Orderan Larut Malam (Bagian Akhir)

Bangkai kucing berlumuran darah.

“Di-Dia bunuh kucing di dekat toilet,” ucap Dian tergagap. “Saya enggak sengaja ngeliat aksinya. Dia gila.”

“Mbak Dian tenang saja. Saya  akan coba melawannya. Tolong segera hubungi pihak berwajib” Arvi mencoba menenangkan. Meskipun ia tidak yakin akan perkataannya. Memang dulu ia sempat belajar bela diri, tapi itu hanya sebatas latihan dasar.

“Kurang ajar!”

Laki-laki itu menatap nyalang. Wajahnya basah karena kuah bakso. Arvi bisa melihatnya mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Benda berkilau terkena cahaya lampu.

Arvi kaget sekaligus heran. Garpu. Apa laki-laki ini mau memakan bakso yang sudah berhamburan? Rasanya tidak mungkin. Arvi memicingkan matanya. Kemudian ia menyadari jika kemungkinan besar itu senjata yang dipakai untuk membunuh kucing tadi.

Hati Arvi mulai waswas. Ilmu bela dirinya mungkin tidak akan sanggup dipakai untuk menghadapi laki-laki ini. Bisa saja yang dihadapinya seorang psikopat.

Dalam keadaan genting, otak Arvi berputar cepat. Ia menyambar kotak pizza, lalu melemparkannya pada laki-laki ini. Kemudian menekan klakson. Beruntung motornya masih menyala, karena tadi lupa mematikannya. Arvi sengaja membuat keributan.

Usahanya berhasil.

Orang-orang mulai berkumpul. Namun, tidak ada yang berani mendekat. Petugas keamanan pun berdatangan. Sayangnya, Arvi kecolongan.

Dalam satu kedipan mata, Arvi terjungkal. Lengan jaketnya sobek. Laki-laki ini menerjangnya lagi, hendak menikam perutnya. Arvi berusaha sekuat tenaga menahannya. Namun, tenaganya tidak seimbang.

“Aww … Pak … Om … Bang … Mas. Damai ayo damai.”

“Banyak omong.”

Arvi sudah kewalahan ketika tiba-tiba laki-laki ini mengerang lalu tersungkur. Seseorang memukulnya dengan helm. Sehingga pingsan seketika itu juga. Dan langsung diamankan.

“Enggak apa-apa, Mas?” tanya penjaga keamanan.

“Aduh, Pak. Hampir saja saya jadi peyek dadakan,” keluh Arvi sambil berusaha berdiri.

“Tangannya luka?” Dian memeriksa tangan Arvi.

“Cuma tergores sedikit.” jawab Arvi. “Eum, tapi saya minta maaf, Mbak. Orderannya jadi kebuang semua. Hanya ini yang selamat.” Ia memberikan bungkusan benih labu. Arvi menatap sekilas bakso dan pizza yang berserakan.

“Ngapain mikirin itu. Yang penting kita selamat.” ujar Dian. “Mending ke rumah sakit. Takutnya infeksi.”

Arvi menggeleng. “Enggak perlu, Mbak. Saya takut disuntik.”

Arvi mengecek lengan jaketnya yang sobek. Ia memanjatkan syukur karena hanya tangannya yang terluka. Bagaimana jika perutnya yang kena? Arvi bergidik. Untung hanya tergores saja. Dikasih obat merah juga pasti cepat sembuh.

“Malu sama badan, Mas. Masa takut jarum suntik?” Dian mencebikkan bibirnya.

“Ya, namanya juga manusia, Mbak. Ngomong-ngomong itu benih labu mau dicampur ke bakso?”

Belum sempat Arvi mendengar jawaban Dian, petugas keamanan mendekati mereka. “Mas, Mbak. Ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan,” ucap petugas keamanan.

Arvi dan Dian mengangguk serempak.

Selama di kantor polisi, Arvi jadi tahu jika laki-laki tadi mengalami gangguan jiwa berat. Kadang kambuh. Kadang sembuh. Rupanya dia lepas dari pengawasan keluarganya.

Untuk sementara laki-laki itu pun berada di kantor polisi sampai keluarganya menjemput. Arvi sempat berpikir, peristiwa apa yang menjadikan laki-laki itu menjadi demikian. Namun, ada pelajaran yang Arvi petik dari kejadian malam ini.

Arvi harus kembali belajar bela diri serta harus selalu berhati-hati di mana pun serta kapan pun.

“Mbak Dian,” Arvi memanggil Dian yang sudah dijemput keluarganya juga. “Ini punya, Mbak.” Ia menyodorkan bungkusan benih labu.

“Ya, ampun. Hampir lupa.” Dian menerima bungkusan itu dengan senyum cerah. “Ini bukan mau ditaburkan di kuah bakso, tapi aku lupa beli buat tugas besok. Sebenarnya sudah beli, cuma ketinggalan. Terima kasih ya, Mas.”

“Sama-sama, Mbak. Ini beneran saya tidak perlu mengganti orderan tadi?” tanya Arvi.

“Ngapain diganti. Justru karena itu kita berdua bisa selamat. Meskipun perut saya sudah melilit,” jawab Dian sambil tertawa kecil. “Oh, ya. Nanti saya order lagi ini. Kayaknya butuh tiga bungkus lagi.”

“Siap, Mbak. Tinggal kontak saya saja.”

Dian mengacungkan ibu jarinya. “Mas yakin enggak mau ke rumah sakit? Saya benar-benar berhutang budi. Itu lukanya harus cepat diobati.”

Arvi menggeleng. “Enggak perlu, Mbak. Nanti saya obati.”

“Ya sudah. Kalau begitu nanti saya kontak lagi buat tanyain kabar lukanya. Pokoknya harus diobati. Atau besok Mas ke klinik buat periksa. Bisa saja itu ada bakterinya. Bisa bahaya.”

Arvi mengulum senyum. Perhatian Dian untuknya terasa spesial. Padahal mungkin hanya khawatir sekaligus rasa bersalah karena sudah membuatnya dalam bahaya.

Dian pun pamitan.

Setelah itu, Arvi hanya berdiri sembari menatap sosok Dian yang naik ke dalam mobil. Ia mematung, padahal mobil Dian sudah tidak terlihat lagi. Kejadian malam ini sungguh luar biasa.

Arvi mengeluarkan uang dari saku jaketnya. Jumlahnya lebih dari cukup untuk menambah uang kontrakan yang kurang. Sisanya mungkin bisa untuk membeli jaket baru.

Setengah dua pagi, barulah Arvi bisa menginjakkan kaki di kontrakannya. Jangan ditanya seperti apa badannya. Serasa ringsek. Tapi, ada yang membuat Arvi tak henti mengulum senyum.

Satu pesan masuk di ponselnya. Wajah lesu Arvi pun sirna. Ia lupa rasa lelahnya. Dan terus fokus berbalas pesan. Ia bahkan tertawa kecil. Sendirian.

Arvi kesambet. Iya, kesambet cinta mbak customer benih labu.

Selesai

BENIH LABU MEMBAWA CERITA, pureagiest ©2023
All right reserved | 25 February 2023 | 06.53 WIB

Bonus visualisasi Arvi

Sumber gambar dari pinterest

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top