Part. 4 - Chaos
Harusnya udah sejak dua hari lalu tapi aku baru sempet hari ini.
Hai, Semuanya.
Semoga kamu selalu sehat dan baik2 aja ya, tetap semangat.
Borahae. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Sebenarnya aku nggak tahu apa yang Zozo bilang itu bener atau nggak karena aku nggak merasa kayak gitu. Kalau dia bilang aku nggak sopan dan kurang ajar, rasanya aku udah cukup sopan buat permisi. Tapi apa yang dia bilang itu menyakitkan hati. Dadaku sesak dan susah napas. Berniat untuk keluar rumah supaya nggak ada masalah serupa, tapi kenapa aku justru ketemu lagi sama orang yang dengan mudah menuduh dan mengira-ngira tentang aku padahal nggak kenal?
Papa dan Mama nggak pernah kasih tahu harus seperti apa dan bagaimana. Yang mereka suruh adalah aku harus jadi anak yang penurut, anak yang bersikap baik, dan nggak cari masalah. Seberapa besar aku mencoba dan berusaha untuk jadi orang yang mereka inginkan, tapi mereka semakin mencari celah dan salah.
Setelah sehari aku pergi dari rumah, Galbert dan Garry mencoba mencariku dengan telepon dan chat bertubi-tubi. Aku nggak balas atau angkat telepon mereka. Aku nggak mau berhubungan dulu. Papa dan Mama sudah pasti menyuruh mereka tapi aku nggak peduli. Penghakiman mereka atas diriku sudah nggak mampu aku tahan lagi.
Di hari berikutnya, yaitu hari ini, aku mencoba menguatkan diri untuk bekerja. Baru lulus sekitar dua bulan, Om menawariku sebuah pekerjaan sebagai staff accounting di sebuah perusahaan travel milik teman baiknya. Aku baru bekerja sekitar satu bulan.
Aku keluar dari kamar jam tujuh pagi dan hanya ada lampu kecil yang menerangi di koridor lantai. Nggak ada Zozo, nggak ada siapapun juga di lantai dua, jadinya aku turun dan mendapati seorang bapak yang memakai seragam coklat, sepertinya dia itu satpam.
"Pagi, Dek," sapanya. "Adek siapa ya?"
"Saya yang sewa kamar di lantai tiga, Pak. Nama saya Rara, Bapak siapa?" balasku.
"Panggil Pak Bejo aja, Dek. Maaf saya baru tahu kalau udah ada yang sewa kamar Pak Tomo," sahutnya.
"Saya baru pindah semalam, Pak. Saya permisi dulu, harus berangkat kerja," pamitku sambil melewati Pak Bejo yang mempersilakanku untuk keluar dari area ruko.
Dengan menggunakan angkutan umum, aku menuju ke kantor meski sebenarnya agak waswas karena biasanya Papa atau Garry yang akan anterin aku kesana. Tidak sampai sejam, aku berhasil tiba di kantor tapi ada masalah. Kakak dan adikku, yaitu Galbert dan Garry sedang menunggu di ruang tunggu.
Mood aku yang berantakan, ditambah rasa capek karena naik angkot, aku jadi makin bete waktu ngeliat mereka berdua. Dengan enggan, aku melangkah untuk mencapai ruang tunggu, berusaha untuk melewati mereka tapi Om Rian datang menghampiri kami.
Om Rian adalah orang yang sangat ramah dan baik hati. Dia selalu menyapa dengan hangat kepada seluruh karyawan dan membelikan makan siang di setiap hari Sabtu. Aku cukup kagum sama Om Rian yang rendah hati dan nggak pernah sok bossy meski dia adalah boss.
"Kamu sudah datang, Rara," sapa Om Rian dan aku mengangguk.
"Disini ada Galbert dan Garry nih. Mereka udah nungguin kamu daritadi. Yuk, ngobrol di dalam saja, jangan diluar kayak gini," ajak Om Rian kemudian.
Aku cuma bisa mendengus pelan sambil berjalan mengikuti Om Rian dan nggak kepengen melihat Galbert dan Garry yang mengikutiku di belakang. Om Rian membawa kami ke ruang meeting dan menutup pintu. Dia duduk di kursi utama, lalu aku duduk di sisi kanan, sementara dua saudaraku duduk di sisi kiri.
Aku merasa kedatangan mereka benar-benar nggak perlu. Selama aku diperlakukan nggak adil di rumah, mereka berdua selalu cuek dan nggak pernah ambil pusing. Aku pernah coba curhat sama mereka, tapi mereka selalu bilangnya aku terlalu perasa, aku nggak pernah belajar, dan aku selalu cari gara-gara.
"Om sudah mendengar cerita dari Galbert dan Garry, jadi sekarang, Om mau dengar cerita dari kamu," ujar Om Rian langsung dan menatapku tajam.
Aku melirik pada Galbert dan Garry singkat, lalu kembali pada Om Rian dengan perasaan berkecamuk. Aku tuh capek banget, nggak bisakah kasih waktu untuk istirahat sebentar aja dari urusan ini?
Dengan sisa energi yang ada, aku bercerita semampunya sambil menahan tangis. Ada rasa malu karena ini bukanlah konsumsi publk, apalagi Om Rian adalah orang luar. Tapi karena dia bos aku, jadi aku harus sopan.
Galbert dan Garry terlihat nggak senang waktu aku bercerita, sesekali menimpali tapi Om Rian dengan tegas menyuruh mereka diam dan fokus mendengarkan penjelasanku. Aku merasa lega karena Om Rian adalah sosok yang baik. Entah kenapa aku bisa merasakan figur seorang ayah yang nggak aku dapat dari papa sendiri.
"Kalau begitu, baiknya Rara menenangkan diri dulu," putus Om Rian yang langsung membuatku mendesah lega, tapi nggak buat Galbert dan Garry.
"Nggak bisa dong, Om. Mama udah wanti-wanti untuk tarik Rara pulang. Lagian juga, Rara sensian dan..."
"Heh!" selaku emosi sambil melotot galak pada Galbert. "Kalau lu nggak ngerasain apa yang gue rasain, lu nggak suka sembarangan ngomongin gue sensian!"
"Kalau lu bisa minta maaf sama nyokap, urusan ginian juga udah beres," balas Galbert yang bikin aku makin emosi.
"Lu tuh cewek, Ra! Mana enak sih dengernya kalau lu keluar rumah dan ngekos sendirian? Kita juga nggak tahu lu ngekos dimana dan lu juga nggak bisa dihubungi dari semalem," tambah Garry yang semakin menambah jumlah emosiku.
"Cukup!" lerai Om Rian tegas dan sukses membuat keduanya bungkam.
Aku capek banget sama keluarga sendiri. Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakuin selain berharap mereka berdua bisa segera pergi dari sini.
"Bilang sama Mama kamu kalau saya bertanggung jawab dan menjamin keselamatan Rara selama dia tinggal diluar," ujar Om Rian kalem.
Aku menoleh dan menatap Om Rian lirih. Merasa terharu dengan kebaikannya padaku.
"Tapi, Om..."
"Nggak ada tapi," sela Om Rian tegas. "Saya yakin kalau Rara juga udah mikir panjang dan berat mutusin untuk keluar dari rumah kalau nggak ada masalah. Seperti yang kamu bilang kalau Rara itu cewek. Sepengenalan saya, Rara bukan anak yang suka macam-macam."
Penegasan Om Rian membuat Galbert dan Garry terdiam dan kemudian pamit pulang. Aku merasa bersyukur memiliki dukungan dari Om Rian yang sangat mengerti atas apa yang aku rasakan saat ini. Sebelum aku kembali ke ruanganku yang berada di lantai atas, Om Rian tersenyum sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
"Yang sabar yah, kamu udah lakuin yang terbaik saat ini. Nggak usah nangis, kalau butuh apa-apa, bilang sama Om," ucapnya hangat, lalu pergi keluar meninggalkan ruang rapat.
Aku terdiam selama beberapa saat, merasakan hangatnya perhatian dan kasih sayang dari seorang yang bisa disebut seperti ayah sendiri, lalu tersenyum pelan sambil memanjatkan beberapa doa dan harapan terbaik untuk Om Rian.
Aku segera keluar dan berjalan menaiki tangga untuk menuju ke lantai atas dimana ruanganku berada di sana. Namun saat baru saja tiba di ujung tangga, tampak Tante Rika, istri dari Om Rian sudah berdiri sambil menyilangkan tangan dan menatapku sebal.
"Pagi, Tante," sapaku ramah.
"Memang beda yah kalau sama anak muda, perlakuannya bisa baik banget semanis madu ketimbang sama bini sendiri yang udah tua!" ujarnya dengan nada menyindir.
"Hah?" balasku bingung.
Tante Rika mendengus dan melihat sisi belakang dengan tatapan dingin, membuatku ikut menoleh dan mendapati Om Rian yang tahu-tahu sudah berada nggak jauh dari aku berdiri sambil membawa segulung kertas.
Baru bekerja selama tiga bulan di kantor ini, seolah sudah bertahun-tahun oleh karena suasana yang nggak enak banget. Sudah jadi hal yang biasa buat semua karyawan, termasuk aku untuk melihat pertengkaran suami istri yang adalah bos kami. Tiada hari tanpa bertengkar, belum lagi adegan pukul memukul, lempar barang sana sini yang sudah jadi konsumsi publik buat kami.
Dan berada diantara mereka seperti ini membuat aku jadi makin capek. Nggak bisakah aku dikasih ketenangan sebentar saja?
"Rara, tolong buatin laporan untuk penjualan tiket bulan ini ya, saya butuh siang ini juga," ujar Om Rian santai sambil mengulurkan gulungan kertas itu yang langsung kuambil.
"Baik, Om," balasku sambil mengangguk, lalu menggumamkan permisi untuk meninggalkan keduanya yang sepertinya terlibat perdebatan.
Begitu tiba di ruangan, aku menoleh pada Kak Dea yang sedang sarapan di situ.
"Berantem lagi?" tanyanya seolah mengerti.
Aku mengangguk sambil menaruh tas dan gulungan kertas itu di meja dan duduk di kursi sambil menghela napas.
"Gue udah yakin mereka ribut lagi karena mukanya Bu Rika kayak bengap gitu pas gue dateng tadi," cetus Kak Dea sambil mengunyah.
"Ribut apalagi kali ini?" tanyaku sambil menoleh pada Kak Dea dengan alis terangkat.
Kak Dea mengangkat bahu. "Kata Pak Gimin cuma gara-gara Keisha salah baju, trus main salah-salahan karena Pak Rian kudu bolak balik."
Menghela napas, aku hanya bisa meringis dalam hati karena ada banyak drama keluarga yang nggak kumengerti. Apakah akan selalu ada masalah yang unik dan rumit kayak gini? Atau memang sudah seharusnya kayak gini? Aku perlu pikir baik-baik soal menikah kedepannya nanti.
Berdiam diri selama beberapa saat, aku merasa cukup mampu untuk bekerja dan segera membuka gulungan kertas yang diberikan Om Rian untuk membuat laporan yang diinginkan. Bingung, juga nggak tahu respon seperti apa yang harus aku berikan saat melihat coretan tulisan tangan Om Rian yang membuat energiku habis dalam sekejap.
"Nggak ada laporan yang harus kamu buat karena saya nggak mau kamu jadi pelampiasan dari si Nenek Gombel yang lagi sensi tadi."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Hehehehe, selamat datang dalam dunia Rara yang cukup gelap.
Juga terima kasih sudah menunggu cerita ini.
Semoga harimu menyenangkan. 💜
22.2.22 (17.17 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top