Bab 2

Salju yang turun seperti butiran kapas dingin menandakan bahwa Natal akan datang sebentar lagi. Seperti yang telah diketahui, Clara Stahlbaum bersama kucingnya—Marzipan—dan adiknya, Tommy Stahlbaum, akan menginap beberapa hari di rumah Paman Drosselmeyer sementara ini. Gerbang itu terbuka otomatis tanpa ada seseorang yang menjaganya seperti yang sudah mengerti bahwa akan ada seseorang yang tiba dan secara tak langsung mengatakan bahwa pemilik rumah telah mengizinkan mereka untuk masuk ke halaman luar milik Paman Drosselmeyer. Alaric membantu Clara untuk turun, memencetkan bel rumah untuk mereka, lalu hendak beranjak pergi. Namun, Clara menahannya.

"Tunggu! Er ... terima kasih atas kebaikanmu, Herr Hauptmann," ujar Clara sungguh-sungguh.

Alaric melirik jemari ramping serta pucat milik Clara yang mendadak memantik rasa antusias, penasaran akan bagaimana rasanya jika jemari itu bersanding dengan kentang panggang, kemudian berkata, "Sampai bertemu lagi." Tatapnya sungguh-sungguh dengan dingin yang juga sama penuh maknanya.

"Siapa namamu?" tanya Clara buru-buru.

Namun, Alaric hanya membalasnya dengan sebuah senyuman tipis dan langsung masuk ke mobil dengan perasaan yang entah bagaimana terasa hangat di dadanya. Lalu, perwira muda itu pergi tanpa aba-aba, meninggalkan Clara dengan perasaan senang karena pria itu tak seperti anggota Nazi yang lain dan perasaan hampa karena Clara mungkin tak akan pernah bertemu dengan 'teka-tekinya' lagi. Clara mengira-ngira berapa usianya seiring dengan laju mobil yang makin menjauhi mereka. Melihat rautnya, bisa dibilang perwira itu masih berusia dua puluhan, 24 tahun, mungkin? Dan, membayangkan jika seandainya mereka dapat berteman tanpa semua situasi ini menjadi oase yang menyenangkan dalam pikirannya.

Pintu besar dari kayu ek milik Paman Drosselmeyer pun berderit pelan dengan sendirinya. Hawa hangat menyambut mereka, membawa aroma kayu terbakar, lilin wangi, dan sesuatu yang tak asing—campuran debu tua dan aroma tinta. Bau yang selalu ia asosiasikan dengan Paman Drosselmeyer.

"Clara! Tommy!" sambut Paman Drosselmeyer ceria pagi itu. "Oh, Marzipan, si Bulu Pu—ha ... haa—chuh!" Suaranya menggelegar seperti gledek.

Ya Tuhan, ini bahkan belum seperempat hari.

"Lama sekali kalian sampai di sini?" Suara dalam dan lembut bergema dari tangga besar di seberang ruangan. Paman Drosselmeyer tampak sedang menuruni tangga dengan jubah tidur panjang berwarna biru tua yang menyapu lantai, kacamata bundarnya bersinar memantulkan cahaya lampu. Wajahnya dihiasi senyum tipis, dengan garis-garis halus yang menandakan kebijaksanaan sekaligus rahasia-rahasia yang ia sembunyikan.

"Paman." Clara tersenyum kasihan saat melihat hidung pamannya telah berair seperti itu. Mobil yang mengantar Clara dan Tommy baru saja berlalu saat gadis ini menurunkan Marzipan yang bergegas lari masuk karena kedinginan. Sedang Tommy, tanpa basa-basi lagi ikut menyusul Marzipan berlari kencang menerobos Paman Drosselmeyer.

"Hei! Tommy!" seru Clara. "Tidak sopan seperti itu!" Anak kecil itu sungguh merepotkan.

"Ah, tidak apa-apa, keponakan kesayangaku—Marie!" teriaknya pada asisten rumah tangganya dengan nada khawatir yang tipis. "Awasi Tommy. Sini berikan tos!"

Paman Drosselmeyer sudah mengangkat tangannya untuk melakukan tos keakrabannya dengan Clara yang wajahnya sudah tak enak akibat ulah Tommy. Menerimanya dengan hangat, meskipun orang-orang lain yang tak mengenalnya akan melihatnya sebagai sikap yang tak biasa pada pria setengah baya dengan aura eksentrik seperti dirinya. Clara pun membalas tos sang paman dan melakukan gerakan tangan rumit kekanak-kanakkan itu hanya demi nostalgia masa lalu yang sebenarnya ... tidak ada nostalgia-nostalgianya sama sekali.

"Betapa besar Tommy sekarang, ya? Dan ... kau, Nak. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih anak kecil yang suka bertanya terlalu banyak tentang mesin jamku."

Clara tersenyum canggung, merasa seperti seorang anak kecil lagi di hadapan pria itu. Ada sesuatu tentang Paman Drosselmeyer yang selalu memancarkan otoritas yang aneh. Bukan jenis otoritas yang menuntut rasa hormat, tetapi mengundang rasa penasaran.

Suara-suara ledakan meriam terdengar di udara. Paman Drosselmeyer bergegas melambai-lambai tangannya panik agar Clara tak diam saja di depan pintu dan menyuruh Clara masuk agar bunyi-bunyian mengerikan itu tak mengganggu ketenangan remaja yang hendak berlindung di istananya ini.

"Mari, masuk," katanya. "Kalian pasti lelah. Namun, aku ingin menunjukkan padamu sesuatu nanti."

Rumah itu persis seperti yang diingat Clara, penuh dengan benda-benda aneh dan indah seperti museum pribadi seorang kolektor gila. Ada jam besar berdiri di sudut, dengan lonceng yang berbunyi setiap lima belas menit. Di meja ruang tamu, ada boneka porselen yang memandang dengan mata kosong dan di dinding, lukisan-lukisan yang menggambarkan adegan fantastis dari dunia lain.

Namun, apa yang paling menarik perhatian Clara adalah perpustakaan besar di sisi kanan rumah, yang pintunya setengah terbuka. Drosselmeyer melihat keponakannya yang pandangannya tersedot pada pintu perpustakaannya dan tersenyum tipis.

Karena apa lagi yang akan Clara lakukan selama di sini? Ia bosan, butuh berpetualang ke tempat lain yang lebih baru. Situasi perang terkutuk inilah yang membuatnya tak dapat melakukan apa-apa. Maksudnya, lihat hamparan salju yang menutupi pekarangan ini? Tidak ada seru-serunya sama sekali. Bahunya sudah turun tak bersemangat, ditambah lagi udara dingin yang membuat jempol kaki beku. Jadi, apalagi kegiatan yang akan membawanya pergi berpetualang dari tempat nyentrik ini? Ya, hanya buku cerita. Clara melirik Gullivers Travel di pelukan yang sampulnya sudah lecek.

Tak disangka, Drosselmeyer mengarahkan langkahnya menuju perpustakaan.

"Ayahmu, masih saja keras kepala," kata Drosselmeyer dengan suara rendah. "Aku khawatir dia belum memahami sepenuhnya mengenai betapa berbahayanya situasi sekarang. Hubungannya dengan Rothschild itu cukup untuk menarik perhatian Gestapo."

Clara mengepalkan tangannya. "Dia hanya mencoba membantu teman-temannya. Orang-orang yang tidak punya apa-apa lagi setelah Kristallnacht menghancurkan semuanya."

"Mungkin begitu," balas Drosselmeyer, suaranya sedikit melembut. "Tapi, dia sudah kehilangan pekerjaannya karena itu dan aku tidak ingin dia kehilangan lebih banyak lagi. Apa sebaiknya aku suruh Kapten tadi saja untuk menjemputnya seperti kau tadi?"

"Kenapa orang seperti Herr Hauptmann membahayakan hidupnya sendiri untuk menolong orang-orang sepertiku? Apa Paman tahu sesuatu?"

Drosselmeyer tersenyum. "Biarkan hal itu menjadi urusannya, Clara. Sekarang yang penting adalah keselamatan keluargamu dan apa yang dapat kita lakukan—kalau bisa—untuk menghentikan kekejaman-kekejaman Hitler yang akan datang. Kau tidak dapat menyelamatkan orang lain sebelum menyelamatkan dirimu sendiri, Clara."

"Paman benar. Aku pikir itu ide bagus, Paman. Paman tidak ingin aku dan Tommy jadi yatim piatu, kan?"

"Tentu saja." Paman Drosselmeyer mengangkat pundaknya dan alisnya seperti sudah dapat memaklumi pekerjaan adik iparnya itu. Mereka berdua berjalan ke arah perpustakaan yang sudah mencuri perhatian Clara sejak tiba dan memasukinya. Clara memandang ruangan perpustakaan Drosselmeyer lagi dengan takjub. Buku-buku berjajar dari lantai hingga langit-langit dan aroma kayu tua serta debu bercampur menjadi aroma yang anehnya menenangkan. Paman Drosselmeyer, dengan kacamata bulat kecil bertengger di hidungnya, mengamati Clara yang tak sadar gagal menahan rasa antusiasnya disamping rasa cemas yang menghinggapi hatinya akibat ayahnya yang masih berada di luar sana.

"Clara," panggil Paman Drosselmeyer dari balik meja kerjanya, nada suaranya rendah dan penuh arti. "Ada sesuatu yang ingin aku serahkan padamu. Sesuatu yang mungkin sudah terlalu lama menunggumu."

Clara menoleh, bingung. Ia mendekati meja tempat pamannya duduk, melihat sebuah kotak kecil dari kayu berukir di atas meja. Ukirannya rumit, menggambarkan cabang pohon yang melilit membentuk lingkaran.

Drosselmeyer membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan liontin perak dengan batu kecil berwarna biru pucat di tengahnya. Batu itu berkilauan lembut meskipun cahaya di ruangan redup.

"Ibumu memberikan ini kepadaku sebelum dia meninggalkan dunia ini," kata Drosselmeyer, suaranya kini serak, seperti mengenang sesuatu yang sulit. "Dia bilang, suatu hari nanti, benda ini harus kembali padamu."

Clara memandang liontin itu dengan perasaan campur aduk. "Ibu? Kenapa dia tidak memberikannya sendiri?" tanyanya, suaranya bergetar.

Drosselmeyer tersenyum tipis, sorot matanya serius. "Aku percaya, ibumu ... memiliki rahasia yang sangat besar, Clara. Rahasia yang bahkan aku sendiri tak sepenuhnya memahaminya. Namun, aku tahu satu hal, liontin ini lebih dari sekadar perhiasan. Ia adalah bagian dari dirimu, bagian dari sesuatu yang lebih besar."

Clara meraih liontin itu dengan ragu. Saat jari-jarinya menyentuh permukaannya, sebuah kehangatan aneh menjalar di telapak tangannya, seolah-olah liontin itu hidup, merespons sentuhannya.

"Apa itu?"

"Ada banyak hal tentang ibumu yang belum kau ketahui, Clara," kata Drosselmeyer dengan nada berat. "Tapi, ini bukan waktunya untuk semua jawaban. Simpan ini baik-baik. Percayalah, kalung ini akan menunjukkan jalannya ketika waktunya tiba."

Clara menggenggam liontin itu erat, merasakan bebannya, bukan hanya fisik, melainkan juga emosional. Ia tidak tahu apa arti dari kata-kata pamannya, tetapi untuk saat ini, ia hanya bisa mengangguk, menatap pamannya sejenak. Lalu, melempar tatapannya lagi pada sekeliling ruangan sembari berpikir bahwa, ya, mungkin kalung ini akan membantunya melewati masa-masa sulit era ini seperti benda-benda sentimental lainnya.

"Ruang ini selalu berhasil mengalihkan perhatian, bukan?" Drosselmeyer berkata sambil menyipitkan mata, mencoba membaca ekspresi Clara.

Clara mengangguk pelan. "Ya, Paman. Tapi ... rasanya sulit untuk benar-benar menikmati semuanya dengan ... ayah yang masih di luar sana. Aku tahu, dia sedang membantu mereka, tapi aku tidak bisa berhenti khawatir. Aku pun tak habis pikir kenapa Ayah menolak ide pergi ke Palestina dan malah memilih untuk tetap di sini membantu keluarga-keluarga itu."

Drosselmeyer menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursinya dan memakaikan liontin itu ke lehernya. "Ayahmu adalah pria yang berani, Clara. Tapi, keberanian terkadang berarti harus mengambil risiko yang besar." Ia berjalan ke salah satu rak buku, mengusap sebuah ukiran tua di salah satu rak, lalu menoleh kembali ke arah Clara. "Dan, aku tahu, ini tidak mudah untukmu. Aku pikir ayahmu punya alasan tersendiri untuk itu."

Drosselmeyer melanjutkan, "Ayahmu waktu itu bilang, 'Lari ke Palestina bukan jawaban. Apa artinya membangun tanah air di tempat lain—kita bahkan berpotensi untuk melakukan kekejian yang sama seperti Nazi—sementara kita membiarkan tanah kita sendiri direnggut oleh para tiran? Melawan mereka di sini adalah satu-satunya cara agar dunia melihat kesalahan ini.

"' Lagi pula, Inggris sama sekali tak menjamin kami bisa diterima. Apakah kita akan membiarkan Kanselir atau Goebbels memaksa kita keluar dari rumah kita sendiri? Apa yang akan Clara pelajari dari itu? Bahwa ketika kejahatan datang, kita hanya berlari dan meninggalkan segalanya?"

Clara menunduk, merasa beban kekhawatirannya lebih berat daripada yang ingin ia akui. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Drosselmeyer melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih lembut, hampir berbisik.

"Kau boleh menghabiskan waktu di tempat ini kalau kau mau." Sembari menunjuk punggung buku Gullivers Travel di pelukan Clara yang sudah hampir copot. Paman Drosselmeyer menjadi bersimpati saat melihat buku yang kondisinya sangat menyedihkan itu.

"Kupikir, kau sudah cukup dewasa untuk mengembalikan sesuatu pada tempatnya, jadi silakan saja. Jangan lupa untuk menutup kembali pintu perpustakaan itu. Tidak boleh ada Tommy ataupun sehelai bulu Marzipan di kursi, oke, Clara?" ujarnya memastikan.

Gadis itu mengangguk menahan rasa antusias.

Kalau begitu, Clara sudah menetapkan tujuannya di rumah ini. Petualangannya akan berlokasi di perpustakaan kecil Paman Drosselmeyer. Clara memandangi punggung Paman Drosselmeyer yang bergeser dari ruangan itu ke ruangan lain—garis miring—mengawasi Tommy agar tak merusak salah satu pajangannya yang bertengger indah di rak-rak. Ia tidak jadi mati bosan memandang keluar jendela sembari menghitung bunyi meriam di udara.

"Dan, ingat, jangan menyentuh boneka pemecah kacang yang ada di tabung kaca ini. Mengerti?" Paman Drosselmeyer berbalik mengangkat alisnya, tatapannya mengarah ke sebuah boneka pemecah kacang yang lumayan besar di dalam tabung etalase itu.

"Kenapa?"

"Itu bukan sembarang boneka pemecah kacang, Clara. Ini adalah hadiah Natal terakhir dari ibumu untukku." Drosselmeyer mengerling sebelum menutup pintunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top