Bab 3

Omong-omong tentang Tommy, pasti tidak ada lagi yang akan ia lakukan, selain menjahili Clara atau Marzipan dengan peluru karet sebagai senjata. Tommy selalu saja menganggap dirinya seperti jenderal tangguh pemimpin pasukan bak Napoleon. Belum lagi, Marzipan yang hobinya garuk-garuk kalau sudah tidak ada yang mengajaknya bermain. Bulunya rontok kemana-mana. Nah, disaat seperti ini, Paman Drosselmeyer akan bersin-bersin sepanjang hari dan membuat seluruh udara ketenangan di desa ini menjadi ricuh. Sedang Clara? Apa yang akan ia lakukan, selain membaca buku? Tak ada!

Ruangan penuh rak-rak kayu mengilat, dekorasi merah dan hijau yang mendominasi ruangan, serta wangi segar kertas yang bercampur udara dingin, menyambut Clara yang antusias saat memasuki perpustakaan mewah Paman Drosselmeyer. Ada hiasan burung hantu putih yang bertengger di puncak pohon Natal menjulang perpustakaan ini. Jendela berbingkai kayunya begitu besar, sehingga tak perlu lagi lampu tambahan untuk menerangi seluruh perpustakaan saat matahari masih bersinar. Karpet berwarna biru yang hangat serta buku-buku yang disusun rapi memanggil-manggilnya. Oh, inilah harta sesungguhnya milik Paman Drosselmeyer!

Hampir seluruh buku yang ada di rumah Paman Drosselmeyer bersampul plastik. Orang itu memiliki obsesi yang agak-agak keterlaluan untuk menjaga seluruh sampul buku dan kertasnya bersih tanpa noda dan lecek sama sekali—yang mana tidak mungkin—karena kelembaban suhu akan membuat kertas-kertasnya ditumbuhi jamur, lalu berbau apak cepat atau lambat.

Clara menggeser pandangannya ke rak buku yang berjajar rapi, jarinya berhenti pada jilid karya Jules Verne. Petualangan Cyrus Smith di pulau misterius seolah menawarkan pelarian dari realitas yang semakin sempit, dunia di mana setiap kata harus tunduk pada aturan tangan besi. Namun, matanya tak bisa mengabaikan buku lain di sebelahnya—Pride and Prejudice. Nama Mr. Darcy melintas di pikirannya, membawa janji romansa klasik yang begitu berbeda dari suasana suram di luar.

Namun, yang membuat hatinya bergetar bukan hanya tentang pilihan buku yang ada di depannya, melainkan kenyataan bahwa buku-buku Herbert George Wells hingga Agatha Christie juga berada di sini, di rak-rak perpustakaan Paman Drosselmeyer. Buku-buku terlarang, dilarang oleh mereka yang takut pada kebebasan pikiran, kini tersusun rapi seolah-olah tak tersentuh oleh hukum yang berlaku di luar tembok ini. Bagaimana mungkin Paman Drosselmeyer, dengan senyumnya yang tenang dan sikapnya yang penuh teka-teki, memiliki akses ke karya-karya yang seharusnya mustahil ditemukan di Jerman pada saat ini?

Clara memandang rak-rak itu dengan rasa kagum bercampur penasaran. Apa sebenarnya pekerjaan Paman Drosselmeyer? Apakah ia hanya sekadar orang kaya eksentrik yang tak punya kerjaan lain, selain menjadi kolektor benda-benda aneh yang terkumpul di rumahnya atau ada sesuatu yang lebih dalam dan berbahaya di balik sosoknya? Pikiran itu terus mengganggunya saat ia mengulurkan tangan, ragu memilih antara petualangan atau romansa. Di sini, dalam keheningan perpustakaan yang penuh rahasia, Clara merasa seolah-olah berada di ambang petualangan yang lebih besar dari sekadar cerita di halaman buku.

Saat Clara hendak menuju sofa suede biru empuk di perpustakaan itu, ekor matanya tersangkut pada sebuah boneka pemecah kacang hadiah Natal terakhir dari ibunya di tengah ruangan yang berdiri gagah di dalam tabung kaca. Tabung itu mendadak tampak berkilauan seperti perhiasan mahal di dalam etalase. Kini, Clara menebak-nebak lelucon macam apa kira-kira yang berusaha ibunya sampaikan pada Paman Drosselmeyer dengan hadiah dekoratif semacam ini? Apakah ibunya ingin mengatakan kalau Paman Drosselmeyer sudah cukup tua hingga ia membutuhkan boneka pemecah kacang sebagai temannya sejak ia ditinggalkan oleh istrinya? Atau boneka ini mungkin mengandung pesan lain yang lebih personal?

Langkah kakinya tak sadar kini melangkah perlahan antusias. Boneka pemecah kacang ini rupanya agak lebih besar dari yang biasa Clara temukan di toko-toko. Clara menyipitkan matanya. Warna seragamnya merah mengkilap memantulkan cahaya matahari yang menembus dari sela-sela jendela. Matanya warna biru terang dengan sedikit warna hitam dari cat untuk bulu mata lentiknya. Clara pun beringsut sebentar, ingin mengamati boneka tak biasa itu dari dekat. Seperti ada sesuatu yang ganjil pada kepalanya. Sesuatu yang dibenci oleh Paman Drosselmeyer yaitu hal yang tidak simetris. Bukankah topinya miring?

Clara pun meletakkan buku-bukunya di atas meja tempat tabung boneka itu nangkring sebelum mengulurkan tangannya untuk membuka pintu tabung kaca itu. Namun, mengejutkannya, boneka itu mengerling!

Clara tersentak ke belakang penuh waspada. Apa itu barusan? Bukankah tadi kelopak matanya mengedip? Ketika mendekatkan lagi wajahnya untuk kedua kali, Clara membuka matanya lebar-lebar selama lima detik seperti gadis idiot sebelum bola matanya perih karena kurang kelembaban. Kemudian, merasa tolol sebelum ingat kalau boneka itu tidak boleh ia sentuh barang seinci pun.

"Kau tampan sekali, Tuan Pemecah Kacang. Tapi, sayangnya aku tidak boleh menyentuhmu." Lalu, mengambil bukunya dan bergegas melempar diri ke sofa dengan serampangan.

Hari sudah menjadi gelap. Suara serangga malam mulai berisik terdengar. Lama-lama, membosankan juga hanya duduk diam berjam-jam dalam posisi yang sama. Setelah Cyrus Smith kabur dari penjara, lalu kabur dengan balon udara, lalu terperangkap, Kapten Nemo yang muncul tiba-tiba sebagai malaikat penyelamat yang terkesan dipaksakan—ah! Clara menutup bukunya kencang sekali. Rupanya, ia sudah mulai muak meskipun ia menyukai Kapten Nemo setengah mati.

"Clara!" Tommy menerobos masuk pintu perpustakaan Paman Drosselmeyer tanpa mengetuk.

"Tommy! Sedang apa—"

"Ayo, main! Paman tertidur di ruang tengahnya. Dengkurnya menyebalkan sekali—"

Tommy dan Marzipan, gumpalan menggemaskan berwarna putih itu berlarian mengelilingi meja yang di tengahnya berdiri boneka pemecah kacang milik Paman Drosselmeyer.

"Tommy, stop! Keluar dari sini! Paman tidak mengijinkanmu—"

"Wow! Boneka ini bisa jadi kaptenku!" Tommy mendesah kagum. Tangannya dengan cepat meraih kenop tabung kaca dan menggondol boneka kayu itu dari tempatnya.

"Tommy! Letakkan boneka itu sekarang juga!" Clara berdiri waspada memperingatkan Tommy. Tommy melonjak-lonjak girang.

"Marzipan! Lihat kapten baru kita!" Tommy menyiul, kucing itu menjengit waspada, lalu berlari mengikutinya.

"Tommy! Hentikan sekarang juga—" Clara kini harus berusaha menangkap Tommy sebelum pamannya bangun karena kegaduhan ini. Tommy mengangkat-angkat boneka itu ke udara mengejek Clara yang terengah-engah hampir mampus mengejar Tommy yang sedari tadi mengecohnya terus-menerus. Kenapa, sih, anak kecil di mana-mana selalu merepotkan seperti ini?

"Kembalikan!"

"Ayo, main lempar-tangkap!"

"Tidak! Ini sudah malam—Tommy!" Clara menyergah kasar.

Tommy melempar boneka itu ke seberang ruangan tempat Clara menghadang-hadang Tommy. Clara mendadak berhenti agar bisa menangkapnya dengan tepat. Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan; boneka pemecah kacang jatuh ke lantai. Menimbulkan suara krak yang nyaring.

"Tommy—sialan—Lihat ulahmu!" Clara memekik.

Clara tak dapat menahan dirinya untuk mengumpat sembari berjongkok sedih memungut boneka pemecah kacang yang lengannya telah patah. "Oh ... Paman tidak akan pernah lagi mengizinkanku memasuki perpustakaannya—apa, sih, masalahmu, Tommy? Kenapa kau tidak bisa duduk tenang barang lima detik saja?" sergah Clara.

Di seberang ruangan, Tommy berdiri membeku karena rasa bersalah.

"Clara ...," ujar Tommy menyesal.

"Pergilah, Tommy! Tidurlah sekarang juga! Bawa Marzipan pergi dari perpustakaan Paman!" teriak Clara kesal sekali. Namun, Tommy memekik lebih histeris lagi.

"Kalau kau lebih peduli boneka kacang itu daripada aku, tinggal saja sana bersama boneka kacang jelek itu! Kau tak pernah peduli padaku, Clara. Kau selalu egois memikirkan dirimu sendiri! yang kehilangan ibu bukan cuma kau!" Seperti balita ngambek, bocah 9 tahun itu memutar tubuh menghentakkan kaki pergi dari tempat itu.

Setelah Tommy berkata demikian—disertai dengan sumpah serapah khas anak kecil—pintu yang dibanting keras menyisakan gema yang menyakitkan hingga Clara bersimpuh di lantai. Kata-kata Tommy barusan seperti pisau es yang menusuk hatinya. Perapian ini pun tak ada gunanya. Apa benar Clara tidak pernah memedulikan Tommy? Clara selalu mengurus, membacakan cerita untuk Tommy sebelum tidur dan menjaganya saat ayahnya sedang pergi ke luar kota. Semuanya menuntutnya untuk mengerti dan menjadi tegar. Siapa yang akan memedulikan perasaannya? Apakah semua ini salahnya?

Semua ini salah Führer itu! Nazi-lah yang membuatnya menjadi kehilangan ibu! Ia ingin sosok ibunya yang selalu menyisir rambutnya sebelum tidur dan selalu mengecup ubun-ubunnya itu kembali! Air mata Clara mulai menitik satu per satu pada permukaan wajah boneka pemecah kacang. Kalimat-kalimat itu menggaung terus-menerus memenuhi kepala, hingga akhirnya ia menangis tersedu-sedu di bawah sinar rembulan yang menyelinap lewat celah jendela.

Kemudian, ketika menyadari bahwa harapan itu tidak akan pernah terwujud selamanya, ia berkata pada boneka itu seolah-olah ia adalah manusia yang dapat mendengarnya.

"Maafkan aku, Tuan Pemecah Kacang. Mari kita perbaiki lenganmu. Aku akan meminta maaf besok. Mungkinkah Paman akan marah besar dan mengusirku langsung tanpa tahu akan pergi kemana?" Clara melepas pita rambutnya, lalu mengikatkannya pada lengan boneka pemecah kacang itu. Rambutnya emasnya kini terurai indah.

"Aku rindu berpetualang. Menghabiskan waktu di jalanan kota. Melihat pita-pita di toko—" gumamnya masih terisak. Clara mengelap air mata yang telah mati-matian ia bendung sejak ayahnya pergi sehari yang lalu.

Clara memandangi boneka itu dengan rasa khawatir dan sedih karena sikap Tommy barusan. Buliran air mata Clara menitik di atas wajah mengilap boneka kayu itu hingga membuat mata birunya makin berbinar-binar lagi.

Tuan Pemecah Kacang telah Clara kembalikan ke tabung kaca—tentu dengan pita rambut yang terikat di lengannya—sedangkan malam telah larut dan perpustakaan Paman Drosselmeyer sepi. Dari balik pintu, suara dengkuran Paman Drosselmeyer terdengar samar-samar di kejauhan. Jam di dinding menunjukkan waktu pukul 12.00 malam dalam beberapa menit lagi.

"Menurutmu, kapan perang ini akan berakhir, Tuan Pemecah Kacang?"

Itulah satu-satunya pertanyaan pamungkas yang digaungkan Clara dalam pikirannya sebelum tertidur pulas di depan perapian, seakan-akan seluruh masalah jawabannya adalah kalau perang dunia ini berakhir.

Clara meringkuk di depan perapian yang mulai meredup, dengan air mata mengering di sudut matanya. Kapan ia bisa berjalan-jalan di kota tanpa takut pada derap bot besar Sturmabteilung yang menguasai trotoar atau patroli Schutzstaffel yang mengawasi dengan tatapan curiga? Jalanan tak lagi dipenuhi obrolan riang, melainkan parade kendaraan militer dan poster-poster besar bergambar sang Führer. Tiap sudut kota seolah diawasi mata Gestapo yang tak pernah tidur, mencari siapa saja yang dianggap pembangkang. Kapan terakhir kali ia bisa menikmati roti tanpa terputus oleh suara penyiar radio yang menyampaikan propaganda Nazi? Suara berita tentang gugurnya pasukan di Polandia atau hilangnya tetangga yang dibawa pergi tanpa jejak terus membayangi benaknya seperti hantu yang tak pernah pergi.

Tubuhnya yang kelelahan karena perjalanan panjang ke rumah Paman Drosselmeyer tadi pagi membawa pikirannya dengan singkat ke padang ladang gandum yang terhampar kuning sepanjang mata memandang. Awannya berwarna merah jambu dan ia bertemu dengan Pangeran tampan berambut cokelat di ladang itu. Mimpi itu—tentu saja—terasa sangat menyenangkan bagi Clara yang baru saja berseteru dengan Tommy.

Mimpi adalah penyembuh jiwa-jiwa muram yang menyimpan luka mendalam akibat duka dan tragedi dengan efek samping manis; senyum-senyum sendiri di tengah lelap.

Udara di ruang perpustakaan Paman Drosselmeyer mendadak berubah menjadi aneh. Kabut mulai muncul menyelimuti di atas langit-langit perpustakaan hingga menyebabkan waktu seakan berdilatasi. Burung Cuckoo jam dinding bersuara kikuk mulai menyembul dalam dentingan yang begitu lamban.

Cukcoo!

Cuckoo!

Cuckoo!

Clara terperanjat dari mimpinya barusan akibat suara mengagetkan dari jam dinding yang sedang menyembulkan burung mainan itu. Namun, Clara bergegas menguasai diri dengan cepat. Saat ini muncul suara gemerisik yang entah dari mana sumbernya, tetapi cukup mengkhawatirkan. Takut-takut kalau itu adalah pencuri, ataupun Schutzstaffel yang hendak menyabotase rumah Paman Drosselmeyer di tengah kegelapan malam ini.

Clara melirik jam dinding itu, ada sesuatu tentang suaranya yang terdengar tidak biasa. Burung cuckoo yang biasa hanya muncul sekilas, kini tampak melongok lebih lama dari biasanya seperti sedang mengawasi sesuatu yang tidak kasatmata.

Sambil menelan ludah, Clara mulai merangkak mengendap-endap, meraih benda apa pun yang berat untuk berjaga-jaga, lalu bersembunyi di balik pintu perpustakaan. Ia mengintip di celah pintu, tetapi sepertinya tak ada siapapun. Namun, mengapa suara gemerisik itu masih ada? Bahkan, kini suara bisik-bisik seseorang pun terdengar dengan jelas! Siapa itu? pencuri yang bergerombol? Atau pasukan Nazi yang hendak menerobos ....

"Halo, Nona," sapa suara parau di belakang Clara. Suara itu terdengar pelan, tetapi ada nada ancaman di balik keramahannya. Clara berbalik dengan cepat, hanya untuk mendapati sepasang mata yang begitu tajam seperti bisa menembus hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top