Chapter 3 (New Version)


The Doppelganger

Aku menyaksikan diriku yang lain berada di bawah pohon. Rambut, wajah, hidung, dan semuanya, terlihat persis sepertiku. Namun, ada yang berbeda setelah dia membuka kedua matanya. Dia mempunyai mata berwarna biru terang, hampir seperti mengeluarkan cahaya. Kurasa, itu satu-satunya yang membedakan kami, karena aku memiliki mata cokelat hazelnut dari Ayah.

Dengan perasaan gamang, aku terus menyaksikan diriku yang lain itu berusaha untuk mengubah posisinya. Namun, tubuhnya berakhir dengan jatuh kembali ke tanah. Dia meringis kesakitan, lalu menatap langit dengan pandangan kosong untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, seberkas cahaya biru yang sinarnya kian menyilaukan mata muncul bersama angin menujunya.

Jantungku berdebar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi perhatianku teralihkan oleh seorang anak perempuan yang berlari menuju diriku yang lain. Rambutnya pirang sepertiku, tapi dia menatanya dengan membuat dua kepangan. Tubuh mungilnya dibalut pakaian pelayan Eropa yang kotor dan memiliki banyak sobekan.

Anak itu terus berlari dari arah belakang cahaya biru. Tangannya yang berlumuran darah membuat suatu simbol. Mulut kecilnya meneriakkan sebaris kalimat dengan bahasa yang tak kukenali selagi dia terus mempertahankan simbol yang dibuatnya.

"Trughde Jidt!"

Perlahan, semua gerakan serta embusan angin kehilangan kecepatannya. Semua terasa melambat dan berhen—

Tok... tok... tok....

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan mimpiku. Pemandangan hutan yang dipenuhi cahaya biru kini berubah hitam. Aku kecewa. Aku sangat ingin melihat apa yang terjadi selanjutnya. Aku ingin tahu, bagaimana nasib diriku yang lain serta anak kecil itu.

"Olivia?"

Aku membuka mata perlahan, membiarkan sinar matahari menusuk mataku. Untuk beberapa saat, aku terdiam, sibuk memikirkan apa yang sebenernya terjadi.

"Olivia, kau di dalam?"

Aku memutar bola mata. "Iya..." jawabku, berharap dapat mengusir kecemasan Ibu yang tercermin dari nada tanyanya tadi.

"Mandi dan turunlah ke bawah, sarapan sudah Ibu siapkan."

Setelah itu, aku mendengar suara langkah kaki yang makin menjauh.

Tak ada lagi suara Ibu, membuatku kembali tenggelam dalam senyap kamarku. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi padaku. Aku merasa begitu lelah, lalu melihat seseorang yang menabrakku di koridor kampus. Setelah itu, aku jatuh tertidur, kemudian bangun dan melihat kedua mata orang itu sehingga membuatku pingsan. Ketika bangun kembali, aku sudah berada di tengah hutan.

Apa itu hanya serangkaian bunga tidur? Atau... khayalanku?

Aku mengabaikan semua suara yang berdebat di kepalaku. Tubuhku yang terasa agak lemas kupaksa untuk menuju kamar mandi. Belum sempurna berdiri, tubuhku akan tumbang kalau saja aku tidak segera bertumpu pada dinding. Lagi, aku merasakan pusing luar biasa mendera kepalaku. Tak hanya itu, kedua bola mataku juga berdenyut-denyut tak karuan. Aku diam beberapa saat, menunggu semua rasa tak enak ini mereda.


Ketika merasa sedikit lebih baik, baru aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Lama aku bertumpu pada wastafel, karena denyutan demi denyutan kembali menyerang. Satu pekikan refleks meluncur dari mulutku ketika menyadari hal aneh ketika menatap cermin di hadapanku. Kudekatkan wajah pada cermin demi bisa melihat lebih jelas, dan aku tak mampu menahan pekikanku untuk yang kedua kali ketika melihat sebagian besar warna iris mataku berubah menjadi biru.

Aku menatap dalam-dalam mataku. Hanya tersisa sedikit warna cokelat hazelnut, itu pun di bagian pinggir iris. Berkali-kali aku mengerjapkan mata, berharap aku salah melihat. Namun, berkali-kali itu juga aku mendapati mataku yang berwarna biru. Bahkan, tiap kali aku melihatnya lagi, warna biru itu seolah makin menyala.

Aku mundur selangkah dari cermin sambil menatap perubahan mataku dari kejauhan.

Bagaimana bisa ini terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan, tak ingin melihat diriku yang bermata biru. Ingin sekali mengingkari bayangan di cermin bukanlah aku, tapi nahasnya itu adalah aku, Olivia Maiara yang terlihat persis seperti Olivia yang ada dalam mimpiku.

Bagaimana jika Ibu melihat ini?

Sakit mata tidak akan menjelaskan semuanya. Mengatakan aku dihipnotis penguntit dan bermimpi tentang diriku sendiri juga tidak akan mudah untuk Ibu terima.

Bagaimana caraku menyembunyikannya?

Suara decitan kayu selalu saja terdengar setiap kakiku berpindah dari anak tangga yang satu ke anak tangga di bawahnya. Dengan perlahan, aku menempatkan kakiku pada anak tangga terakhir, berusaha sekeras mungkin agar tak menimbulkan suara. Untuk ukuran sebuah rumah, rumah ini lebih tua dibanding yang kulihat.

Aku memegang erat-erat tali tas selempang yang melingkar di bahuku. Setelah meyakinkan diri bahwa rumah sedang dalam keadaan sepi, aku melanjutkan misi untuk keluar dari rumah secara diam-diam. Dengan menarik napas, aku melangkahkan kaki melewati ruang keluarga. Belum sampai aku di depan pintu rumah, langkahku terhenti saat melewati perapian dengan dinding-dinding bata merah. Mataku tertarik untuk menatap berbagai bingkai foto yang baru ditata Ibu di atas perapian.

Sebuah bingkai dengan gambar hitam putih seorang bayi mungil dipajang di sana. Bingkai terdekat dengannya, berisi gambar gadis kecil yang menampilkan wajah gembira saat sedang bermain ayunan. Aku menatap foto-foto di mana bayi itu tumbuh hingga dewasa. Foto terakhir yang kulihat adalah diriku yang memakai topi wisuda tengah merangkul Ibu dengan bahagia. Itu sudah satu tahun yang lalu, ketika aku lulus sekolah menengah pertama. Sebuah senyum mengembang di wajahku ketika melihat foto diriku yang sangat gembira pada masa itu. Tapi, ada kekosongan pula di dalam diriku saat ini. Seorang ayah. Tidak ada satu pun fotoku yang didampingi oleh Ayah.

Tak ingin membayangkan lebih jauh nasib Ayah yang terjebak di dalam rumah yang terbakar, aku kembali melangkahkan kaki menuju pintu rumah. Aku berhasil mencapai pintu dan menekan hendel tanpa mengeluarkan suara. Tapi baru aku hendak keluar rumah, sebuah suara mengagetkanku dari belakang.

"Olivia, mau ke mana?"

"Keluar... sebentar?" jawabku yang terdengar seperti pertanyaan. Sebisa mungkin aku menahan


diri agar tidak berbalik dan membiarkan Ibu terkaget mendapati mataku yang biru terang.

"Ke?" Ibu menekan pertanyaannya, memaksaku untuk menjawab.

"Hanya pergi sebentar, Bu." Aku benar-benar berharap Ibu tidak akan curiga dengan sikapku. "Aku ingin mencari udara segar sekaligus melihat-lihat kota ini. Siapa tahu aku menemukan jalan-jalan pintas," tambahku tetap dengan posisi membelakangi Ibu.

Ibu tak merespons, membuatku khawatir Ibu marah karena sikap tak sopanku. "Baiklah," jawab Ibu akhirnya yang kusambut dengan senyuman keberhasilan.

"Aku akan segera kembali, Bu," ucapku sebelum benar-benar menutup pintu rumah.

Sinar matahari berusaha masuk melalui sela-sela dedaunan dari pepohonan yang berderet. Perpaduan keduanya berhasil menerangi sekaligus meneduhkan trotoar yang kulalui. Berbagai toko kecil berjajar rapi di kiri jalan, sedangkan di kanan jalan hanya berdiri sebuah rumah memanjang. Aku berjalan di sisi kiri, menikmati udara sejuk Pineswood sambil melihat produk-produk yang dipajang rapi dari balik jendela toko.

Aku melewati toko pertama, sebuah toko yang terlihat hangat dan nyaman karena semua interiornya berbahan kayu. Tak hanya itu, semua pernak-pernik yang ditata rapi di dalam etalase kaca pun terbuat dari kayu, sangat mencerminkan Pineswood. Kuajak kakiku melangkah lagi, dan seketika aroma roti yang baru dipanggang menyelinap ke dalam hidungku. Mataku langsung tertarik mengamati pegawai toko yang sedang menata roti berbagai rasa di rak. Aku ingin mengabaikan aroma manis dan gurih roti yang terus-terusan memanggil nafsu makanku, tapi yang terjadi aku justru menghentikan langkah, tak tahan melihat smoked beef yang menyembul dari kasur roti yang lembut dan belum lagi keju yang meleleh sempurna. Pertahananku akan hancur— terlebih ketika ingat bahwa aku belum makan sejak kemarin—kalau saja aku tidak disadarkan oleh masalah besar yang harus kuselesaikan terlebih dahulu, menyembunyikan warna mataku.

Aku kembali berjalan sambil menikmati udara pagi yang mulai menghangat. Jalan pun sudah mulai ramai oleh kendaraan, dan trotoar yang tadi sepi mulai dipenuhi oleh pejalan kaki yang kebanyakan terlihat terburu-buru. Aku berusaha tidak terbawa arus mereka, tapi seorang pria paruh baya menyenggol bahuku, lalu pergi begitu saja

 demi mengejar lampu penyeberangan untuk pejalan kaki yang masih menyala. Aku berusaha melihat punggungnya, tapi pandanganku justru fokus pada sesuatu yang lain, sebuah toko dengan cat cokelat kayu. Papan kayu berukir kata Ariana dipasang tinggi di dekat pintunya. Melihat gambar mata dan kacamata yang sederhana bertengger di atas kata tersebut, membuatku terdorong untuk menghampiri toko itu. Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam di depan kacanya, memandang ke tempat sebuah etalase kaca panjang diposisikan di tengah ruangan toko. Berbagai alat optik dijaga di dalam etalase itu, dan beberapa dipajang apik di rak-rak pendek. Akhirnya, aku menemukan apa yang kucari.

Lonceng kecil yang terpasang pada bingkai pintu berbunyi ketika aku mendorong pintu Toko Ariana, diikuti dengan suara perempuan yang ramah menyambut kedatanganku.

"Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?" Perempuan yang terlihat sebaya denganku itu dengan ramah menyambut kedatanganku. Rambut hitamnya yang digradasi merah di tengah hingga ujung rambut membuatku berpikir dia adalah tipe yang penuh semangat. Kubalas senyumannya, lalu berjalan mendekatinya yang berdiri di sisi etalase. Tak ada pelanggan lagi selain aku, mungkin karena aku datang terlalu pagi.

"Apa ada sesuatu untuk mengganti warna mata ini?" tanyaku seraya menunjuk iris mataku.

"Ya, tentu saja. Kami menjual softlens dan hardlens dengan banyak pilihan warna. Warna apa yang Nona inginkan? Hitam? Cokelat? Atau, warna mencolok seperti merah?"

Aku terpukau sejenak setelah melihat kelihaian– nya dalam menawarkan barang dagangannya. "Umm... warna seperti hazelnut?"

"Tunggu sebentar." Dengan cekatan, dia bergerak mencari lensa kontak dengan warna yang kusebutkan tadi sambil terus menggumamkannya. Selang beberapa saat, dia kembali ke hadapanku sambil membawa sebuah kotak plastik bertutup bening yang dia ambil dari salah satu laci lemari.

"Ini dia."

Aku memandang sekilas mata bulatnya yang dibingkai kacamata hitam, kemudian menurunkan pandangan untuk melihat sepasang lensa kontak dalam kotak plastik. Keduanya terlihat jernih, rapuh, sensitif, dan berwarna identik dengan warna asli iris mataku. Oh, ini bukan lagi masalah besar.

"Aku akan mengambilnya." Tentu aku tak butuh lama-lama berpikir lagi.

"Nona ingin memakainya sekarang?"

Satu anggukan untuk satu pertanyaannya. Dia menunjukkan senyumnya walaupun aku yakin sejak tadi bibirnya pun sudah membentuk kurva sempurna. Selagi dia meninggalkanku untuk mencuci tangan dan membersihkan lensa kontak, aku memandangi tiap sudut toko. Sepertinya, aku harus mengingat toko ini.

"Aku harap, ini sesuai dengan yang Nona butuhkan." Aku mengangkat alis, berusaha memberi respons kecil untuknya. Dia memberiku isyarat untuk mendekat padanya, dan aku menuruti itu. Sekali dua kali aku mengerjapkan mata, tepat setelah dia membantuku memakai lensa kontak.

"Bagaimana?"

Aku diam sejenak, masih berusaha beradaptasi dengan benda asing yang melekat di bola mataku. Kupandangi diriku yang menatapku balik dari dalam cermin. Ini benar-benar tidak akan jadi masalah besar lagi, kalau saja aku tidak merasakan sesuatu yang mengganggu. "Aku suka warnanya, seperti warna asli mataku, tapi... entah mengapa rasanya tak nyaman." Aku meringis, berpikir setelah ini aku harus menahan rasa tak nyaman ini.

Perempuan di depanku meletakkan sikunya di atas etalase sambil mengamati mataku sejenak. "Nona punya warna mata yang bagus dan banyak orang menginginkan warna mata seperti itu. Mengapa Nona ingin menyembunyikannya?" tanyanya setelah membantuku melepas kembali lensa kontak.

Aku terdiam beberapa saat, dia ada benarnya. Warna biru seindah pagi cerah ini memang indah. Dan, aku tak menduga dia menyadari itu. Kuusap punggung tanganku, menghilangkan sedikit rasa gugup yang mulai membentuk sambil memikirkan jawabanku. Tentu saja, ini bukan tentang indah atau tidak, tapi tentang bagaimana cara aku memperoleh warna biru seperti ini.

"Mengapa? Aku akan mendengarkan alasannya," katanya sambil menaikkan alis tebalnya. "Meski itu sebuah alasan aneh sekalipun," tambahnya yang membuatku terperangah.

Aku menghela napas, tak tahu pasti apa yang harus aku katakan. "A-aku tidak tahu... ini memang akan terdengar aneh..." jeda untuk beberapa saat, karena aku merasa ada yang berbeda dengan perempuan di hadapanku ini. Sorot dari iris gelapnya seolah sedang menyelamiku, meyakinkanku untuk melanjutkan ceritaku. "Aku menatap mata seseorang, dan tiba-tiba saja semua berubah menjadi hitam. Ketika aku bangun, sebagian warna mataku sudah berubah menjadi biru." Meski terasa berbeda, aku memberanikan diri untuk terus menatap matanya, mengawasi reaksinya. "Woah! Aku baru menyadari matamu belum sepenuhnya biru," ujarnya sambil menatap lebih dalam mataku, yang tentu saja membuatku tak nyaman. "Tapi, aku rasa itu tidak begitu aneh." Dia memutuskan kontak matanya dariku, memundurkan punggungnya, memberiku waktu untuk bernapas sekaligus mencerna baik-baik pernyataannya. "Sebentar... sepertinya aku punya sesuatu yang lebih Nona butuhkan daripada lensa kontak." Tanpa menunggu responsku, dia pergi ke balik sekat dinding putih, lalu kembali beberapa saat kemudian dengan membawa botol putih yang besarnya segenggaman tangan.

"Mungkin ini sedikit lebih aneh daripada cerita Nona tadi, tapi ini bukan obat tetes biasa." Suaranya pelan namun tak ada nada ragu sedikit pun. Dia memberi isyarat agar aku lebih mendekat padanya, seolah tak ingin apa yang akan dia katakan selanjutnya didengar orang lain selain aku.

"Nona, aku sungguhan. Obat ini dapat mengubah warna matamu." Kali ini, dia berbisik. Tiap katanya dikatakan penuh penekanan, seolah sengaja ingin aku menanamkan dan memercayai ucapannya seutuhnya.

Aku menatapnya dengan wajah antara penuh tanya dan ngeri. Kalau aku diminta untuk memilih yang mana yang paling aneh sekarang, sudah pasti aku menunjuk perempuan yang baru saja menjauhkan bibirnya dari telingaku.

Bagaimana bisa obat tetes mengubah warna iris mata? Apa teknologi berkembang lebih cepat daripada yang kubayangkan?

"Percaya kepadaku." Dia menatapku penuh harap, dan aku ingin mengabaikannya. Namun, ada sesuatu yang lain berbisik-bisik di kepalaku. "Tapi...," dan entah mengapa aku jadi tertarik menunggu kelanjutannya, "ini tak akan bertahan lama, hanya delapan jam. Setelah delapan jam, warna iris Nona akan kembali biru."

"Oke... berapa harganya?"

Itu bukan karena aku memercayainya seutuhnya, aku hanya ingin segera menyudahi percakapan dengannya dan enyah dari tatapan dalamnya yang membuatku risi. Aku pasti sudah salah memilih toko, atau mungkin tidak seharusnya aku menceritakan apa yang menimpaku padanya.

"Nona bisa langsung membawanya pulang, anggap itu ungkapan terima kasihku karena Nona sudah mau menceritakan cerita aneh."

Oke, aku benar. Dia memang orang aneh! Dan aku ingin semakin cepat pergi dari sini.


Kenapa aku selalu saja bertemu dengan orang aneh?

Kenapa hidupku justru berubah aneh akhir-akhir ini?

"Terima kasih kau sudah mau memberikannya untukku, tapi aku akan tetap membayar lensa kontak tadi dan obat tetes ini." Dengan cepat, aku mengambil beberapa lembar uang dari tas selempangku. Lawan bicaraku yang aneh terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi buru-buru aku menyerahkan uang ke hadapannya, membuatnya tak bisa melakukan hal lain, kecuali mengemas barang yang kubayar paksa.

"Terima kasih, Linda," ucapku setelah melirik tanda pengenal yang tersemat di kantung seragam putihnya.

"Terima kasih kembali. Semoga kita bertemu kembali." Kalimat terakhir Linda terdengar beradu dengan suara lonceng pintu dan aku merasa setengah hati jika harapannya itu terwujud.

Saat kembali menyusuri trotoar, aku mengeluarkan botol obat tetes yang sangat direkomendasikan Linda dari tas. Ya... harus kuakui, walaupun sikap Linda membuatku takut, nyatanya dia berhasil membuatku tertarik dengan obat tetes mata di tanganku ini. Aku meneliti botol putih yang tampak begitu polos karena di sana hanya tertulis Hazel. Tak ada merek, barcode, apalagi tanggal kedaluwarsa. Ini mencurigakan, membuat niatku untuk mencobanya ketika sampai di rumah hilang begitu saja. Aku hendak memasukkannya kembali ke dalam tas, tapi kemudian dikejutkan dengan penemuanku akan gambar kecil di bawah botol tersebut.

Itu... bukan gambar yang asing untukku. Atau lebih tepatnya, tidak asing untuk belakangan ini. Sebuah gambar bintang kecil dengan warna cokelat, gambar bintang yang persis dengan yang ada di hoodie orang asing yang menjatuhkan buku Alkleins.

Matakumelebar,mulutkutakbisamengungkapkan apa pun, dan banyak hal negatif berputar-putar di kepalaku. Hal itu kualami hingga beberapa detik ke depan, berakhir ketika aku sadar tak bisa hanya diam di tempat kalau ingin menemukan sebuah jawaban. Aku segera berlari menuju Toko Ariana, melewati setiap toko dan orang yang berjalan lambat, seolah aku sedang tergesa ingin mencegah hal buruk. Namun, yang kudapati adalah aku dikejutkan dengan hal yang lebih mustahil lagi.

Toko Ariana menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top