Chapter 2-2 (New Version)

"Kau simpan dulu buku itu. Setelah makan, kita baru mencari orang tadi." Alyssa langsung bersuara setelah meletakkan baki makanannya di meja. Dia duduk di hadapanku, dan terlihat sudah tidak sabar menyantap mashed potato dan popcorn chicken-nya.

Aku sendiri sesungguhnya tidak mau ambil repot dengan buku Alkleins itu. Ini bukan salahku, orang itu yang kurang teliti dengan barangnya sendiri. Yah, meski aku terus bertanya dalam hati mengenai arti alkleins. Buku itu tampak sudah tua dan kusam. Tidak ada label kepemilikan perpustakaan di sana yang menunjukkan buku itu milik pribadi. Dan sekarang, buku itu ada di tasku yang kutaruh di kursi sebelahku.

Alyssa menghela napas panjang setelah menandaskan setengah jusnya, aku menirunya, lalu tenggelam dalam pikiranku, pada satu yang paling menggangguku. Sedikit pun aku tidak mengingat nama universitasku sebelumnya. Apa yang tengah menimpaku? Suatu penyakit? Atau... kecelakaan? Tapi, Ibu tak mengatakan apa pun, dan aku merasa baik-baik saja sebelum ini.

"Apa kami boleh duduk di sini?"

Suara seseorang mengagetkanku serta Alyssa. Aku dan Alyssa mendongak bersamaan, mendapati sosok perempuan berambut cokelat sedang memegang nampan berisi makan siangnya. Dua perempuan berdiri di kanan dan kirinya, yang aku rasa adalah teman-temannya.

"Boleh." Aku menggeser tasku dengan terburu-buru, tidak sadar tasku masih dalam posisi terbuka sehingga berjatuhanlah semua isi tasku, termasuk buku Alkleins. Aku membungkuk tanpa berdiri, berusaha mengambil tas dan semua barang-barangku yang berserakan di lantai.

Melihat tanganku yang tak bisa menggapai sebagian barangku yang jatuh, perempuan berambut cokelat itu segera membantuku mengambilnya. Dia berhenti mengumpulkan barangku saat tangannya menyentuh buku Alkleins.

"Terima kasih." Alisku mengerut ketika berpikir dia akan menyerahkan buku Alkleins itu, tapi malah terus menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa kubaca.

"Apa kalian tahu siapa pemilik buku ini?" tanyaku sambil memandang tiga perempuan di hadapanku satu per satu.

Dia menggelengkan kepalanya pelan. "D-dari mana kau mendapatkan buku ini?"

"Seseorang menjatuhkannya saat kami bertabrakan," jelasku apa adanya sambil menerima buku Alkleins yang akhirnya dia ulurkan kepadaku.

"Kalian mahasiswa baru tadi, kan?" tanya perempuan berambut cokelat padaku, kemudian melirik Alyssa. Dari pertanyaannya, aku sadar dia adalah mahasiswa yang ikut kelas Sir Jodie tadi pagi. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Si rambut cokelat dan temannya yang berambut hitam duduk di sebelah Alyssa, sedangkan yang berambut pirang duduk di sebelahku.

"Aku Sofia, ini Natali, dan yang di sebelahmu namanya Haldis." Sofia menunjuk kedua temannya bergantian.

Selanjutnya, waktu kami diisi dengan obrolan ringan yang diselingi memakan makanan kami. Tak banyak yang kami bahas, bahkan ada waktu-waktu singkat yang diisi dengan diam yang canggung, seperti saat ini.

"Olivia... sepertinya aku pernah mendengar namamu." Sofia memecah keheningan, yang tidak kusangka dengan menggumamkan namaku.

"Ehm... sepertinya Olivia nama yang cukup umum." Aku tersenyum kikuk sambil melihat mata Sofia yang berwarna senada dengan rambutnya.

Sofia mengangguk kecil. "Apa nama belakangmu?"

Aku menahan jawabanku, berusaha menyelami apa yang sedang dia pikirkan. Terlebih, sorot mata Sofia yang kutangkap begitu jeli dan sirat keingintahuannya yang dalam membuat aku agak ragu.

Apa nama belakang adalah hal penting untuk ditanyakan pada saat seperti ini? Dan... kenapa dia terlihat begitu ingin tahu nama belakangku?

"Apa nama belakangmu rahasia?" Sofia bergurau, disambut senyum kecil tiga perempuan lain di sekitarku.

Mau tak mau, aku ikut tersenyum. "Maiara. Namaku Olivia Maiara."

Kulihat Sofia langsung menatap kedua temannya bergantian dengan arti tatapan yang tidak bisa kupahami. Aku ingin bertanya, tapi Sofia lebih dulu buka suara.

"Uh, kami harus pergi. Ada kelas yang harus kami hadiri." Dengan terburu-buru, Sofia bersama Natali dan Haldis beranjak berdiri. Tanpa menoleh ke arahku ataupun Alyssa, dia pergi begitu saja, meninggalkanku dan Alyssa yang saling melempar tatapan bertanya.

Apa mereka benar-benar terburu-buru atau... ada yang salah dengan nama belakangku?

*

"Apa kau yakin ini jalan yang benar?" tanyaku pada Alyssa yang sedang berjalan di depanku, sedangkan aku hanya mengikutinya dari belakang layaknya anjing yang tersesat.

"Ya, aku yakin. Oh, belok ke sini." Alyssa berbelok dengan tiba-tiba, hampir membuatku menabraknya.

Aku melihat sekitar, pada deretan pintu—yang entah menuju ruangan apa—di kanan serta kiriku. Ini lorong yang panjang serta luas, membuatku merasa kecil berada di tengahnya. Dan, aku merasa seperti hendak dimakan oleh tembok-tembok tinggi ini karena sudah berulang kali melewatinya.

Sekian lama menyusuri labirin kampus ini, Alyssa kembali berhenti berjalan tiba-tiba, membuatku nyaris menabraknya untuk kedua kali. Aku ingin protes, tapi langsung bungkam begitu menemukan perempatan lorong kelas dari balik bahu Alyssa.

"Kampus ini terlalu besar," kata Alyssa menyerah.

"Mungkin kita harus bertanya kepada seseorang." Aku memberi usul. Namun, setelah kembali melihat sekitar, aku baru menyadari tidak ada orang lain di sini.

Oke, keadaan sepi ini saja sudah terasa janggal, dan yang barusan... terdengar lebih menyeramkan. Aku... baru saja mendengar suara entakan kaki yang tentu saja bukan ulahku dan Alyssa.

Aku dan Alyssa melirik satu sama lain. "Kau dengar itu?" tanyaku pada Alyssa yang langsung menelan ludah, kemudian mengangguk perlahan.

Oh, ya ampun!

Jantungku berpacu dan bulu halus di leherku berdiri.

Seseorang tiba-tiba saja muncul dari lorong sebelah kiri dan menabrak Alyssa, membuat keduanya jatuh dan menimbulkan suara bergema kecil di tengah keadaan yang sepi.

"Maaf," ucap pria berambut pirang—pelaku penabrakan Alyssa. Dia menyodorkan tangannya untuk membantu Alyssa berdiri.

"Tak apa." Alyssa menerima bantuan pria berkemeja putih itu, lalu berdiri dengan mata mereka yang menatap satu sama lain.

"Uh...." Aku berusaha menyudahi entah apa itu yang ada di pikiran Alyssa dan pria itu, karena ini terasa sangat canggung. Dan untungnya, usahaku berhasil. Alyssa segera melepaskan tangannya dari genggaman pria tersebut, lalu mundur beberapa langkah lebih dekat padaku.

"Kita harus pergi," bisik Alyssa padaku, lalu berjalan berlawanan arah tanpa menunggu tanggapan dariku.

"Kalian mau ke mana?" tanya pria tadi dengan suara agak keras.

"Kelas."

Tapi sayangnya, kami tersesat setelah berusaha mengejar pemilik buku Alkleins.

Aku memandang Alyssa setelah menambahkan jawaban singkatnya. Gadis itu sudah lebih dulu melangkah, sedangkan aku hanya diam menyilangkan tangan di dada, menatap tubuh Alyssa yang semakin menjauh.

Apa yang salah dengan anak itu?

"Itu arah yang salah. Lorong menuju kelas ke arah sini." Pria itu menunjuk arah kiri.

Langkah Alyssa berhenti, kemudian dia berbalik ke arah yang benar. Sebelumnya, dia menyambar tanganku, lalu menyeretku agar ikut bersamanya. Sambil pasrah mengikutinya, aku melirik Alyssa dan mendapati wajahnya yang bersemu merah.

Hm... menarik.

"Terima kasih, Sir Jodie," ucapku sebelum membiarkan tubuhku diseret lebih jauh oleh Alyssa. Dari posisinya, Sir Jodie membalasnya dengan sebuah senyum, lalu kembali berjalan berlawanan arah dengan kami.

*

Aku langsung menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur ketika sampai kamar. Napas panjang kuhela saat mataku lurus menatap langit-langit kamarku. Hari yang panjang dan aneh. Seseorang yang ingin membunuhku, peluru suntik, nama universitas yang kulupakan, serta buku aneh. Aku butuh, sangat butuh jawaban atas semua keganjilan yang menimpaku. Namun, pada siapa atau pada apa aku harus mencari tahu? Satu-satunya yang kumiliki hanya Ibu, dan aku tidak ingin membuatnya khawatir, terutama tentang ingatanku yang kuyakin bermasalah. Kami baru saja pindah, hendak memulai hidup baru. Ibu harus bekerja dari pagi hingga malam di perusahaan saham dan aku sadar itu sudah sangat cukup membuatnya lelah.

Aku bangkit dari atas kasur dan mulai merogoh tasku yang berada di meja, hanya ingin melihat benda yang kudapati secara misterius hari ini. Semoga saja aku dapat menemukan petunjuk dari benda itu.

"Aw!" Aku segera menarik tanganku keluar dari tas. Setitik darah perlahan muncul dari permukaan jariku. Aku mengibas-ibaskan tanganku untuk mengurangi rasa perih yang timbul perlahan tapi pasti.

Pasti karena ujung peluru suntik itu.

Dengan hati-hati, aku membuka tas lebar-lebar agar dapat melihat isinya, kemudian kembali merogoh tasku. Kali ini, aku berhasil mengeluarkan peluru suntik beserta kertas yang datang bersamanya tanpa perlu melukai jariku untuk kedua kali.

Aku memperhatikannya, terutama bagian jarum yang kini dihiasi setitik noda merah darahku. Baru kusadari, ujung jarum tersebut mengeluarkan cairan bening yang agak kental. Tentu aku tidak tahu apa itu dan hanya bisa menyimpan penasaran yang dalam. Untuk saat ini, aku hanya bisa banyak berdoa bahwa cairan itu bukan sesuatu yang berbahaya.

Aku beralih memandangi lekat-lekat secarik kertas kecil bertuliskan kata MATI, berusaha menemukan sebuah petunjuk yang mungkin saja melekat di kertas itu. Tapi, yang kudapati hanya warna kertas yang kusam dengan pinggiran tidak rata, seperti kertas itu disobek dari suatu buku. Aku lagi-lagi bergidik mendapati cairan merah yang dijadikan tinta untuk menuliskan ancaman mati untukku. Sungguh, ini membuatku sangat tidak nyaman, terlebih aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Lidahku berdecak, kesal tak menemukan petunjuk lain, sedangkan aku sudah merasa nyaris gila menghadapi teror semacam ini. Kuletakkan peluru suntik beserta secarik kertas sial itu sambil berpikir apa aku pernah melaukan kesalahan pada orang lain. Apa kesalahanku begitu fatal hingga orang itu melancarkan teror seperti ini? Kalau memang begitu, kuucapkan selamat karena sudah berhasil membuatku ketakutan seperti ini.

Tiba-tiba saja, pusing luar biasa mendera kepalaku. Dinding kamarku terlihat tidak lagi tegak di pandanganku. Aku berusaha mencari pegangan selagi terus memaksa mataku untuk tetap terbuka. Dengan terseok, merasakan setiap langkahku yang terasa begitu berat, aku berjalan menuju kasur. Denyutan yang menghantam kepalaku kian menjadi kala pikiran-pikiran buruk bermunculan.

Ketika aku hampir mencapai kasur, ekor mataku tanpa sengaja menangkap sosok ber-hoodie abu-abu dari balik jendela. Dia diam mematung di depan gerbang rumahku. Sebisa mungkin aku memfokuskan pandangku yang buram untuk mengenali sosok itu. Aku merasa seolah dia sedang memindaiku dari bawah ke atas, tidak ingin meninggalkan seinci pun bagian dariku untuk dipindainya. Kedua tangannya tersembunyi di dalam saku hoodie-nya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tudung menutupinya. Yang dapat kulihat dengan jelas hanyalah... sebuah gambar bintang besar di salah satu lengan hoodie-nya.

Orang itu... dia yang menabrakku di kampus tadi!

Aku ingin mengejarnya, meminta penjelasan mengapa dia bisa berada di sini. Tapi, itu hanya keinginan belaka karena tubuhku jatuh begitu saja ke atas kasur ketika aku tak bisa lagi merasakan kakiku. Mataku terlalu berat untuk dibuka, tubuhku seperti meronta minta diistirahatkan. Perlahan, aku menutup kedua mata, lalu semua menjadi hitam dalam sekejap.

*

Tuk... tuk... tuk....

Aku mengerang karena suara itu membangunkanku dari tidurku yang nyaman.

Tuk... tuk... tuk....

Suara ketukan itu kembali terdengar dan semakin keras, memaksaku untuk membuka mata. Namun, hanya kegelapan yang kulihat. Aku memejamkan mata kembali, membukanya kemudian untuk lebih menyesuaikan diri dengan pencahayaan minim yang datangnya dari cahaya lampu lorong yang masuk dari sela-sela pintu kamarku yang tertutup.

Gelap.... Sudah berapa lama aku tidur?

Aku berusaha membangunkan tubuhku yang sedikit terasa lemas, lalu berjalan sambil meraba-raba dinding untuk mencari sakelar lampu.

Ketika aku berhasil menyalakan lampu kamar, suara tuk... tuk... tuk... itu terdengar kembali. Namun, kali ini terdengar jauh lebih keras daripada sebelumnya. Aku melihat sekitar, mencari sumber suara itu, dan medapati jendela kamarku adalah sumbernya. Didorong curiga yang mengalahkan takut, aku berjalan menuju jendela, menduga itu hanya ulah ranting pohon pinus yang mengetuk-ngetuk kaca jendelaku.

Namun, dugaanku salah besar. Apa yang kutemukan justru membuat mataku membesar kaget. Kulihat satu sosok di balik jendelaku. Tudung serta gelapnya malam membuatku gagal melihat jelas rupanya. Tapi, aku jelas merasakan hawanya yang menghantarkan kengerian ke tiap lapis kulitku. Apalagi, tudungnya tak bisa menyembunyikan sepasang mata birunya yang tajam serta bercahaya, layaknya mata kucing pada malam hari.

Meski takut kian gencar menggerogoti jiwaku, aku tak bisa mengalihkan pandangan dari matanya, entah mengapa. Mata biru itu seolah menghipnotisku, menahanku agar terus terkunci padanya. Aku tak mengerti apa yang terjadi, karena yang kurasakan berikutnya adalah hitam yang mengurungku, kemudian tubuhku yang sakit karena menghantam lantai.

*

Setitik cahaya muncul di jarak yang lumayan jauh dari penglihatanku. Ia membesar dan makin menyilaukan. Sesaat kemudian, ia pudar, digantikan oleh hitam yang remang-remang.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali, menyesuaikan penglihatanku pada pemandangan hitam yang minim cahaya—yang aku tidak tahu dari mana cahaya itu berasal. Aku... tidak tahu di mana tepatnya aku berada. Tapi, aku tahu aku tengah terdampar di hutan yang membentang. Pohon-pohon besar dan tinggi ada di sekelilingku, seolah mengurungku. Tumbuhan dengan sulur panjang merambat melingkar pada setiap batang pohon, tersamarkan akibat langit yang gelap serta tertutup oleh awan-awan kelabu yang menggantung di sana.

Hutan yang semula hening mulai mengeluarkan suaranya lewat gerisik dedaunan. Makin lama gerisik itu makin cepat dan keras. Bahkan, ranting-ranting dan dedaunan yang tak mampu bertahan harus rela gugur dan pasrah terbawa angin.

Perlahan, gerisik tadi menghilang bersamaan dengan pudarnya angin yang datang. Hutan kembali menjadi hening, sedangkan aku hanya mengamati dalam diam karena sedang waspada dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sekelebat angin kembali berembus kuat, berbeda dengan yang pertama kali datang. Saking kuatnya, ia mampu merobohkan pepohonan dengan mudahnya. Aku meremas pakaianku sendiri yang berkibar hebat, ketakutan angin itu akan menerbangkanku, kemudian menghempaskanku begitu saja. Apalagi, baru saja aku menyaksikan bagaimana angin yang seolah mengamuk ini meghempaskan sesuatu yang tidak kutahu pasti apa. Yang pasti, suara hantaman yang keras dapat kudengar dari jarak yang tak terlalu jauh, membuat aku makin bergetar ketakutan.

Sesuatu yang kulihat selanjutnya membuat mulutku terbuka lebar. Bahkan, aku tak bisa mengedipkan mata selama beberapa detik. Sesuatu itu bukanlah benda mati, melainkan makhluk hidup. Atau lebih tepatnya... seorang manusia. Aku berusaha lebih jelas mengenalinya, mengenali rambut pirangnya. Matanya tertutup rapat pasca tubuhnya menghantam batang pohon. Gaun biru muda membungkus tubuhnya yang memiliki gores-gores luka baru, begitu pula wajah ovalnya.

Satu kesadaran mengentakku, membuat detak jantungku seakan berhenti sejenak.

Orang itu adalah diriku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top