Benih Cinta di Tepian Musi
Mentari senja memang indah untuk dipandang. Banyak orang tergila-gila mencari suasana di suatu tempat di saat mentari senja bersinar cerah. Orang rela ke puncak gunung, pantai, atau tepi sungai demi suasana itu. Aku tidak mengerti dengan persis apa alasannya. Namun, aku sepakat bahwa mentari senja memang indah dan cocok untuk berbagai suasana hati baik itu gembira, rindu, sedih, atau bahkan marah sekalipun.
Sayangnya, aku bukan datang ke sini untuk menikmati suasana itu. Aku seolah terdampar di dunia yang aku sendiri tak mengenalnya. Indah, tetapi asing.
Di sini, di jembatan yang kokoh ini, aku berdiri sejak tadi. Mungkin sudah hampir satu jam aku menunggu tanpa kepastian. Seperti seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya datang. Ah, andai saja ceritanya begitu. Namun, kekasih pun aku tak punya. Tidak pernah punya malah.
"Maaf, Adek sedang menunggu seseorang?" Suara itu mengagetkanku.
Seorang lelaki sudah berdiri di dekatku. Mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku. Nada bicaranya sopan dan tampangnya menunjukkan bahwa dia lelaki baik-baik. Ditambah lagi, ganteng.
"Iya, Kak," jawabku sebelum pesonanya semakin membuatku terbius. "Kakak yang namanya Kemal?"
"Bukan."
Jawabannya singkat, tetapi tatapan matanya itu seolah menembus ke dalam hatiku. Waduh! Aku mulai ngaco.
"Oh, maaf, Kak, kalo gitu."
"Hati-hati saja, Dek."
"Makasih, Kak."
Dia cuma mengangguk dan menatapku sejenak sebelum berlalu dari hadapanku. Mata luguku ini entah kenapa susah diajak kompromi supaya tidak terlihat norak. Seolah lengket pada sosok ganteng itu, mataku mengantar sampai sosoknya menghilang di kejauhan.
Bodoh! Kenapa aku tidak sekalian kenalan? Aku mengomeli diriku sendiri. Menyesali momen bagus yang sudah kulewatkan.
Sebentar ... aku jauh-jauh ke sini bukan untuk mencari lelaki yang bakal kujadikan kekasih. Memang, aku mencari seorang lelaki, tetapi bukan itu tujuannya. Tiba-tiba otakku kembali ke jalan yang lurus. Lantas, apa maksudnya lelaki tadi menghampiriku dan bertanya begitu, lalu pergi begitu saja? Sekadar kepo?
Aku mulai kesal. Pastinya bukan karena lelaki itu, tetapi karena kakiku mulai pegal. Berdiri di sini dan menunggu tanpa kepastian. Berdiri di tengah jembatan di kota yang bahkan belum pernah kukunjungi. Lelaki yang bermana Kemal itu juga tidak bisa dihubungi. Pasti teleponnya mati.
Semua ini berawal dari pencarianku akan sebuah guci peninggalan zaman Cina kuno. Setelah bergerilya di internet, aku menemukan apa yang kucari di sebuah akun media sosial. Sebuah guci yang merupakan harta karun yang terpendam di Sungai Musi yang berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Barang bagus, antik, dan tentu saja langka. Itulah sebabnya aku rela datang ke Palembang dari rumah orang tuaku di Bekasi.
Semula, semua kelihatan sederhana. Kemal, si penjual ini, adalah penyelam yang sering mencari harta karun dengan menyelami Sungai Musi. Harta karun itu didapat dari kapal-kapal pedagang yang tenggelam di zaman dulu. Wajar saja, Palembang di zaman dulu adalah sebuah kota perdagangan yang mengandalkan transportasi air di Sungai Musi. Para pedagang dari Semenanjung Melayu, Arab, India, dan Cina berdatangan untuk berdagang.
Guci Cina yang dijual Kemal konon berasal dari abad ke-7. Harganya pun masuk akal menurutku. Setelah menghubungi Kemal melalui akun media sosialnya, aku sempat berbicara melalui telepon dan berjanji untuk bertemu sore ini. Jembatan Musi IV ini yang jadi pilihan karena katanya, rumahnya berada di gang sempit yang tak jauh dari jembatan ini dan mungkin akan sulit aku cari.
Notifikasi baterai di ponselku berbunyi untuk kedua kalinya. Astaga, tinggal sepuluh persen. Baterai ponselku hampir sekarat. Sebenarnya, itu wajar karena terakhir kucas pagi tadi. Mestinya, aku mengecas ulang sebelum berangkat tadi.
Jam di ponselku menunjukkan pukul setengah enam lewat. Sudah lebih dari satu setengah jam aku menunggu di sini. Sudah tidak bisa diharapkan lagi Kemal bakal datang.
Anak-anak muda yang tadi cukup ramai nongkrong di sepanjang jembatan ini sudah mulai pergi. Tinggal empat pemuda tanggung yang masih nongkrong tak jauh dari tempatku berdiri. Perasaanku mulai tak enak.
Aku mulai panik. Baterai ponselku terkuras dengan cepat. Notifikasi baterai kembali berbunyi. Tinggal lima persen lagi. Aku seakan tak percaya melihatnya. Bagaimana aku bisa pulang? Rasanya aku pengin menangis. Namun, itu tak menyelesaikan masalah.
Tuhan, tolong aku! Jangan sampai empat pemuda tanggung itu menggangguku. Aku celingak-celinguk memandang sekitar. Sepi. Kendaraan pun tak banyak yang lewat. Aku bingung mau ke mana. Kalau ponselku kupakai untuk memesan taksi online, jangan-jangan baterainya akan habis sebelum aku dijemput. Aku harus mencari tempat untuk menumpang mengecas baterai ponselku.
"Maaf, Dek."
Suara lelaki itu mengejutkanku. Jantungku sempat berdegup kencang sejenak. Aku sampai tidak menyadari kedatangannya karena panik sendiri. Syukurlah, lelaki yang tadi itu ternyata.
"Yang ditunggu belum datang juga?" tanyanya sopan.
"Iya, Kak. Mungkin, dia nggak akan datang," jawabku putus asa.
"Sebentar lagi magrib." Dia menoleh sekilas ke arah empat pemuda tanggung yang masih nongkrong di sana. "Tidak aman di sini. Kalau Adek mau, Adek bisa ikut aku."
Aku terdiam sejenak. Meski lelaki ini terlihat bersikap sopan, tetapi itu bukan jaminan bahwa dia tidak punya niat buruk. Bagaimanapun, aku adalah seorang perempuan.
"Percaya padaku! Aku tidak berniat buruk," ujarnya lagi seolah menjawab keraguanku.
Tanpa menjawab, aku bergerak mendekatinya. "Kita mau ke mana?"
"Di sana, ada kafe," ujarnya sambil menunjuk ke ujung jembatan. "Kita bisa numpang salat Magrib dulu di sana."
Aku mengangguk, lalu ikut berjalan bersamanya. Entah kenapa, aku merasa tenang. Dia berhasil membuatku percaya padanya. Mana ada orang jahat yang mengajak salat? Aku berusaha keras berprasangka baik.
Aku merasa lega. Di dalam kepanikanku, ada lelaki ganteng yang menolongku. Kalau tidak ada dia, bisa saja aku diganggu empat pemuda tanggung itu. Apalagi, tidak ada orang lain di sana. Bisa-bisa aku dibunuh dan dibuang ke sungai.
Sejenak kemudian, aku tersenyum geli. Lebay banget pikiranku. Mungkin tidak begitu juga yang bakal terjadi. Namun, tetap saja aku merasa aman sekarang.
Kami berjalan bersisian di bahu jembatan, semacam trotoar di tepi jembatan. Dia berjalan di sisi jalan. Begitulah semestinya lelaki berjalan dengan perempuan. Terkesan melindungi.
Benar saja, di kafe itu ada musala. Setelah aku mengambil wudu, lelaki itu mengajakku salat berjamaah. Andai lelaki itu bukan sekadar jadi imam salatku, tetapi jadi imam dalam rumah tangga kami. Aku memukul kepalaku. Otak nakalku mulai berulah lagi. Sambil menarik napas, aku meluruskan niatku.
Mungkin, ini salat yang paling nyaman yang pernah kulakukan. Menjadi makmum lelaki ganteng, pakai acara cium tangan setelahnya lagi. Memang sudah cocok jadi imamku. Waduh! Mulai lagi pikiranku ngaco.
"Sekarang, gimana?" tanya lelaki itu setelah kami meninggalkan musola dan berdiri di dekat pintu masuk kafe.
"Aku harus ngejar pesawat. Penerbangan jam setengah sembilan," ujarku. "Baterai ponselku habis. Jadi, aku nggak bisa pesan taksi online."
Wajah lelaki itu yang semula tenang, sedikit berubah. Dia berpikir sejenak sambil menatapku.
"Ton," panggilnya pada seorang pelayan kafe. "Aku pinjam motormu dulu, ya."
"Pake aja, Kak. Asal diisi bensinnya," jawab si pelayan sambil merogoh kunci motor dari saku celananya dan menyerahkannya.
Dengan segera, si lelaki ganteng mengambil kunci motor itu dan mengajakku ke tempat parkir di depan kafe. Ternyata, yang dimaksud dengan motor itu adalah sebuah skuter. Lelaki itu menyodorkan helm padaku. Melihatku agak kesulitan, dia membantuku memakainya. So sweet.
"Kita harus cepat," ujarnya setelah duduk di skuter. "Agak ngebut. Pegangan yang kuat!"
"Boleh aku pegangan di pinggangmu?" pintaku. Dia hanya mengangguk, lalu mulai menjalankan skuter.
Hatiku bersorak gembira. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Sekalian berlindung di balik tubuhnya dari angin, pikirku mencari pembenaran.
Aku pasrah meski dia berkendara dengan agak ngebut. Sambil berlindung di balik tubuhnya, aku menikmati pemandangan Palembang di waktu malam. Rasanya seperti pergi kencan pertama.
Lebih dari setengah jam perjalanan, kami sampai di parkiran Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II. Bandara yang cukup besar yang menyediakan stasiun LRT sebagai sarana transportasi dari dan ke bandara.
"Ayo, cepat!" perintahnya setelah melepas helm di tempat parkir bandara.
Kubiarkan dia menggenggam pergelangan tanganku sambil berjalan cepat menuju terminal keberangkatan. Siapa juga yang tidak mau diperlakukan begitu? Aku tersenyum geli. Tidak mesti buru-buru juga. Belum lagi pukul setengah delapan.
"Terima kasih banyak, Kak," ujarku, "sudah ditolongin."
"Tidak masalah. Kamu hati-hati, ya, Dek!"
"Boleh kuminta kembali tanganku?" sindirku karena dia belum melepaskan genggaman di pergelangan tanganku.
"Oh ... maaf." Mukanya sedikit memerah. Jelas terlihat dari wajah dengan kulit cerah itu. Matanya yang indah membesar karena tersadar oleh kelakuannya sendiri. Meski begitu, dia kelihatan ganteng dengan hidungnya yang mancung.
"Nggak apa-apa, Kak. Aku berangkat, ya," pamitku.
Dia melambaikan tangannya saat aku kembali menoleh sebelum masuk ke terminal keberangkatan. Tentu saja aku membalasnya. Oh, Tuhan. Manis banget.
Mulai dari check in sampai berjalan menuju ruang tunggu keberangkatan, aku rasanya ingin selalu tersenyum. Namun, ketika aku duduk di sana, rasanya ada yang salah. Bodoh! umpatku dalam hati. Aku lagi-lagi melakukan kebodohan. Bagaimana bisa aku lupa berkenalan dengannya?
* * * * *
Dua bulan aku dilanda kegalauan dan penyesalan. Namun, aku percaya, ini belum terlambat. Masih ada yang bisa kuupayakan untuk bertemu lagi dengan si ganteng.
Kini, aku duduk di sini, di kafe yang pernah kudatangi untuk numpang salat bersama si ganteng dulu. Dua bulan sudah berlalu, tetapi aku belum berhasil move on dari kejadian itu. Hatiku tertinggal di sini, di kota tua ini.
Aku duduk di bagian teras kafe. Di dalam, tampaknya penuh pengunjung. Lebih tenang bagiku duduk di sini sambil mengenang rasa yang tak kunjung pudar di hatiku.
Kali ini, aku punya misi yang lain. Mungkin lebih tepatnya aku mencari-cari misi apa yang bisa masuk akal agar papaku mengizinkan keberangkatanku ke Palembang. Karena aku menganggur setelah lulus kuliah, Papa percaya saja dengan kata-kataku ketika aku ingin ke Palembang untuk menjajaki bisnis kuliner di kota ini. Bukan untuk berbisnis di sini, tetapi menjajaki kemungkinan jika ada kuliner Palembang yang bisa kujual di Bekasi.
Tentu bukan pempek yang kumaksud karena di Bekasi juga ada penjual pempek. Palembang punya beragam makanan seperti model, tekwan, celimpungan, burgo, laksan, lakso, dan masih banyak lagi. Aku tahu semua itu setelah riset di internet selama dua bulan ini.
Perjalananku kali ini lebih terencana. Aku sengaja menginap di hotel agar punya banyak waktu untuk menjalankan rencanaku. Terdengar masuk akal bagi Papa, tetapi sebenarnya, tujuan utamaku justru untuk mencari si ganteng.
Aku memuji kecerdasanku. Dengan alasan yang kusampaikan pada Papa, aku diizinkan berangkat selama tiga hari. Palembang, aku datang! jeritku dalam hati. Aku akan mencarimu, Ganteng! Namun, di mana?
Aku bahkan tidak tahu namanya. Tidak tahu di mana rumahnya. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Satu-satunya tempat yang bisa kudatangi untuk mencarinya adalah kafe ini. Berharap bisa bertemu pelayan kafe yang dulu meminjamkan skuternya. Namun, dari tadi aku tidak melihat batang hidungnya.
"Oh, itu Tony," ujar pelayan perempuan yang kutanyai. "Dia kebetulan nggak masuk, Mbak."
Lenyap sudah harapanku. Kalau aku bertanya dengan pelayan perempuan itu tentang si ganteng juga percuma. Aku tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
Pasrah. Aku terduduk lesu. Tuhan, ternyata aku tetap bodoh seperti biasanya. Hilang sudah keyakinanku untuk bertemu si ganteng yang sempat menggebu-gebu. Maafkan aku, Pa. Maafkan anakmu yang bodoh ini.
Tekwan di piringku sudah habis. Tinggal menyisakan sedikit kuah di piring. Kusesap es teh manis yang tinggal setengah. Makanan yang lezat. Mungkin bisa jadi kandidat makanan yang akan kumasukkan dalam daftar bisnisku. Yah, aku terpaksa menjalankan rencana seperti yang kujelaskan pada Papa.
Aku memesan satu porsi celimpungan serta satu gelas es teh manis lagi. Perutku belum sesak, masih ada tempat yang tersisa untuk satu porsi makanan lagi. Kalau Papa melihat kelakuanku ini, dia pasti berkomentar bahwa anak gadisnya ini rakus. Biarlah ... anggaplah ini pelampiasan atas rasa kecewaku yang kehilangan kesempatan bertemu dengan si ganteng.
Kusantap celimpungan yang baru saja disajikan pelayan. Seperti pempek adaan yang diberi kuah santan berwarna kuning. Kucicipi kuahnya dengan sendok. Lezat! Selera makanku tiba-tiba meningkat. Dengan semangat, celimpungan itu langsung kusantap. Ludes dalam sekejap.
Notifikasi ponselku berbunyi. Pesan dari Papa.
"Gimana survei kulinernya?"
Waduh! Aku lupa bikin foto tekwan dan celimpungan tadi. Sudah di dalam perutku. Aku bangkit dari tempat dudukku. Kulihat seorang pelayan yang sudah siap untuk mengantarkan pesanan dua porsi celimpungan.
"Mbak, maaf," ujarku. "Izin motret celimpungannya."
"Silakan, Mbak," jawab si pelayan sambil tersenyum ramah.
Sebuah foto sudah dengan sukses masuk ke galeri ponselku. "Sekalian tekwannya, ya, Mbak."
Aku bergeser ke pelayan satu lagi yang sedang menuang tekwan menggunakan centong ke piring. Akhirnya ... aku berhasil!
"Terima kasih, Mbak," ujarku pada dua pelayan itu. Mungkin mereka bingung dengan ulahku.
"Beres! Dua makanan ini lezat banget. Ini fotonya." Pesan kukirimkan untuk Papa beserta foto-fotonya.
Kejadian barusan membuatku sibuk sejenak. Juga membuatku sempat lupa dengan kegagalanku bertemu si ganteng. Ketika teringat, aku kembali lemas. Kecewa dalam kekenyangan itu ternyata melemaskan.
Kenapa tidak muncul peristiwa kebetulan seperti di sinetron-sinetron? Aku menggerutu dalam hati. Tuhan, tolong aku!
Sudahlah, itu hanya ada di sinetron. Dengan tubuh yang sudah kehilangan semangat, aku berdiri dari tempat dudukku. Bayar pesananku, lalu pulang ke hotel. Hanya itu rencana yang tersisa malam ini.
Sambil mulai berjalan menuju kasir, aku melihat jam di ponselku. Hampir pukul delapan malam. Ups, aku hampir menabrak seseorang. Seorang lelaki ganteng ... dengan seorang perempuan di sampingnya.
Kami berdua saling pandang. Aku terdiam sesaat seperti terhipnotis.
"Maaf, Dek." Ucapan lelaki ganteng itu menyadarkanku.
"Aku yang salah, maaf," balasku.
Dia tak beranjak dari sana. Tetap berdiri memandangku.
"Kamu yang waktu itu?" tanya lelaki ganteng itu.
Aku masih terpana. Tidak salah lagi. Si ganteng!
"Iya, Kak."
"Kok ada di sini?"
Aku bingung mau menjawab apa. Kucari-cari rencana omonganku di dalam memori otakku. Namun, entah di mana aku meletakkannya. Konyol!
"Aku sengaja mencarimu," jawabku polos.
Waduh! Aku malu sekali. Mulutku dengan seenaknya berkata jujur. Mulut perempuan mestinya tidak boleh begitu. Harusnya, ngeles sedikitlah.
Dia tampak bingung. Mungkin menunggu kata-kataku selanjutnya, tetapi aku malah terdiam menyesali kejujuranku. Kenapa? Bukankah aku jauh-jauh ke sini memang untuk mencarinya?
"Aku Adrian," ujarnya mengenalkan diri sambil menjulurkan tangannya padaku.
Dengan malu-malu kusambut tangannya. "Aku Diandra."
Aku melirik perempuan di sebelahnya ... cantik. Apa perempuan itu pacarnya? Malunya aku! Jauh-jauh ke sini, ternyata Adrian telah punya pacar.
"Kenalkan, ini adikku," ujar Adrian lagi.
Perempuan itu menjulurkan tangannya. "Gita."
Ya, Tuhan! Amal apa yang pernah kuperbuat sampai mendapatkan keberuntungan ini? Hampir saja aku putus asa.
"Kamu bilang tadi mencariku?"
Untunglah Adrian menyelamatkan suasana. Aku tidak tahu harus bicara apa. Semua seolah menghilang dari otakku.
"Iya," jawabku canggung. "Aku memang mencarimu. Kebetulan, aku sedang ada di Palembang. Jadi, aku sekalian mencarimu. Mau minta tolong lagi." Akhirnya, kecerdasan muncul entah dari mana.
"Kalau aku bisa, kenapa tidak? Apa yang bisa aku bantu?"
Adrian mengajak duduk di kursi dekat kasir. Aku lalu menjelaskan rencanaku sesuai dengan skenario yang akhirnya kutemukan juga di memori otakku.
"Boleh," ujar Adrian. "Tapi, aku antar adikku pulang dulu. Rumahku tidak jauh dari sini. Tunggulah sebentar!"
Aku tersenyum melihat Adrian yang buru-buru menarik tangan Gita untuk mengantarkannya pulang. Sambil menunggu, aku bayar pesananku, sekaligus pesanan Adrian yang belum sempat dibayarnya karena terburu-buru.
Tidak sampai lima belas menit, Adrian sudah kembali. Aku langsung menyongsongnya ketika melihatnya masuk ke halaman kafe. Ternyata dia bawa mobil. Aku senang sekaligus kecewa. Aku jadi tidak punya alasan memeluk pinggangnya.
Adrian menyetir dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan, dia bercerita tentang Kota Palembang bak seorang pemandu wisata. Aku sudah pernah membacanya sebagian di internet.
"Itu Jembatan Ampera," ujar Adrian ketika kami berada di kawasan Benteng Kuto Besak yang cukup ramai di malam hari. "Kamu belum pernah lihat, kan?"
"Iya, belum pernah lihat langsung."
Dia memutuskan mengajakku ke sana karena sebelumnya aku bilang bahwa aku berada di Palembang selama tiga hari. Jadi, menurutnya, tidak perlu buru-buru berburu kuliner malam ini. Masih ada besok.
"Kamu harus berfoto dengan latar belakang Jembatan Ampera," ujar. Adrian "Kalau belum foto di sini, kamu belum ke Palembang."
Aku menurut saja. Kuserahkan ponselku padanya. Lalu, aku seolah jadi modelnya. Berfoto dengan latar belakang berbagai objek yang ada di sana.
"Kamu percaya takdir?" tanya Adrian ketika kami berdiri bersisian di tepi pagar yang membatasi dengan tepian Sungai Musi.
"Percaya," jawabku. "Emangnya kenapa?"
"Mungkin waktu itu kita kebetulan bertemu, tapi takdir tidak pernah kebetulan. Kali ini, kamu sengaja mencariku. Bukan lagi kebetulan, 'kan?"
"Maksudmu?"
"Aku pernah menyesal," ujar Adrian, "karena tidak sempat berkenalan denganmu waktu itu. Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri, kalau aku bertemu lagi denganmu, aku tak akan lupa lagi berkenalan."
"Masa?" ujarku agak kaget. Bagaimana bisa, apa yang Adrian rasakan sama dengan yang kurasakan?
Dia mengangguk sambil memutar tubuhnya ke hadapanku. "Bukan cuma itu. Aku juga mau tanya apa kamu mau jadi pacarku."
"Kok kamu bisa kepikir nanya begitu?" tanyaku pura-pura tenang. Rasanya aku ingin langsung menjawab bahwa aku mau jadi pacarnya. tetapi aku perempuan. Harus bisa mengendalikan diri.
"Aku tidak tahu apa takdir kita. Jadi, aku harus memastikan. Jangan sampai aku nanti menyesal karena tidak pernah menyakannya kepadamu."
"Maaf, aku nggak bisa menjawab apa takdir kita. Aku juga nggak tahu," jawabku sambil menatap matanya. "Tapi ... kalau kamu tanya apa aku mau jadi pacarmu, aku tahu jawabannya."
Adrian menatap mataku lekat. Matanya yang indah itu membuatku seakan tenggelam di dalamnya. Aku bisa melihat kejujuran dan ketulusan di sana.
"Aku mau jadi pacarmu," ujarku pelan. "Tapi, jangan bilang cinta. Biarkan cinta itu tumbuh dengan sendirinya."
Andrian mengangguk sambil tersenyum. Dipeluknya tubuhku erat. Di bawah sinar rembulan, di tepian Sungai Musi, dia kecup keningku.
Aku tidak pernah tahu ke mana takdir akan membawaku. Aku hanya mengikuti alurnya. Mungkin, suatu saat aku berjodoh dengan Adrian. Yang penting, saat ini, aku telah datang menjemput takdirku. Kuserahkan pada Tuhan bagaimana kelanjutannya.
~~~ T A M A T ~~~
Publikasi: 19 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top