Kerumunan Depan Stasiun
*Dengan visualisasi berbeda, cerita pun beda.
Tengah hari.
Arvi melepas helmnya. Serta membuka resleting jaketnya. Hari ini sungguh panas. Ia merasa gerah. Padahal sudah berada di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya, itu tidak cukup.
"Vi. Lo butuh ini, kan?"
Satu bungkusan keresek hitam berukuran kecil melayang yang langsung Arvi tangkap. Ia segera membukanya. Lalu berkata, "Banyak banget, Bang?"
"Kebetulan mertua gue punya banyak. Ya, buat ditanam lagi. Gue ambil saja sedikit. Lagian buat apa tuh benih labu?" tanya Bayu.
Arvi memasukan keresek bersisi benih labu itu ke dalam tas pinggangnya. "Buat nenek gue, Bang. Beliau suka banget dodol labu kuning. Katanya mau mencoba nanam sendiri. Cuma masalahnya, gue juga disuruh tanam."
Bayu tertawa. "Tanam saja di pot. Di kosan lo kan banyak tuh pot bunga. Ganti saja sama labu. Lumayan kalau panen bisa buat dimakan atau dijual."
"Yang ada gue diusir dari kosan. Itu tanaman bunga kesayangan ibu kos. Setiap yang ngekos di sana wajib ikut merawat," tutur Arvi.
"Gue heran. Mau-maunya lo kerja gini. Padahal kan lo orang kaya. Pasti enggak bakalan kekurangan duit."
"Yang kaya itu orang tua gue, Bang. Ya, apa salahnya gue mencoba mengahasilkan duit dari keringat sendiri. Gue juga enggak punya kegiatan selama liburan ini."
Arvi menatap Bayu yang manggut-manggut mendengar penjelasannya. Kenyataannya memang seperti itu. Ia tidak pernah kekurangan uang. Bahkan lebih dari cukup. Hanya saja Arvi tidak ingin terus bergantung pada orang tua. Ia ingin berusaha sendiri. Menghasilkan uang dari jerih payahnya.
Ternyata memang tidaklah mudah. Arvi jadi tahu bagaimana kerasnya kehidupan ini. Tiga minggu menjadi kurir makanan telah mengajarkan banyak hal. Ia bertemu dengan macam-macam pelanggan. Dari yang ramah sampai yang hampir membuatnya adu jotos.
"Gue denger kemarin lo kerepotan karena orderan fiktif. Habis berapa?"
Arvi menari napas dalam-dalam. Ia mengigat lagi kejadian kemarin. Ada orang iseng yang mengerjainya. "Enggak rugi kok, Bang."
Bayu tercengang. "Hah? Ketemu alamatnya?"
Arvi menggeleng. "Enggak. Itu orderan dibeli teman sekampus gue, Bang. Kebetulan mereka lagi ngumpul bareng," ujarnya.
"Syukur deh. Gue salut sama lo, Vi. Masih muda sudah jadi pekerja keras. Apa lo enggak malu?"
"Kenapa malu? Gue seneng kok, Bang. Banyak pelajaran hidup yang bisa gue ambil."
"Halah gaya lo sudah seperti orang tua saja."
Arvi pun tergelak. Mengobrol dengan Bayu membuatnya merasa menemukan keluarga yang bukan sedarah. Hidup seperti ini lebih menyenangkan baginya. Rehat sejenak di bawah pohon, menikmati embusan angin meski matahari bersinar terik.
"Vi, gue duluan. Ada orderan nih. Lo mau di sini atau ke pangkalan? Tapi jam segini anak-anak pasti pada pulang."
"Di sini saja, Bang."
Arvi pun tinggal sendiri. Ia sedang malas ke pangkalan. Penghasilannya hari ini sudah cukup banyak. Meskipun masih jauh sedikit bila dibandingkan dengan uang sakunya. Namun, Arvi lebih senang membelanjakannya. Uang sakunya ia tabung.
Satu orderan masuk. Arvi melesat.
Hari biasanya Arvi harus berubah panik, ketika mendapat telepon dari neneknya. Ia bingung, tidak mungkin pulang dulu untuk sekadar mengganti pakaian. Akan tetapi kalau menemuinya dengan keadaannya seperti ini, bisa dipastikan pertanyaan yang panjang kali lebar akan menyambutnya.
Salah Arvi yang tidak memberitahu profesi sampingannya. Ia hanya ingin mandiri tanpa sepengetahuan orang taunya, apalagi neneknya.
"Gawat. Orderan kudu dianterin dulu. Tapi, enggak ada waktu. Ibu suri sudah mau sampai di stasiun. Katanya mau lusa? Eh, malah hari ini." Arvi menggerutu sendirian.
Arvi galau. Antara mengantar orderan atau menjemput neneknya. Tidak bisa dilakukan bersamaan karena berlawanan arah. Akhirnya, Arvi menuju ke stasiun kereta. Ia memilih untuk menjemput neneknya. Demi menjadi cucu yang berbakti.
Orderan nomor sekian. Untungnya sistem yang dipilih pembeli pembayaran di tempat. Sepetinya tidak akan apa-apa kalau dibatalkan. Walaupun Arvi rugi karena sudah membelinya. Akan tetapi makanan ini tidak akan mubasir. Bisa ia makan bersama neneknya nanti.
Arvi lupa sesuatu. Jaketnya.
Sampai di stasiun kereta, Arvi langsung menuju loket. Ia harus punya kartu akses masuk meskipun hanya sebagai pengunjung yang menunggu penumpang. Setelah itu ia menunggu di peron. Sepuluh menit kemudian, Arvi bisa merasa pelukan hangat neneknya.
"Loh, Mami ikut juga?" Arvi kaget karena ternyata neneknya datang bersama ibunya.
"Mami mau ketemu kamu juga. Lagian liburan semester bukannya pulang malah diem di kosan. Mami kan mau ngajak kamu liburan ke mana gitu," ujar ibunya Arvi.
"Males, Mam. Mau diem saja."
"Bentar. Kenapa kamu pakai ini?"
Arvi gelagapan. Ia benar-benar lupa membuka jaketnya. Sekarang ibu dan neneknya sedang menunggu jawabannya. Arvi bingung. Apa boleh bohong?
"Oh, iya i-ni ta-di minjem punya teman. Lupa belum dibalikin. Hehehe."
Ibunya memicingkan mata. "Kamu kok kurusan? Kurang makan? Padahal Mami enggak pernah telat kirim uang saku. Apa kamu diet? Enggak mungkin juga. Sudah kurus gini."
"Mau kurus atau gendut. Tetap saja Muhammad Kim Arvi cucu kesayangan nenek," ucap neneknya sambil memeluk Arvi kembali.
Arvi nyengir. Ia senang meskipun masih merasa bersalah karena sudah membohongi kedua perempuan yang disayanginya. Kalau tidak begitu, sudah pasti akan disuruh pulang atau mungkin disuruh pindah kuliah.
Arvi tidak mau.
Stasiun penuh hiruk pikuk. Arvi harus berdesak-desakan untuk ke luar. Panas, pengap. Ia juga berusaha melindungi ibu dan neneknya. Beruntung barang bawaan tidak terlalu banyak. Hanya satu tas ukuran sedang.
Ibu dan neneknya Arvi hanya akan berkunjung selama satu hari. Mereka juga mengatakan kalau akan menginap di hotel. Dan pulang dijemput ayahnya Arvi.
Akhirnya, Arvi bisa menghirup udara setelah tadi seperti ikan yang kekurangan air. Ia juga memastikan keadaan ibu dan neneknya. Syukurlah semuanya baik-baik saja.
"Sekarang mau ke mana dulu?"
"Kosan kamu!"
Arvi tersenyum kikuk. Ia kembali bingung. "Tapi, aku enggak bawa mobil. Bawa motor. Jadi mami sama nenek naik angkutan umum. Atau aku pesankan taksi online saja."
"Kamu ini jemput enggak bawa mobil. Mana bisa bonceng tiga. Nanti kena tilang. Lagian kamu enggak benar-benar jadi kurir makanan kan? Itu makanan siapa?" Ibunya Arvi menatap motor yang Arvi tunjuk. Ia pasti melihat bungkusan keresek yang tergantung di sana.
"I-tu buat nenek. Iya sengaja buat nenek. Kue cubit di sini enak," jawab Arvi.
"Buat Mami mana?"
"Ada. Itu aku beli croissant. Mami mau?"
Setelah menambahkan lagi kebohongan baru, Arvi pun memesan taksi onlen untuk ibu dan neneknya. Ia menghela. Rasa bersalahnya kian besar. Selepas ini harus bicara jujur. Arvi tidak mau dihimpit dosa karena membohongi orang tua.
Semoga Mami dan Nenek mau mengerti. Masa iya tega kalau sudah jujur mah, Arvi membatin.
Namun, ada kejadian tak terduga. Arvi terjebak keributan di depan stasiun. Rasa penasaran pun membuatnya menembus kerumunan. Demi melihat apa yang terjadi.
Sial. Tubuh Arvi terdorong ke depan dan menabrak seseorang. Bungkusan benih labu yang ada di dalam sakunya jatuh. Arvi berusaha mengambilnya. Namun sulit, tubuhnya terhimpit.
Arvi belum menyerah. Ia menjulurkan kaki kanannya. Bermaksud agar bungkusan itu bisa diraihnya. Apa daya malah tertendang makin jauh.
"Ini ada apa, Bu?" tanya Arvi pada seorang ibu yang tepat berada di depannya.
"Mundur, Dek. Di depan katanya ada yang bunuh orang gila. Dan sekarang lagi ngancam anak pemulung. Kayaknya orang itu lagi mabuk miras. Ngomongnya ngelantur ke mana-mana."
Arvi syok. Bukankah kejadian seperti ini berbahaya? Kenapa malah jadi tontonan?
"Waduh, bahaya ini." Rasa penasaran Arvi masih ada. Akan tetapi, sangat berbahaya berada di tempat seperti ini. Ia memilih mundur.
Akhirnya, Arvi bisa keluar dari kerumunan. Ia menarik napas dalam-dalam. "Mi. Mami .... Kita tunggu di .... Loh, Mami ngapain di sana?"
Arvi baru sadar kalau ibunya yang sekarang terjebak di kerumunan. Jangan lupakan pula neneknya mengalami hal yang sama. Arvi menepuk jidatnya. Ia harus menembus lagi kerumunan demi membawa ibu serta neneknya.
"Mi, ayo pulang." Arvi berhasil menepuk pundak ibunya. "Bahaya, Mi."
"Susah keluar. Tasnya tersangkut. Kaki Mami juga kejepit."
Arvi panik. Ini sudah seperti menonton festival tujuh belasan. Padahal sirine mobil polisi terus berbunyi. Aparat berwajib ini pun sudah meminta orang-orang untuk menjauh. Namun, makin banyak yang menonton.
Sekali lagi, Arvi harus mengerahkan tenaganya. Ia merasa bersalah karena membiarkan ibunya membawa tas yang tadi dibawanya. Meskipun tadinya Arvi hanya menitipkan sebentar pada ibunya saat ingin melihat apa yang terjadi. Dan siapa sangka ibunya melakukan hal yang sama.
Terinjak, kena sikut. Terdorong. Sampai kena marah juga. Perjuangan Arvi berhasil.
"Mami dan Nenek enggak apa-apa?" tanya Arvi pada dua orang perempuan yang berada di depannya. Napasnya sendiri masih tersengal-sengal.
"Sandal nenek putus talinya," jawab neneknya menunjukkan sebelah sandalnya yang talinya putus.
"Tunggu, Vi. Gelang Mami hilang." Wajah ibunya pucat ketika menyadari jika gelangnya sudah raib.
"Hah? Mami kecopetan ini mah. Coba cek apa lagi yang hilang?" Arvi ikut panik. "Ponsel ada? Dompet itu dompet coba cek."
Ibu dan neneknya sibuk mengecek isi tas kecil yang dibawa masing-masing. Arvi baru bisa mengembuskan napas lega ketika mereka berdua mengatakan kalau semuanya ada.
"Nek, mau minta maaf itu benih labunya jatuh di sana," Arvi menunjuk ke arah kerumunan.
"Enggak apa-apa. Nanti kamu cari lagi saja," ujar neneknya yang membuat Arvi meringis.
"Ayo, kita pulang. Taksi onlen nunggu sebelah sana."
Bibir Arvi masih basah, ketika orang-orang berteriak. Disusul suara tembakan. Arvi membatu. Matanya melihat jelas seorang laki-laki jatuh beberapa meter di dekatnya. Kaki laki-laki itu bersimbah darah. Kemudian beberapa polisi langsung meringkusnya. Laki-laki ini berniat kabur.
Ternyata orang ini adalah penjahat tadi yang membunuh orang gila. Pikirannya terganggu karena efek minuman keras. Ia berani berbuat nekat di hadapan massa.
"Mi. kayaknya aku demam," ujar Arvi. Kakinya gemetaran.
"Mendadak? Tadi kan kamu enggak apa-apa." Ibunya meraba kening Arvi. "Enggak panas."
"Perut aku mual." Arvi membungkuk seperti hendak muntah. Perutnya terasa dipilin.
"Ini pasti kamu lihat darah tadi. Duh, masih enggak berubah. Kita ke klinik atau rumah sakit terdekat. Motor kamu tinggal saja. Nanti nyari orang yang ambil." Ibunya memapah Arvi.
Baru beberapa langkah, satu teriakan terdengar.
"Arvi .... Lihat ini. Nenek nemu keresek benih labu punya kamu. Cuma tinggal dikit. Bolong nih. Enggak apa-apa. Mau langsung nenek tanam di kosan kamu." Neneknya mengacungkan bungkusan benih labu yang sudah lecek karena terinjak-injak.
Arvi hanya menghela. Sepertinya ia harus bersiap mengahadapi amukan ibu kos. Atau pindah saja sekalian.
Selesai
Benih Labu Membawa Cerita, pureagiest ©2023
All right reseved || 25 February 2023 || 21.55 WIB
Visualisasi Arvi versi ini
Sumber gambar dari pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top