvi tercengang. Membatu. Namun, tepukan beberapa kali di bahunya membuat Arvi segera menjalankan motornya keluar dari parkiran.
Baru saja beberapa meter, Arvi terpaksa menarik remnya. Satu sosok berdiri menghalangi jalannya. Dian menjerit histeris di samping telinga Arvi.
Belum sempat, Arvi turun dari motor, sosok itu menyerangnya. Beruntung ia refleks berkelit, sehingga bogem mentah itu hanya mengenai angin.
Arvi hampir tidak bisa menyeimbangkan motornya. Satu pukulan kembali datang, kali ini tidak dihindarinya. Ia sedikit menunduk. Sengaja menahan kepalan tangan itu dengan kepalanya.
Laki-laki itu meringis. Mengibas-ngibaskan tangannya yang mengenai helm Arvi.
“Syukurin,” seru Arvi yang segera turun dari motornya. “Mundur, Mbak Dian. Biar saya yang hadapi.”
Arvi memasang kuda-kuda. Kemudian, ia teringat sesuatu. Secepat kilat disambarnya bungkusan berisi bakso, lalu dilemparkannya pada laki-laki ini. Tepat sasaran.
Pecah. Muncrat. Berhamburan.
Saat itu, Arvi baru bisa melihat jelas wajah dari sosok yang menyerangnya. Seorang laki-laki berperawakan sedikit tambun. Berewokan. Dan sekarang sedang mengerang. Terhuyung hampir jatuh. Sibuk mengusap kasar wajahnya yang penuh dengan kuah bakso.
Ada yang menarik perhatian Arvi. Tas punggung yang dipakai laki-laki itu sudah jatuh. Isinya menyembul. Arvi melotot. Sejenak ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pemandangan mengerikan menyapanya.
Bersambung
BENIH LABU MEMBAWA CERITA, pureagiest ©2023
All right reserved | 25 February 2023 | 06.42 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top