Chapter 2 (New Version)
Chapter 2
The Strange
Universitas Pineswood dibangun sekian tahun lalu dengan gaya Eropa. Renovasi di beberapa bagian membuat bangunannya terlihat lebih modern serta elegan. Halaman depan terlihat cantik dengan adanya kolam air mancur dan kebun bunga. Tak sedikit mahasiswa yang menghabiskan waktu untuk sekadar bercengkerama atau belajar di kebun bunga itu.
Gedung utama Universitas Pineswood berada di ujung kebun bunga. Bangunan megah itu diapit oleh dua gedung kecil yang temboknya diukir menyerupai bata besar. Warna putih yang menyelimuti dinding gedung terlihat amat bersih seolah noda enggan mendekati.
Aku menggerakkan kaki menuju gedung kebesaran Universitas Pineswood itu dan langsung disambut oleh jajaran lukisan serta patung hasil karya mahasiswa. Jurusan Seni Universitas Pineswood memang paling terkenal di antara universitas lain di kota ini. Aku memilih universitas ini saat baru pindah karena memang seni adalah hal yang kusuka sejak kecil. Awalnya, aku tak mahir dalam bidang seni apa pun, terutama melukis, tapi lama-kelamaan kemampuanku meningkat dengan latihan.
Aku melewati satu lagi karya mahasiswa berupa lukisan beraliran surealis yang dibingkai hitam mengilap, kemudian sampai di hadapan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia duduk di balik meja informasi, tampak begitu serius, membuatku agak enggan mengganggu kesibukannya.
"Um... aku mahasiswa baru di sini," ucapku mengalihkan perhatian wanita itu dari komputer di hadapannya.
Rambutnya yang agak keriting bergoyang saat dia mendongakkan kepala. Matanya yang kecil menatapku sejenak dari balik kaca matanya. "Namamu?" tanyanya seraya menyeret satu tumpukan kertas ke hadapannya.
"Olivia Maiara."
Wanita itu tak mengatakan apa pun, tapi dia terlihat begitu cermat saat menelusuri tumpukan kertas di hadapannya.
"Ini jadwal kelasmu serta denah universitas ini." Dia menyerahkan padaku beberapa lembar kertas yang dia tarik dari tumpukan itu. "Semoga harimu menyenangkan," ucapnya kemudian dengan senyuman.
"Terima kasih," balasku juga dengan senyuman. Kupikir dia tidak akan tersenyum ramah seperti tadi, mengingat sorot matanya di awal melihatku cukup jeli.
Aku berjalan sambil membuka kertas jadwalku. Kelas pertamaku adalah Sejarah Seni di Ruang 36A. Mataku dengan cepat menelusuri kertas denah yang kudapatkan tadi, lalu mulai berjalan sesuai dengan denah tersebut.
*
Aku tak tahu berapa lama aku mengitari gedung kampus ini untuk berjalan menuju kelasku. Yang pasti, cukup lama karena bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Syukurnya sekarang, aku sudah berdiri di hadapan sebuah pintu dengan papan bertuliskan "36A". Gagang pintu sama sekali belum kusentuh walaupun aku sudah telat sejak tadi. Lorong kelas sudah sepi dan hening, tampaknya semua mahasiswa sudah masuk ke kelas masing-masing. Aku menjadi satu-satunya orang yang ada di lorong ini.
Sudah satu minggu sejak aku pindah ke kota ini, tapi baru hari ini aku masuk kuliah. Aku masih gugup hingga sekarang, banyak hal-hal yang menyesaki otakku. Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku? Bagaimana jika dosen tidak menyukaiku? Aku merasakan keringat dingin mulai menutupi telapak tanganku. Gugup dan kikuk, itulah diriku saat berada di hadapan orang banyak, terutama orang yang belum aku kenal. Dengan ditambah kejadian di bus tadi, membuat aku lebih kebingungan serta ketakutan.
Baru aku ingin mengulurkan tangan untuk membuka pintu, sebuah tepukan pelan mendarat di bahuku. Aku akan memekik kaget kalau saja tidak ada tangan seseorang yang membungkam mulutku.
"Shh, jangan berteriak. Apa kau mau membuat seluruh orang mendatangi kita? Tenang, oke?" Suara halus yang asing di telingaku berusaha menenangkanku. Aku yang masih kaget hanya bisa mengangguk dan tetap diam saat tangan itu dilepaskan dari mulutku. Rasanya masih tidak berani melihat ke belakang di mana orang yang membungkamku berada. Aku yang baru saja mengalami serangkaian kejadian aneh—yang bisa saja kusebut dengan teror—merasa bahwa orang tersebut adalah orang berjubah merah tadi pagi.
"Hei, ayo masuk ke dalam. Oh ya, namaku Alyssa. Aku mahasiswa baru di sini." Aku terkaget karena dia tiba-tiba saja sudah ada di hadapanku. Bibirnya tersenyum, memperlihatkan lesung di pipinya.
Aku langsung mengembuskan napas lega. Lega karena dia bukan orang berjubah tadi, melainkan gadis bertubuh mungil yang dibalut sweter panjang bergaris horizontal.
"A-aku Olivia. Aku juga mahasiswa baru." Gantian aku yang memperkenalkan diri.
Bibir Alyssa yang mengilap merah muda tampak lebih berseri karena senyumnya yang amat lebar. "Aku tidak menyangka akan mendapat teman baru yang sama-sama mahasiswa baru."
Aku tersenyum kikuk sambil menarik simpulan bahwa Alyssa adalah gadis yang ceria dan ramah.
"Ayo masuk!" Alyssa menekan gagang pintu, kemudian mendorongnya sebelum aku sempat mempersiapkan diri.
"... dan dia adalah orang yang me—"
Ucapan seseorang terhenti ketika Alyssa membuka pintu dan masuk ke dalam dengan aku yang mengikutinya. Semua mata tertuju pada kami, begitu pula dengan seorang pria muda tampan yang mempunyai bekas janggut di belah pinggir pipinya. Sejenak aku memperhatikannya yang memakai kemeja putih dan celana hitam panjang, tengah memegang selembar kertas di tangannya. Pria itu menatap Alyssa dan aku secara bergantian. Sorot matanya yang tajam membuktikan dia tak suka ketika pelajarannya diganggu.
"Mengapa kalian terlambat?" tanyanya dengan nada terganggu.
"Maaf, tadi kami tersesat. Kami mahasiswa baru di sini." Alyssa yang menjawab, sementara aku mematung di sampingnya.
Pria itu tak mengubah ekspresinya, tajam dan serius. "Aku Jodie. Kalian bisa memanggilku 'Sir Jodie'. Siapa nama kalian?"
"Alyssa Alexandre, dari Universitas Metro."
Sesaat aku melirik gadis pirang di sampingku yang terdengar begitu percaya diri sebelum akhirnya menjawab, "Aku Olivia."
Walaupun jarak kami tidak bisa dibilang dekat, aku yakin baru saja melihat perubahan raut di wajah Sir Jodie, seperti sesuatu baru saja mengejutkannya.
"Silakan duduk."
Dan kupikir, Sir Jodie berusaha menutupi perubahannya dengan suara bernada tegasnya.
"Ayo."
Aku agak tersentak, merasakan bisikan halus Alyssa dan tarikannya pada tanganku. Aku memandang sekitar, menemukan berpasang-pasang mata tengah tertuju padaku dan Alyssa. Dalam hati aku berdoa, semoga ini bukan awal untuk hal yang kurang baik.
"Nona Olivia, dari universitas mana kau berasal?"
Entah untuk keberapa kali pada hari ini aku dibuat kaget. Aku menahan langkah untuk menaiki undakan yang sisi kanan dan kirinya penuh dengan jajaran meja dan kursi yang diisi para mahasiswa. Ketika berbalik, aku langsung mendapati pandangan Sir Jodie yang lurus padaku.
"Aku dari... Universitas..."
Suaraku tersekat. Panik seketika menguasaiku. Aku mencoba mengingat-ingat, tapi gagal menemukan nama universitas tempatku belajar sebelumnya. Satu-satunya yang muncul dalam memoriku ketika aku berusaha mengingat lebih keras adalah pemandangan—entah di mana—yang lama-kelamaan kabur, kemudian berubah menjadi biru.
Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?
Aku melihat Sir Jodie dengan cemas, tidak mungkin aku jujur tidak ingat nama universitasku dulu.
"Universitas... Al..." Aku berusaha mengarang, tak tahan diberi tatapan menuntut oleh Sir Jodie.
"Universitas Albert?" tebak Sir Jodie.
"Ya, maksudku itu. Universitas Albert." Setelahnya, aku menggigit bibir bawahku, kemudian membuang napas yang tanpa sadar aku tahan sejak tadi. Aku berbohong, berbohong karena satu kejanggalan aneh. Mengapa... aku tidak bisa mengingat nama universitasku? Mengapa bisa aku mengalami hal seperti ini? Apa yang terjadi padaku?
Setelah Sir Jodie mengangguk sekilas, aku berbalik kembali untuk mengikuti Alyssa berjalan menuju barisan paling belakang, menempati kursi kosong yang tersisa di sana. Sir Jodie melanjutkan kembali materinya, kulihat Alyssa mulai serius mendengarkan, sementara aku... tidak bisa menerima sedikit pun materi. Pikiranku melayang, pada semua keanehan yang terjadi di sekitarku dan pada diriku sendiri. Apa semua ini saling berhubungan?
*
Aku bertanya-tanya, apa lorong Universitas Pineswood yang terlalu sempit atau mahasiswanya yang terlalu banyak? Sebab, lorong yang tengah kulewati dengan Alyssa ini terasa begitu padat oleh lalu-lalang mahasiswa. Saat ini memang jam istirahat, tapi aku tidak menyangka keadaan lorong akan sepadat ini. Bahkan, tak jarang bahuku dan Alyssa harus bertabrakan dengan bahu mahasiswa lain.
BUGH!
Bahuku ditabrak oleh bahu orang lain untuk kesekian kali. Namun, tabrakan bahu kali ini lebih keras sehingga aku dan orang itu sama-sama terjatuh. Orang asing itu jatuh bersama banyak buku dari tangannya. Dengan cepat, dia berlutut, merapikan buku-bukunya ke dalam pelukannya, lalu pergi meninggalkanku tanpa membantuku berdiri ataupun meminta maaf terlebih dahulu. Mulutku dibuat menganga oleh sikapnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Alyssa dengan tangan terulur di depanku.
Aku menerima uluran tangan itu, kemudian tersenyum kecil untuk meredakan raut cemas yang terselip di wajah cantik Alyssa. "Ya, aku tidak apa-apa."
"Dia melupakan satu bukunya," ucap Alyssa seraya menunjuk sebuah buku di sebelah kanan kakiku.
Tanpa pikir panjang, aku mengambil buku tersebut, lalu mencari-cari orang tadi di tengah kerumunan mahasiswa. Tak sulit menemukannya, karena aku masih ingat jelas tudung jaket abu-abu yang menutupi kepalanya. Namun, jaraknya denganku sudah agak jauh, dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Belum sempat aku memanggil ataupun mengejarnya, dia lenyap begitu saja di tengah kerumunan mahasiswa. Aku mengerjap cepat beberapa kali, takjub dengan pergerakannya yang amat cepat, sampai-sampai aku merasa dia memang hilang begitu saja.
"Jadi, apa yang kau mau perbuat dengan buku itu?" tanya Alyssa yang serius melihat buku tebal di tanganku.
Aku pun ikut menatap buku tua bersampul cokelat dengan gambar bintang di tengahnya. Dengan jelas, sampulnya berukir Alkleins.
"Aku... tidak tahu," jawabku apa adanya, lalu memutuskan untuk membawanya bersamaku pergi ke kantin sambil berharap di sana aku bisa menemukan orang itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top