Chapter 4 (New Version)

Chapter 4

The Nonsense

Entah sudah berapa menit aku hanya berdiam diri di sini, masih tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Aku sudah memastikan bahwa tempat aku berdiri memang lokasi Toko Ariana berada. Toko pernak-pernik, toko roti, dan deretan toko lain masih ada di tempat yang sama. Tidak seharusnya tempat di hadapanku ini merupakan lahan kosong dengan tiga dinding toko berbeda mengapitnya, membuatnya tampak seperti kubus dengan bagian depan dan atap terbuka. Tak ada setitik pun pertanda pernah ada toko yang berdiri di sana, malah yang mengisi salah satu sudutnya adalah tong sampah yang cukup besar. Suara bel toko roti di sebelah mengalihkan perhatianku. Seorang pria dengan celemek putih keluar dari toko sambil membawa beberapa kantong plastik hitam. Dia berjalan melewatiku dengan langkah lebarnya menuju tong sampah, membuang kantong-kantongnya di sana dengan rapi. Saat dia melihatku berdiri tanpa bergerak, langkahnya berhenti tepat beberapa jengkal di depanku.

"Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya.

Aku menatapnya sesaat sehingga kami saling memandang seolah kami sama-sama makhluk asing yang baru bertemu. "A-apa di sekitar sini ada toko kacamata?"

Dia tampak berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuknya. "Di sekitar sini memang tidak ada toko kacamata, tapi di seberang sana mungkin ada." Kali ini, dia menggunakan telunjuknya untuk menunjuk suatu kawasan di belakang tubuhku. Dengan cepat, aku melirik ke arah yang ditunjuknya, tapi entah mengapa tidak yakin di seberang sana ada sebuah toko kacamata.

"Uh... aku harus segera kembali ke tokoku. Semoga harimu menyenangkan!"

Ketika berbalik, aku langsung menahan kepergiannya dengan mengucapkan terima kasih. Dan ketika dia sudah benar-benar masuk ke tokonya, aku menatap lahan kosong di hadapanku untuk terakhir kali, lalu kembali berjalan menyusuri deretan toko.

Hari ke hari, semua ini semakin aneh.

Jika dipikir lagi, mengapa Linda memberikan obat tetes mata itu padaku? Terlebih, siapa dia sebenarnya? Apa dia memang berusaha membantuku atau malah sebaliknya, seperti orang berjubah merah dan yang menjatuhkan buku Alkleins? Mereka orang-orang misterius yang silih berganti menghantui kehidupan baruku di sini. Dan setelah mereka, akan ada siapa lagi? Manusia terbang? Nenek sihir? Manusia yang bisa berteleportasi? Atau apa?!

Sungguh, akal sehatku tidak bisa mencapai jawaban untuk itu semua. Selain menghela dan mengembuskan napas berat, aku tidak tahu lagi harus apa. Aku sangat lelah dengan semua ini, memikirkannya sangat-sangat menguras pikiranku. Kenapa aku tidak bisa menikmati hariku dengan tenang walaupun sehari saja?

Aku berhenti sejenak di pinggir sebuah toko, menenangkan perasaanku yang terombang-ambing oleh serangkaian kejadian sialan. Kuarahkan wajah ke atas, merasakan hangatnya sinar matahari yang menerpa wajahku, serta mendengarkan suara angin yang berembus dengan tenang. Ini sangat menenangkan, seolah perpaduan mereka membuat pijatan-pijatan lembut yang membuat otot-otot tegangku kembali rileks. Wangi kopi datang menyusul, menyeruak ke dalam hidungku. Kuhirup napas dalam-dalam untuk menikmati wanginya, tapi malah membuat perutku berbunyi, mengingatkan lagi bahwa aku masih belum menyentuh makanan sejak kemarin.

Aku menoleh ke sumber wangi kopi, sebuahkafeyang dominan dengan warna cokelat kayu. Beberapa meja diletakkan di pelataran kafe dengan nuansa cokelat yang terlihat hangat dan nyaman. Beberapa pelanggan yang tengah menyesap isi cangkir masing-masing terlihat dari kaca besar kafe tersebut. Dan kali ini, aku tergoda untuk ikut di antara mereka.

Wangi kopi yang lebih kuat menyeruak saat aku membuka pintu kafe. Ada pigura-pigura yang disusun seperti kolase di sebuah dinding yang menghadap langsung pintu masuk. Suara-suara pengunjung yang mengobrol dengan teman minum kopi mereka beradu dengan melodi instrumen yang mengalun dari speaker di sudut belakang atas. Dan rupanya, selain kursi-kursi kayu berkaki tinggi seperti yang ada di pelataran, ada deretan meja dengan sofa yang ditempatkan di area sisi kiri pintu masuk. Aku berjalan menuju kasir, kemudian memesan secangkir coffee latte. Seharusnya tidak ada yang aneh, tapi penjaga kasir menatapku dengan terkejut sekaligus bingung. Aku ingin bertanya padanya, kalau saja tidak ada antrean beberapa orang di belakangku. Aku yang tak tahu apa yang salah pada diriku pun hanya diam, membayar pesananku, dan menelan kebingunganku sendirian. Lagi-lagi, orang yang aneh. Atau lebih tepatnya, yang menatapku dengan aneh.

Sebuah meja kosong berkursi kayu yang ada tepat di sebelah kaca besar menarik perhatianku. Kurasa, langkahku masih terbilang santai, dan aku berjalan cukup hati-hati ketika menghindari para pelayan yang lalu-lalang dengan baki berisi cangkir kopi di tangan mereka. Namun, aku tetap tidak bisa menghindari tabrakan dengan seseorang. Kami jatuh bersamaan ke lantai. Barang-barangku di dalam tas dan barang-barang orang yang bertabrakan denganku juga sama-sama tercecer di lantai. Suara gaduh langsung ikut menghuni kafe sekaligus menciptakan pandangan pengunjung lain untuk tertuju pada kami.

"Maafkan aku," ucapku lebih dulu, terlepas dari siapa yang menabrak duluan. Aku merasakan masih ada beberapa pasang mata yang menatapku saat aku berusaha mengambil barang-barangku yang berserakan. Seperti ada sensor otomatis, tanganku langsung berhenti sebelum mengambil botol obat tetes mata. Aku akan mengira botol itu milikku kalau saja aku tidak membaca terlebih dahulu keterangan warna—atau bisa kubilang satu-satunya tulisan—yang ada di sana.

Aku menaikkan kepalaku untuk melihat wajah orang yang juga masih sibuk memunguti barang-barangnya. Seakan menerima satu komando, kami saling menatap, saling menyelami mata satu sama lain, dan... sama-sama terkejut.

"Sofia?!"

"Olivia?!" Suara kami berpadu, sekali lagi menciptakan pandangan pengunjung lain untuk tertuju pada kami.

"Kau ada di sini?"

"Olivia, matamu!" Alih-alih menjawabku, Sofia justru setengah memekik. Aku tak sempat merasakan ada berapa banyak pasang mata yang memerhatikan kami, karena refleks mengambil cermin kecil milikku yang masih berada di lantai.

Dari pantulan cermin, kulihat mataku masih biru. Namun, biru itu lebih terang dibanding ketika aku pertama kali melihatnya. Aku terperangah akan diriku sendiri. Mungkin, itu alasan mengapa orang-orang, termasuk petugas kasir, melirikku dengan begitu aneh. Aku membuka mulut ingin menjelaskan sesuatu, tapi tak ada kata-kata yang berhasil kubentuk.

"Sofia! Kau tak apa?" Seorang perempuan berambut cokelat datang dari arah toilet menuju Sofia, lalu membantunya berdiri. Dia Natali, datang bersama Haldis yang kini sibuk mengemasi barang-barang Sofia.

Sofia hanya diam sambil terus menatap mataku dengan wajah terkejutnya yang masih menggantung. Natali yang tak mendapat tanggapan dari Sofia pun mengerutkan alisnya, lalu mengikuti arah tatapan Sofia.

"Oh, ya ampun!"

"Oh!"

Seruan terkejut Natali disusul oleh Haldis saat pandangan mereka jatuh kepadaku. Di antara mereka, Haldis yang paling terkejut. Dia sampai menutup mulutnya dan tak berkedip untuk beberapa saat. Apa yang salah? Ini hanya mataku.

"Bisakah kita duduk saja?" tawarku yang mulai tidak nyaman dengan keadaan. Aku memasukkan cermin kecilku ke dalam tas, kemudian bangkit dan bertahan di depan Sofia dan kedua temannya.

Tak ada semenit kemudian, kami berakhir di tempat duduk yang sempat menjadi incaranku. Aku agak menundukkan wajah, walaupun secangkir kopi panas yang tampak nikmat ada di hadapanku. Jika kau ditatap aneh oleh tiga pasang mata sekaligus, kau akan merasakan bagaimana gugupnya. Yah, walaupun kau yakin tidak habis melakukan kesalahan.

"Mengapa kau tak bilang kepada kami? Aku tak tahu bahwa kau adalah Ras Sapphire. Dan kau berkeliaran dengan mata seperti itu!" Setelah keheningan panjang yang mencekik leherku, Sofia langsung menuntutku dengan nada tinggi. Dia bersikap seolah ketidaktahuannya adalah murni kesalahanku. Padahal, akulah yang nyaris gila karena kejadian-kejadian tidak masuk akal yang bertubi-tubi menimpaku. Dan, kalimat-kalimatnya tadi menunjukkan bahwa dialah yang lebih tahu. Jadi, tidakkah posisi kami terbalik? "Aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kan bicarakan? Ras Sapphire?" tanyaku kebingungan bercampur emosi sampai-sampai aku menegakkan leher. Kulihat raut tiga perempuan di depanku mengeras, benar-benar membuatku merasa seperti terdakwa hukuman mati.

"Olivia, aku yang tidak mengerti denganmu. Tentu saja kau berasal dari Ras Sapphire." Alisku bertaut, tetap tidak mengerti sebesar apa pun Natali mencoba meyakinkanku.

"Tunggu—Olivia, kau tak tahu bahwa kau dari Ras Sapphire?" Haldis bertanya pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan dia tak ingin ada kebohongan.

"Aku tak mengerti dengan apa yang sedang kalian bicarakan." Aku nyaris putus asa meyakinkan tiga orang di hadapanku. Namun, mereka terus saja menatapku dengan saksama, sampai aku merasa tatapan apakah kau serius? yang mereka lontarkan menembus mataku dalam-dalam. Tanpa sadar, aku semakin meremas botol obat tetes yang bukan milikku.

"Itu milikku," kata Sofia yang duduk tepat di depanku, kemudian mengambil alih botol obat tetesnya.

"Dari mana kau mendapatkannya?" tanyaku penuh selidik, berusaha membalik keadaan.

Apa Sofia juga mendapatkannya dari Linda?

"Di suatu tempat." Sofia berpaling melirik jendela, tampak tak mau membahas hal itu.

"Olivia, kau benar-benar tak tahu apa-apa soal Ras Sapphire?"

"Ya, aku bahkan tak mengerti dengan apa yang kalian bicarakan. Apa kalian sedang membahas suatu film atau komik?" Sengaja kuselipkan nada sarkastis dalam kalimat terakhirku, semata-mata untuk membuat mereka yakin—terutama Natali yang barusan bertanya lagi—bahwa aku benar-benar tidak sedang berbohong.

"Apa buku Alkleins masih ada padamu?" tanya Natali kembali.

"Buku itu ada di rumahku. Kenapa?" "Bisakah kami melihatnya?"

Kami turun dari taksi tepat di depan rumahku. Aku berjalan lebih dulu memasuki halaman rumah dengan perasaan yang sulit kuurai satu per satu. Mataku sudah berubah warna menjadi hazel karena Sofia memaksaku untuk menggunakan obat tetesku. Aku tak tahu mengapa Sofia begitu memaksaku, sedangkan dia juga tidak menjelaskan apa pun ketika aku terus-terusan bertanya. Dia justru merebut obat tetesku dan memakaikan dengan paksa obat tetes tersebut sebelum kami benar-benar meninggalkan kafe.

"Aw!"

Refleks aku berbalik, lalu menemukan Sofia tengah merintih sambil mengusap-usap salah satu punggung tangannya. Dia mundur beberapa langkah dari halaman rumahku dengan diikuti Haldis dan Natali yang cemas menanyakan keadaannya.

Aku menghampiri Sofia dengan langkah cepat. Betapa terkejutnya aku begitu menatap tangannya yang memerah layaknya terbakar. "Sofia, kau kenapa?" tanyaku cemas.

"Aku tak tahu." Raut Sofia yang kesakitan menularkan ringisan dariku, Natali, dan Haldis. "Sepertinya rumahmu dipasangi pelindung."

"Pelindung?" tanyaku bingung tanpa mengalihkan perhatian dari punggung tangannya yang makin merah. Aku yakin itu sangat menyakitkan.

Sofia bungkam seketika, tapi raut wajahnya yang menegang menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres.

"Olivia, dengan siapa kau tinggal?" tanya Sofia, tak menghiraukan pertanyaanku tadi.

"Aku tinggal dengan ibuku. Kenapa?"

Mata hitam gelap Sofia menyelami mataku, menyelidikiku. "Apa dia benar-benar ibumu?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top