Written by. CH-Zone

Gue nggak pernah doyan jamur dalam bentuk apapun. Kayak aneh aja gitu. Tapi tumis jamur buatan Rara itu jadi menu jamur pertama yang bisa gue nikmatin tanpa eneg, yang sebenernya dia nggak kasih tahu soal nama makanan tapi gue makan sampe habis.

"Kenapa lu nggak bilang kalo itu jamur?" tanya gue judes sambil mencuci tangan sehabis makan.

"Emangnya harus?" tanya Rara balik yang bikin gue auto nengok.

Doi lagi ngelap meja makan tanpa melihat ke arah gue. Kami habis makan malam untuk kesekian kalinya. Nggak terasa udah hampir satu bulan doi sewa kamar Tomo. Sesuai kesepakatan, doi masak dan urus rumah, sementara gue urus yang lain-lain.

"Gue nggak suka jamur," jawab gue nyolot.

Rara berhenti dan menoleh ke gue.

"Tapi lu abis," balasnya sinis.

"Karena gue nggak tahu kalo itu jamur. Coba kalo gue tahu, pasti gue nggak bakalan makan," sahut gue.

Rara mengangkat bahu dan kembali melanjutkan aktifitas ngelap-nya dengan cuek. "Kalo udah disiapin makan, dimakan aja nggak usah ribet nggak mau ini itu."

"Buktinya gue makan, kan?"

Rara kembali berhenti karena udah selesai ngelap dan memperhatikan gue lagi.

"Lu tuh ribet jadi cowok. Siapin makan, pake segala macam harus bilang makanan apa. Kalo dikasih tahu, pake sewot karena nggak merasa itu penting buat dibilangin!" omelnya sambil menyilangkan tangan.

"Kapan gue kayak gitu?" tanya gue nyolot.

"Dua hari lalu waktu gue masak sop kimlo! Gue kasih tahu itu namanya kimlo saat lu masih kekeuh kalo itu sop kembang tahu!" jawabnya galak.

Gue kicep. Iya juga ya, sejak kapan gue jadi ribet gini? Apa karena ini pertama kalinya gue tinggal bareng sama cewek dan adu bacot adalah hal yang penting buat dilakuin? Waktu sama Tomo, gue cinta damai.

"Iya deh, iya, gue salah, tapi seriusan itu nggak kayak jamur. Dan tadi pertama kalinya gue makan jamur sejak SD," ucap gue ngalah. Ada rasa puas kalo berhasil bikin orang emosi dan kalo udah kayak gitu, gue auto mundur.

Rara diem sambil liatin gue kayak mau nelen, kemudian meringis sambil geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke washtafle buat cuci kain lap. Doi nggak ngomong apapun dan diem aja.

"Lu udah minum obat belum?" tanya gue sambil memperhatikannya yang lagi cuci tangan setelah membereskan kain lapnya.

"Udah," jawabnya singkat.

"Ada masalah lagi?" tanya gue kemudian.

Rara mematikan keran dan mengangkat tatapan pada gue dengan sorot mata datarnya. Gue suka heran sama cewek ini, kenapa bisa pasang ekspresi tanpa emosi tapi dalam dirinya pasti lagi kacau balau.

Meski belum genap sebulan pindah, tapi gue yakin kalo doi punya banyak masalah makanya sampe harus sewa kamar dan tinggal bareng sama gue. Umurnya kira-kira lebih muda beberapa tahun, tapi isian otaknya kayak udah uzur.

"Gue nggak tahu ada masalah apa tapi gue nggak nyaman," jawabnya.

Semenjak doi sakit, doi jadi lebih terbuka sama gue, khususnya soal kerjaan. Dari ceritanya, perusahaan travel tempat doi kerja punya bos laki bini yang bermasalah. KDRT di depan para karyawan sampe Rara jadi korban cemburu butanya bini bos. Meski Rara nggak bisa dibilang cantik, tapi juga nggak bisa dibilang jelek. Harusnya bini bos kalo mau cemburu juga pake logika. Mana mungkin lakinya bisa mau sama anak cebol yang suka maen di kali kayak gini?

Rara nggak pernah make up, gue juga yakin kalo doi lupa pake krim sunscreen, tapi kulitnya bersih dan mulus. Doi natural tapi nggak pernah dirawat. Gue pernah masuk kamarnya dan nggak gue dapetin varian krim kayak cewek-cewek lainnya di meja rias. Cuma satu macam krim pelembab, lip gloss, dan sisir di meja itu. Ckckck.

"Lu takut dicemburuin lagi?" tanya gue dan doi langsung mengangguk.

"Bukannya dia udah minta maaf dan bos lu suruh masuk aja?" tanya gue lagi.

"Polanya udah terbentuk dan itu terus berulang," jawabnya malas.

"Kalo gitu, resign aja," balas gue yang bikin doi auto melotot.

"Mana bisa? Gue kan perlu kerja!"

"Cari tempat lain."

"Nggak gampang buat cari kerjaan."

"Ya kalo lu nggak coba kapan bisanya?"

"Udah, tapi belum ada panggilan."

Gue kicep. Meski terlihat tenang, tapi gue yakin kalo Rara banyak pikiran. Doi pamit ke kamar duluan setelah minum obat. Gue nggak mau tanya apa-apa lagi kalo orangnya sendiri nggak mau cerita banyak. Prinsip gue dalam bantuin orang adalah bantu sesuai kebutuhan. Kalo doi butuh peluk, gue peluk. Butuh enak, gue enakin. Simple.

Sampai akhirnya, gue mutusin untuk balik kerja di lantai bawah demi kelarin presentasi buat klien baru. Rencananya, gue dan Tomo akan ketemu calon klien besar besok, dan kalo bisa tembus, ini akan jadi proyek terbesar kami.

Ketukan di pintu terdengar dan bikin gue auto nengok. Pintu terbuka dan kepala Rara nongol setelahnya. Doi terlihat panik dengan mukanya yang pucat banget dan kayak ada suara getar ponsel. Kenapa lagi sih tuh cewek?

"Mau apa?" tanya gue judes.

Rara masuk sambil mengarahkan ponselnya yang ada voice call dengan tulisan 'bossy rese' dilayarnya.

"Kenapa?" tanya gue bingung.

"Ini bos cewek gue telepon," jawabnya dengan muka panik.

"Terus kenapa nggak diangkat?" tanya gue balik.

"Gue nggak mau," jawabnya sambil geleng-geleng.

Gue auto keki. "Ya nggak usah dijawab, ngapain lu samperin gue pake kasih tahu hal yang nggak penting gitu?"

"Dia udah telepon lima kali," jawab Rara dengan suara mau nangis, mukanya juga. "Gue nggak sanggup buat terima tuduhannya yang nggak-nggak."

"Kalo lu nggak salah, buat apa lu takut?" balas gue sengit.

"Masalahnya dia nggak terima penjelasan apapun dari gue."

"Terus kenapa samperin gue?"

Rara terlihat gugup, panik, juga takut. Mukanya pucat abis.

"B-Barangkali kalo dia denger suara lu yang angkat telepon gue, dia akan mikir kalo gue punya... c-cowok," ucapnya kemudian.

WTF? Gue cuma bisa melongo ngeliat Rara yang auto bikin gue nilai doi dari ujung rambut sampe ujung kaki. Dia minta gue belaga jadi cowoknya? Cih!

"Gue nggak mau!" tolak gue mentah-mentah.

"Gue cuma minta tolong aja buat angkat dan suruh dia nggak usah telepon karena gue udah tidur. Bilangin aja kalo besok gue bakalan masuk," seru Rara sambil terus menyodorkan ponselnya yang masih bergetar.

Tai banget sih yang telepon, kenapa harus nguberin anak cebol saat udah punya keluarga gitu sih? Dilihat dari segi manapun, Rara nggak bisa jadi pilihan, apalagi saingan.

"Gue tetep nggak mau!" desis gue kesal.

"Please, kali ini aja bantuin gue," balas Rara dengan muka melas.

"Nggak mau!"

"Tolongin gue, Zo."

"Kenapa gue harus tolongin lu?"

"Karena kita tinggal bareng dan kalo lu kenapa-napa, misalkan kalo lu mati, ada gue yang bantu urus pemakaman lu, minimal panggil ambulans dulu."

Gue melotot galak sambil menatap Rara nggak senang. "Mulut lu minta gue..."

"Bantuin gue makanya!"

"Biar apa? Ada untungnya buat gue?"

"Biar gue diem dan nggak usah gangguin lu kerja sekarang! Please!"

Kalo tadi muka Rara melas, sekarang malah lebih galakan dia. Apaan sih? Gue jadi auto bego dengan ladenin cewek rese kayak gini.

Supaya nggak buang waktu lagi, gue langsung ambil ponsel Rara sambil terus melotot sama doi. Tanpa melihat, gue swipe ponselnya untuk terima telepon dan langsung mengernyit pas dengerin suara ocehan panjang lebar yang nggak enak banget didengar.

"Rara! Kamu ya! Saya telepon kamu berkali-kali nggak diangkat! Ketahuan kan kalo kamu main gila sama suami saya? Hah? Alasan sakit tapi nggak berani ketemu sama saya, iya kan? Asal kamu tahu yah, jangan mentang-mentang kamu ponakannya temen baik suami saya jadi bebas bertingkah! Jangan bikin malu Om kamu dengan jadi jalang murahan yang..."

"HEY! BISA DIEM GAK SIH LU?" bentak gue kasar dan cewek gila di sebrang telepon auto kicep.

Rara kaget sampe lompat tapi gue nggak peduli. Emosi banget gue denger sewotan laknat kayak tadi dan bener-bener kayak nggak pernah sekolah. Gue yakin kerjaannya cuma main cinta-cintaan sampe jadi buta kayak gitu.

"I-Ini siapa?" tanya orang itu dengan suara kaget.

"Bukan urusan lu! Yang harus gue tanya, lu siapa, Anjir? Malem-malem telepon orang trus ngebacot nggak karuan!" jawab gue nyolot.

"Saya carinya Rara! Mana Rara? Ini kan nomornya!" sahutnya yang bikin gue auto mendidih.

"Rara tidur! Kalo lu mau cari dia, lu ngomong aja sama gue!" balas gue sinis.

"Ini siapa?"

"Bukan hal penting gue siapa!"

"Heh, kamu jangan kurang ajar yah sama saya! Ini saya telepon..."

"Yang kurang ajar duluan siapa? Lu yang telepon terus langsung ngebacot dan nuduh orang sembarangan!" sela gue emosi.

"Saya nggak nuduh sembarangan!"

"Lu punya bukti? Kalo buktinya cuma tuduhan sama bacotan lu, nggak heran banget kalo laki lu bisa main diluaran! Tapi gue yakin seribu satu persen kalo dia nggak bakalan sudi sama Rara. Jadi, lu balilk sana ke laki lu, mencak-mencak sama dia udah ngecrot dimana aja!"

"Kamu siapa, hah? Berani sama saya dan ngomong sembarangan!"

Oh, God! Where the hell is this crazy woman come from?

"Kenapa gue nggak berani sama lu? Lu bukan siapa-siapa dan nggak berarti apa-apa. Jangan pernah ganggu Rara dengan semua tuduhan lu kayak tadi!" ucap gue sambil menatap Rara yang terlihat mau nangis di depan gue. Ckck.

"Siapa kamu? Daritadi saya tanya nggak dijawab-jawab! Saya nggak bakalan segan panggil polisi dan perkarakan kamu karena udah sembarangan ancam saya kayak tadi!"

"Gue dajjal! Dan gue pastiin lu bakalan nyesel karena berani nantangin gue!"

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Maaf kalau baru sempat update untuk cerita ini.
Happy weekend buat semuanya. 💜

06.05.23 (15.30 PM)