6. Kedatangan Tamu
Kedatangan Sean mencuri perhatian semua orang yang ada di Balai Desa. Tampang Sean yang rupawan juga kulit putihnya yang bersih tentu membuat warga desa tertarik padanya apalagi kebanyakan warga di desa itu memiliki kulit sawo matang.
"Mohon maaf semuanya, saya telat," ucap Sean dengan rasa bersalah yang sangat besar. Namun bukannya marah, warga malah memaklumi tindakan Sean.
"Nggak pa-pa kok, Mas."
Layaknya tengah melakukan acara besar, Sean duduk di depan bersama Rio dan Bara. Mereka mulai membahas tentang apa yang akan Sean dan relawan lain lakukan di desa tersebut. Walau sebenarnya, teman-teman relawan lain sudah memulai pekerjaannya tanpa menunggu instruksi dari Sean.
"Jadi, kalau ada apa-apa. Bapak atau Ibu-Ibu sekalian bisa langsung datang ke tempat kami ya. Jika kami bisa membantu, akan kami bantu semaksimal mungkin," ucap Sean menutup pertemuan pertama mereka.
Sedikit kelucuan terjadi saat warga Desa Dadak membubarkan diri, mereka satu persatu bersalaman dengan Sean bahkan tak jarang mereka mengusap lengan atas pria itu entah karena apa.
"Ganteng banget sih kamu, Nak. Mau sama anak ibu tidak?" ucap salah satu perempuan paruh baya yang belum jua melepaskan genggaman tangannya.
Sean tersenyum kikuk menanggapi tawaran perempuan paruh baya itu. Baru juga hari pertama, Sean sudah mendapat tawaran untuk menjadi mantu salah satu warga Desa Dadak."Hehe, maaf, Bu. Saya sudah punya pacar."
"Yah, saya kira belum. Tapi kan belum nikah, bisa lah ketemu sama anak saya dulu."
Tidak tau harus menjawab apa, Sean hanya kembali tersenyum menanggapi tawaran perempuan tersebut.
Sebagai penolong, Rio tiba-tiba datang dan membawa Sean untuk pergi bersamanya. "Maaf, Bu. Mas Seannya saya bawa dulu ya, saya ada urusan sama dia."
"Oh iya, Pak. Silakan."
Tangan Rio merangkul tubuh Sean yang jauh lebih tinggi darinya. Beberapa kali, pria itu menepuk pundak Sean sembari tersenyum jail. "Sabar ya, Mas. Ibu-ibu di sini memang begitu, kalau ada pria dari luar datang. Mereka pasti menawarkan anak mereka karena disini kebanyakan perempuan."
"Iya, Mas. Nggak pa-pa kok. Cuman saya bingung aja jawabnya gimana. Takut mereka kesinggung sama ucapan saya."
"Nggak pa-pa, tolak aja, Mas. Jadi mereka nggak usaha mulu."
"Baik, Mas. Nanti saya coba."
Setelah seharian berkeliling desa di temani Rio, Sean akhirnya kembali ke rumah sekitar pukul empat sore. Sejak bangun, pria itu belum memakan apapun dan membuatnya merasa lapar sekarang.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Sean beristirahat sejenak di teras memperhatikan langit. Tangannya menarik-narik baju agar angin masuk ke dalam dan mengeringkan keringat yang terus mengalir di tubuhnya.
"Loh, baru pulang, Mas?" tanya seseorang dari belakang tubuh Sean. Orang itu ialah Deli yang dengan santainya duduk di sisi Sean setelah bertanya.
"Iya, baru aja. Yang lain belum pulang ya?" tanya balik Sean yang membuat Deli menoleh ke arahnya.
"Tadi udah pulang, tapi pergi lagi katanya mau ke Balai desa."
"Ngapain?"
"Kurang tau juga," balas Deli singkat. Setelah kembali menatap jauh ke depan, perempuan itu kembali bersuara. "Mas udah makan belum? Saya tadi masak loh, ya walaupun nggak enak-enak banget. Lumayanlah buat isi perut kosong."
Sean menoleh menatap wajah Deli yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. "Kamu sendiri sudah makan?"
Pertanyaan Sean membuat Deli tertawa kecil, dia merasa aneh dengan nada suara Sean yang begitu lembut. Hal itu tentu membuat, Sean bingung. "Kenapa kamu ketawa?"
"Nggak pa-pa kok, Mas. Saya sudah makan."
"Syukurlah kalau gitu."
"Mas belum makan, kan? Yuk, saya temenin." Deli beranjak dari tempat duduknya dan langsung menyodorkan tangan untuk membantu Sean berdiri.
Dengan ragu, Sean menerima sodoran tangan tersebut dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Di dapur, Deli benar-benar menemani Sean makan sembari berbicara tentang banyak hal selagi pria itu menyantap makanan yang dia masak.
"Gimana, Mas? Enak nggak?" tanya Deli penuh penasaran.
Sean terdiam sejenak, sengaja membuat Deli mengira-ngira apa yang pria itu akan katakan dan setelah melihat wajah Deli yang sedikit kesal, Sean pun membuka suaranya. "Enak kok. Jangan ngambek gitu dong."
"Lagian, mau jawab aja lama banget," balas Deli dengan wajah kesal sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
Sebagai tanggapan, Sean tertawa kecil dan melanjutkan makannya.
Seperti malam sebelumnya, Sean kembali melakukan rapat bersama dengan para relawan lain. Rencananya mereka akan melakukan rapat setiap malam selama melakukan kegiatan relawan di Desa Dadak
Bukan tanpa alasan, Sean melakukan hal itu. Dia ingin tau apa yang teman-teman relawan lalui setiap harinya karena dia tidak bisa memantau mereka semua secara bersamaan.
"Jadi, ada hambatan apa nih di hari pertama kalian bekerja?" tanya Sean sembari menatap wajah satu persatu relawan yang ada.
"Nggak ada kok, Mas. Kalau untuk kami yang mengurus kesehatan warga," jawab Ara dengan lantang karena dia menjadi salah satu yang mengurus masalah kesehatan dan setiap relawan memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Mereka semua adalah mahasiswa yang berasal berbagai kota dan jurusan yang berbeda. Seperti Ara, dia berasal dari jurusan Dokter Umum.
Sean menangguk paham dengan perasaan lega. "Kalau yang lain?"
Sayangnya, tidak ada yang membuka suara bahkan mereka yang Sean harap mengeluarkan pendapatnya terlihat asyik berbincang sendiri. "Kalau memang tidak ada masalah apa-apa. Saya akhiri rapat malam ini dan saya harap, untuk rapat selanjutnya kalian lebih fokus ya. Jangan malah asyik sendiri."
Yang mendapat teguran langsung terdiam sembari saling menatap, mereka pikir Sean tidak melihat apa yang mereka lakukan.
Setelah membubarkan diri, Sean pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Saat itu, Sean bertemu dengan Deli yang terlihat gelisah. "Kamu kenapa?" tanya Sean dengan dahi mengerut.
"Mas, bisa temenin saya ke toilet nggak? Saya pengen pipis," ucap Deli pelan. Di dahi perempuan itu ada bulir keringat yang entah kenapa ada di sana.
"Ya sudah, saya temenin."
Tanpa ragu, Deli memeluk tangan Sean yang mau menemaninya pergi ke toilet. Jarak toilet dari rumah cukup jauh dan membuatnya ketakutan jika harus pergi sendiri, apalagi sekarang sudah malam dan sangat gelap.
Dengan bantuan cahaya dari ponsel, mereka akhirnya sampai di depan toilet tersebut. Deli masuk dengan dan meninggalkan Sean sendirian. "Mas, jangan tinggalin saya ya. Saya takut," cicit Deli dari dalam bilik toilet.
"Iya, saya tungguin di sini."
Selang beberapa menit berlalu, pintu toilet terbuka. Namun bukannya langsung keluar, Deli hanya membuka sebagian pintu agar wajahnya terlihat. Hal itu tentu membuat Sean bingung dengan apa yang Deli lakukan. "Kenapa nggak keluar?"
Sembari menggigit bibir bawahnya, Deli menjawab, "saya ternyata haid, Mas. Bisa tolong ambilin pembalut nggak di rumah?"
Sean memijat dahinya pelan s telah mendengar permintaan Deli. Dia benar-benar bingung dengan apa yang perempuan itu pinta padanya.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Deli kembali memohon pada Sean."Tolong ya, Mas."
"Ya udah, tunggu di sini. Kamu nggak pa-pa kan, sendirian di sini?"
"Sebenernya enggak sih, tapi ... ya udah lah. Pokoknya Mas jangan lama-lama ya."
"Iya."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top