10. Kegiatan Lain

"Ngapain di luar sendirian?" tanya seseorang dari balik tubuh Deli. Langkahnya semakin mendekat dan perlahan duduk di sisi perempuan itu.

Deli tau siapa dia dari suara khasnya dan perempuan itu menjadi enggan untuk menjawab ataupun menoleh walau hanya sebentar.

"Ditanya kok nggak jawab?" ucap orang itu lagi yang sebenarnya adalah Sean. Pria itu kemudian mencuri pandang menatap Deli yang enggan menoleh ke arahnya.

"Del," panggil Sean dan Deli spontan menoleh ke arahnya. "Kamu nggak pa-pa kan?"

Deli menggeleng pelan dengan senyum kaku seakan menegaskan perasannya saat ini. Sean tentu tau apa artinya dan berusaha membuat perempuan di sisinya terbuka.

"Kalau ada masalah, cerita aja. Aku mau kok dengerinya. Kalaupun aku bisa bantu, nanti aku bantu."

"Saya nggak pa-pa kok, Mas," jawab Deli singkat dan setelahnya perempuan itu beranjak dari tempat duduknya. Namun saat akan pergi, tangannya ditahan oleh Sean.

"Saya?" ucap Sean dengan dahi mengerut. "Kan sudah aku bilang, nggak usah bicara formal lagi."

Deli tersenyum kecut menanggapi ucapan Sean. Menurutnya, pria itu benar-benar ingin mempermainkannya dengan menjebak perasaannya. "Lebih baik gini aja, Mas. Saya lebih suka bicara formal sama Mas. Biar temen-temen lain aja yang bicara santai ke Mas."

Singkat, namun kena tepat di hati Sean. Dia menyadari apa yang sekarang terjadi. Deli mendengar semua pembicaraannya dengan relawan lain, tetapi sebenarnya mereka yang ingin bicara santai dengannya.

"Del," panggil Sean setelah Deli pergi meninggalkannya. Dia yakin, Deli salah paham dengannya sekarang.

Keesokan harinya, Deli terlihat begitu dingin. Sikapnya itu membuat bukan hanya Sean yang bertanya-tanya, tetapi relawan lain juga melakukan hal yang sama.

"Eh, eh. Itu Deli kenapa? Kok diem Mulu dari tadi," bisik Dwi pada Oci. Mereka menatap Deli yang duduk sedikit jauh dari mereka. Duduk sendirian tanpa seorang pun yang mengganggunya.

"Iya juga ya, walaupun aku kurang suka sama kebawelannya, tapi aneh banget ngeliat dia diem gitu. Atau jangan-jangan dia sakit lagi?"

Tebakan Oci membuat Sean ikut menatap Deli dengan dahi mengerut. Apa Deli beneran sakit ya?

Perasan khawatir Sean harus pria itu tahan setelah mendengar sambutan dari Kepala Desa Dadak yang membuka rapat pada siang hari ini. Sebenarnya mereka tidak memiliki jadwal apapun hari ini, tetapi tiba-tiba kepala desa ingin bertemu dengan mereka sehingga mereka sekarang berada di balai desa tersebut.

"Saya memohon maaf kepada adik-adik sekalian karena mengganggu istirahat kalian, saya melakukan rapat hari ini karena ingin meminta bantuan adik-adik sekalian untuk melancarkan kegiatan desa pada Minggu depan," jelas kepala desa dan Sean langsung menoleh menatap Ryo yang duduk tak jauh darinya.

Kenapa tiba-tiba ada acara gini ya? Padahal kita masih banyak tugas, ucap Sean di dalam hati. Walau masih ada dua minggu, tetapi ada beberapa progres kerja yang mereka kejar dan harus selesai sebelum kegiatan relawan habis.

"Gimana Nak Sean, apa bisa bantu kami?" tanya kepala desa yang membuat lamunan Sean memudar. Pria itu menjawab dengan sedikit terbata.

"Hmm, gimana ya, Pak? Saya nggak bisa mutusin sendiri, karena acara ini di luar dari kegiatan relawan kami sehingga alangkah baiknya, bapak bertanya kepada teman-teman relawan lain."

Kepala desa dadak mengangguk paham dan menatap sekitarnya. "Bagaimana adik-adik? Kalau memang kalian bisa, kita mulai rencananya esok hari setelah kegiatan kalian selesai."

Para relawan saling bertatapan dan berbisik kecil setelah mendengar ucapan kepala desa. Sebagian dari mereka merasa kegiatan itu menyita waktu istirahat mereka, tetapi sebagian lagi menerimanya termasuk Deli yang tiba-tiba mengangkat tangannya.

"Iya, Nak Deli. Ada yang ingin disampaikan?"

Deli bangun dari kursinya dan mulai berbicara. "Kalau boleh tau, kegiatannya apa ya, Pak?"

"Oh iya, saya sampai lupa untuk menjelaskan. Jadi, acara tersebut adalah acara tahunan desa kami. Ya seperti ulang tahun. Akan ada perayaan besar yang nantinya akan dihibur dengan beberapa tarian juga musik tradisional. Rencananya untuk tahun ini kami akan membuat pesta besar seharian penuh."

Semakin kepala Desa jelaskan, semakin para relawan enggan untuk membantu. Mereka tau bahwa apa yang harus dilakukan tentu lebih ekstra dibanding dengan kegiatan relawan. Apalagi mereka tidak akan dibayar, berbeda dengan kegiatan relawan mereka.

"Saya tidak mewajibkan kalian untuk ikut, tetapi untuk kalian yang ingin ikut bisa datang besok ke balai desa ini sekitar pukul empat sore."

"Baik, Pak."

Setelah selesai, para relawan dan Sean pulang ke rumah. Selama di perjalanan, mereka asyik memperbincangkan kegiatan desa dan beberapa dari mereka menegaskan ketidakikutsertaan mereka.

"Aku nggak mau ikut aja, capek!" ucap Heni yang langsung di-iya-kan oleh Oci.

"Iya, bener. Lagian kegiatan itu bener-bener gratis kan. Kita nggak dibayar buat bantuin mereka. Males banget," jawab Oci dengan santai.

Berbeda dengan kedua perempuan tersebut, Deli dan Ara yang ingin ikut terlihat bersemangat. "Jadi kepo sama acara nanti, pasti bakal seru banget," ucap Deli dengan senyum tipis di wajahnya.

"Iya, aku yakin bakal seru sih. Lumayan buat kenang-kenangan."

Semua percakapan Deli dan Ara, Sean dengar dan pria itu mendesah pelan. Mereka ikutan? Mau nggak mau aku ikutan juga, tapi ... Pekerjaanku lagi banyak-banyaknya.

Sean bimbang dengan keputusannya untuk ikut atau tidak. Dia juga tidak mau berhenti di tengah jalan ketika sudah memastikan untuk ikut membantu, tetapi dia takut menyesal jika tidak ikut membantu.

Karena pikirannya yang begitu penuh, Sean tidak menyadari jika seseorang tengah duduk di hadapannya. "Mas, Mas Sean," panggil orang itu dan Sean langsung tersadar.

"Iya, ada apa Hen?" tanya Sean pada Heni yang tersenyum melihat wajah kebingungan Sean.

"Nggak pa-pa kok, Mas. Saya cuman mau ngajak Mas balik soalnya sudah jam dua siang."

Sean menatap jam tangannya dan benar saja, sekarang sudah pukul dua siang. Pria itu kemudian merapikan beberapa barang bawaannya dan bangkit dari duduknya.

Hari ini, dia hanya menemani Heni berjaga di balai desa dan membantu beberapa warga untuk mengurus berkas mereka.

Selama perjalanan pulang, Heni tak henti-hentinya mengajak Sean berbicara. Namun, pria itu menghiraukannya karena pikirannya sudah terlampau penuh.

"Mas, Mas dengerin apa yang aku bicarain kan?" tanya Heni dan Sean menoleh ke arahnya.

"Sorry, pikiran saya lagi penuh. Bisa tolong jangan ganggu saya?"

"Oke, Mas. Maaf ya sebelumnya."

"Iya, nggak pa-pa. Harusnya saya yang minta maaf."

Keduanya kemudian berpisah di depan rumah. Heni langsung masuk dan Sean duduk di teras.

Tanpa mengganti baju, pria itu mulai mengerjakan beberapa tugasnya yang sebenarnya dapat dia kerjakan nanti. Namun, entah kenapa Sean begitu bersemangat menyelesaikannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top