Part. 24 - The feeling
Written by Sheliu.
Sejujurnya aku bingung setengah mati hari ini. Dimulai dari Zozo yang tiba-tiba dobrak pintu kamar dan ngajak keluar tadi pagi. Ralat, lebih tepatnya Zozo maksa dengan nada mengancam waktu ajak keluar di Sabtu pagi ini dan aku nggak punya waktu buat menolak.
Aku kayak dikejer waktu karena buru-buru mandi, buru-buru ngabisin sarapan, buru-buru beberes karena Zozo nggak sabaran. Ditambah lagi, cowok itu belanjain segala macam bentuk barang yang aku aja baru tahu ada yang namanya concealer, beauty blender, contour, sampai nggak yakin apa aku bisa pake itu semua? Nggak cuma sampai situ, Zozo beliin baju, ya Lord, aku bingung banget.
Sekarang? Aku cuma bisa bengong melihat buku menu di resto steak yang dipilih Zozo buat makan siang kami. Aku nggak sanggup liat lebih banyak sebab untuk harga satu botol air minum aja sekitar delapan puluh ribuan, itupun belum kena pajak dan service. Otakku langsung berhitung berapa bungkus nasi goreng Mang Koko yang bisa kudapatkan setara dengan sebotol air itu. Astaga, enam bungkus nasi goreng! Aku bisa kenyang sampe seminggu!
"Gue pesenin aja karena gue udah bisa baca muka bego lu saat ini kalau gue tanya lu mau makan apa," celetuk Zozo yang membuatku menoleh padanya sambil memicingkan mata dengan sebal.
Aku tuh heran banget sama dia yang kalau ngomong kayak nggak pernah baca kamus bahasa dengan benar atau sopan santun dalam bertutur kata. Mulutnya minta digeprek banget tapi suka lain di mulut lain di tindakan.
Zozo menyebut nama makanan ke waiter dengan lancar, terlihat banget kalau cowok itu terbiasa makan disitu. Yang jadi fokus perhatianku adalah nama menu yang dia sebut itu bikin kepalaku tambah sakit. Dia pesen menu utama dengan harga paling mahal karena pilihan premium, juga soup, salad, tambahan menu yang susah banget aku baca tapi paham banget angka harganya.
Ya Lord, totalan dalam otak minimalisku untuk makan siang hari ini mencapai lima juta! Dengan uang segitu, aku bisa bayar kamar kost di Jakarta selama tiga bulan. Mau nangis rasanya.
"Nggak usah mikirin yang aneh-aneh, makan disini tuh bukan yang harus tiap hari makan, tapi sesekali aja," kembali aku mendengar celetukan Zozo setelah waiter itu pergi dengan pesanannya.
"Gue boleh nanya sesuatu sama lu?" tanyaku spontan.
"Apa?" balasnya sambil mengangkat alis.
"Lu ada sakit?" tanyaku lagi.
"Sakit?" kini Zozo membalas dengan ekspresi bingung.
"Sakit yang keras banget gitu," lanjutku dan itu kayaknya bikin Zozo tambah bingung.
"Nggak," balasnya serius.
Aku mengernyitkan dahi sambil menatapnya heran. "Soalnya, lu itu kayak besok bakalan mati jadi biar nggak kualat banget sama gue, makanya lu baek banget ngajakin gue jalan sampe bawa makan makanan mahal hari ini."
"Aduh!" aku mengadu sambil menekan keningku yang berdenyut karena barusan Zozo menyentilku tanpa permisi.
"Gue dalam POV ngajakin lu ngedate! Harusnya lu tuh baper, bukannya senggol ego gue dengan pikiran jorok kayak gitu!" sewot Zozo emosi.
"Biasanya kalau orang melakukan sesuatu yang nggak biasa, itu pertanda kalau bakalan ada... hmmmpphhhh..."
Aku kaget banget waktu Zozo tiba-tiba mencium bibirku sambil menangkup wajahku dengan cepat. Astaga, jantungku rasanya kayak mau copot. Kenapa sih dia bikin aku kebingungan dengan sikapnya yang suka dadakan? Dia ciumnya nggak kasar tapi lembut banget, bahkan menggigit pelan bibir bawahku sebelum sepenuhnya melepas ciuman itu.
Tatapan Zozo menatap bibirku, lalu kemudian naik dan menatap mataku dengan sorotnya yang tajam. Degupan jantungku mengencang dengan napas yang mulai memberat, aku yakin banget pipiku memanas tapi nggak bisa gerak karena bingung harus ngapain sekarang. Dua tangan Zozo masih menangkup wajahku dan kami duduk begitu dekat sekali.
"Lu ngomong sembarangan sekali lagi, gue pastiin mulut gue bukan nyasar ke bibir yang ini, tapi yang bawah," ancam Zozo sambil mengangkat dua alis dengan lantang.
Tersentak, aku langsung mendorong Zozo menjauh sambil merapatkan dua kaki, kemudian dengan spontan aku berpindah ke kursi sebrang saja untuk cari aman. Aku tuh sebel banget kalau Zozo udah mulai ancam kayak gitu. Sebaliknya, Zozo terkekeh geli melihat ekspresiku dan bersandar santai di kursi sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling seolah nggak ada hal yang terjadi.
Canggung, aku semakin nggak nyaman dengan suasana kayak gini. Harusnya aku nggak perlu bersikap kebingungan kayak gini dan bisa hadapi Zozo dengan berani seperti biasanya. Tapi sekarang? Kenapa semuanya terasa berbeda?
"Nggak perlu pikir macem-macem, Ra. Gue bener-bener pengen ajak lu ngedate dan memperlakukan lu dengan benar. Soal belanja dan ajakan makan hari ini bukan untuk ngebeli lu, atau gue bakalan mati besok. Gue pengen build memories sebelum pergi. Gue hanya perlu mastiin kalau lu udah suka sama gue," ucap Zozo dengan nada dan ekspresi yang penuh dengan percaya diri.
Apa maksudnya soal belanja dan ajakan bukan berarti membeli? Trus, niatnya yang bikin aku suka tuh gimana? Sengaja banget? Atau semacam taruhan sama dirinya sendiri kalau dia bisa dapetin apa yang dia mau?
Tapi, apakah effort sebesar ini dilakukan Zozo untuk semua cewek yang dia incar sebagai target? Apa dia terbiasa menghamburkan uang hanya untuk menarik perhatian cewek? Lagian, bukan hal yang aneh kalau cowok bakalan effort banget di awal, kan? Jadi, ini bukan hal yang aneh dan masih dalam tahap normal, jadi nggak perlu kebaperan, Ra.
Zozo mendesah malas disana seolah bisa membaca pergumulan yang ada dikepalaku. Dia terlihat nggak senang dan bisa dibilang judes banget. Tapi, kenapa dia judes tapi keliatan lebih keren? Aku bisa bilang kalau hari ini dia jauh lebih cakep dibandingkan biasanya.
"Bisa nggak nikmatin aja momen dimana lu dapetin pengalaman baru kayak gini tanpa perlu mikir yang aneh-aneh? Dasar cewek!" keluh Zozo ketus.
"Jadi cewek itu perlu pake logic," balasku cepat.
"Logic? Emang kapan cewek pernah pake logic?" sahut Zozo.
"Sekarang! Gue orangnya."
"Oh ya? Logic lu jalan sekarang? Wow, berarti gue cukup oke dong?"
"Hah? Pede banget!"
"Yes, gue pede! Karena kalau cewek pake logic, modelan brengsek kayak gue nggak masuk kriteria cewek baek-baek kayak lu. Harusnya, lu jauhin gue."
"Gimana bisa menjauh? Gue menjauh aja, lu maksa buat deket. Pake acara balikin orang soal logic segala! Ngaca!"
Zozo tertawa geli mendengar balasanku sambil menatapku senang dan aku hanya bisa mengerutkan kening dengan heran. Apa-apaan sih?
"Apa yang lucu?" tanyaku kesal.
"Gue lebih suka lu yang bisa balesin gue dengan muka judes dan mulut lu yang bawel itu. It's so you. Jadi, nggak perlu salting nggak jelas gitu. Don't be awkward, Silly," balas Zozo santai.
Rasa kesalku menguap dan berganti deg-degan nggak karuan. Ini degup jantungnya bisa santai sebentar nggak, sih? Aku nggak bisa kayak Zozo yang bisa santai begitu. Mau bilang dia sok keren, tapi dia emang keren hari ini. Mau bilang dia kepedean banget, tapi entah kenapa dia terlihat lebih menarik dari biasanya. Ih, dasar cowok tukang TP.
Untungnya, pesanan mulai berdatangan sehingga mengalihkan perhatianku lewat penjelasan Zozo tentang menu-menu yang dipilih. Aku baru tahu kalau ada beberapa jenis daging yang nggak cuma diolah tapi harus melewati berbagai proses penyimpanan dan pengempukan dalam metode yang ribet banget seperti penyesuaian suhu, kelembapan udara, dan lamanya waktu yang dibutuhkan. Jika terjadi kesalahan sedikit saja, maka nggak bisa lagi terpakai karena takut sudah bertumbuh bakteri-bakteri dalam dagingnya.
Apa kabar Abang penjual daging di pasar? Apa mereka pake metode ribet kayak gitu? Yang aku tahu cuma dua macam soal daging, yaitu segar dan kurang segar. Olahnya pun kalau nggak disemur, dijadiin sop atau soto.
Mataku terbelalak saat menikmati suapan pertama untuk daging steak yang diambilkan Zozo buatku. Gila, ini empuk banget. Dan enak. Ya Tuhan, aku nggak bisa complain karena memang seenak itu sampai mendeskripsikannya dalam kata-kata aja nggak mampu selain mengunyah steak itu dengan tekun. Nggak tahu karena lapar atau memang enak, tapi aku suka banget.
Zozo juga ada memesan salad, sup krim, dan mashed potato. Ada juga nachos, dan varian snack sebagai pendamping. Cowok itu juga makannya lahap banget kayak kelaparan.
"Makanan kesukaan lu apa, Ra?" tanya Zozo dengan mulut penuh.
"Apa aja selama itu layak buat dimakan, tapi paling suka telor dadar atau telor ceplok setengah mateng," jawabku.
"Nggak heran kalau stok telor di kulkas kudu direfill tiap dua hari sekali. Nggak takut bisulan?" komentar Zozo dengan alis berkerut.
"Mitos kali, Zo. Selama ini, gue makan telor nggak kenapa-napa tuh, malah termasuk pilihan yang paling ringkes dan nggak ribet kalau nggak punya ide. Kalau lu sendiri, makanan kesukaan lu apa?" tanyaku balik dan kaget sendiri karena bisa nanya begitu. Semoga aku nggak dikira kepo.
"Sayur sop," jawab Zozo dengan muka serius.
Hah? Aku cuma bisa bengong. Apa katanya barusan? Sayur sop? Yang bener aja.
"Bercanda banget," celetukku spontan.
"Terserah, tapi itu makanan kesukaan gue," balas Zozo sambil mengangkat bahu dengan cuek.
"How come?" tanyaku bingung.
"Kenapa? Harusnya gue jawab makanan kayak gini? Steak, pizza, atau makanan so called ribet gitu?" tanya Zozo balik dan aku mengangguk cepat.
Zozo cuma tersenyum hambar. Meski tersenyum tapi sorot matanya nggak gitu.
"Waktu gue masih kecil, gue sering ditinggal ortu buat kerja dan dititipin ke Oma, nyokapnya nyokap. Doi sering bikin sayur sop karena gue nggak doyan sayur dan cuma bisa makan satu jenis itu kalau doi yang masak," ucap Zozo menjelaskan.
Aku jadi ingat waktu pernah masak menu sayur sop secara nggak sengaja hanya buat ngabisin stok sayur di kulkas. Cuma telor dadar dan sayur sop, Zozo makan sampai dua piring nasi. Tadinya, aku pikir Zozo kelaparan, ternyata itu makanan kesukaan.
"Oma udah nggak ada waktu gue masih SMP. Jadinya, gue lanjutin hidup dengan sendiri aja di rumah dan ada dua suster yang ditugasin buat ngurusin gue. Nggak guna pake suster sampe dua karena mereka nggak pernah becus," lanjut Zozo sambil menyendok salad ke mangkuknya dan mulai menekuni saladnya.
"Tapi, sayur sop bikinan lu itu lumayan. Gue udah lama banget nggak makan sayur sop bikinan rumah, karena selama gue kangen sayur sop, cuma bisa beli di warteg tapi nggak pernah cocok di lidah gue," tambah Zozo santai.
Aku cukup menikmati obrolan di hari itu karena Zozo lebih banyak bercerita dan bernostalgia tentang masa kecilnya. Terlihat mapan dan berkecukupan, tapi kurang kasih sayang dan perhatian orang tua. Berbanding terbalik sama aku yang sering diperlakukan overprotektif, Zozo malah bisa dibilang dibiarkan begitu saja selama uang jajan diberikan.
"Warna kesukaan lu apa?" tanya Zozo tiba-tiba saat kami selesai makan siang dan keluar dari resto itu.
Aku masih shocked waktu liat tagihan yang dibayar Zozo tadi. Delapan juta lebih hampir mendekati sembilan juta! Hiks, itu bisa jadi anggaran uang makanku selama tiga bulan.
"Ungu, biru, dan pink," jawabku.
"Tapi lu lebih cocok ke hijau pastel atau cream," komentar Zozo dengan ekspresi berpikir.
"Kalau lu?" tanyaku balik.
"Hitam, atau putih. So basic but never get old," jawabnya mantap.
Aku mengangguk dan berpikir sejenak kemudian menahan langkahnya karena teringat sesuatu. Rasanya nggak adil kalau aku nggak membalas niat Zozo yang udah ajakin makan siang dan berbelanja di hari itu.
"Kenapa?" tanya Zozo dengan alis terangkat.
"Gue mau gantian," jawabku ragu.
"Gantian apa?" tanyanya bingung.
"Gue nggak bisa bayarin lu ke tempat mahal, tapi kalau nonton atau ngemil boba, gue masih sanggup. Jadi, gue pikir gimana kalau..."
"Oke! Kita nonton bioskop sekarang!" sela Zozo cepat sambil merangkul bahuku dengan santai dan berjalan beriringan dengannya.
Aku yang belum selesai ngomong trus disela dan diperlakukan kayak gini jadi bingung dan gugup. Aduh, nih cowok kenapa sih? Nyebelin banget bikin sport jantung mulu.
"Mmmm, gue..."
"Lu bayar tiket, gue yang beli popcorn dan coke. Nggak bisa nego!" sela Zozo tegas.
"Nggak, gue mau gantian. Beli popcorn, coke, dan tiket, gue masih bisa," balasku cepat.
"Deal!" sahut Zozo sambil mengeratkan rangkulan dan aku bisa menangkap senyumannya saat memalingkan pandangan setelah mengatakan itu.
Oh, Dear, senyumnya kenapa manis banget? Duh.
Updated by minca 😊
Sat, 29 June 2024 (11.00)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top