Part. 22 - Rooftop.

Written by. Sheliu.

Aku duduk tepat di depan jendela kamar sambil melihat langit malam yang bertaburan bintang di atas sana.

Di lantai teratas ruko milik Zozo ini, selain jadi tempat buat jemur baju, bisa dijadiin tempat buat menggalau sendirian kalau lagi mumet. Cukup manjat ke jendela yang terhubung ke atap rumah yang kayaknya terbuat dari beton tapi bentuknya bukan menurun melainkan datar yang bisa duduk disitu tanpa perlu takut jatuh.

Menghela napas, aku mikir ulang dengan apa yang terjadi dalam hidupku beberapa bulan terakhir atau semenjak aku mutusin untuk keluar dari rumah. Kenapa aku bisa kayak gini? Kok bisa-bisanya mau kayak gini? Kenapa juga aku masih bertahan sampai saat ini disaat aku pikir aku nggak akan mampu? Dan kenapa lainnya yang penuhin isi kepalaku.

"Heh, lu nggak lagi mau bunuh diri, kan?"

Aku memejamkan mataku erat-erat sambil menahan umpatan saat mendengar celetukan Zozo dari arah jendela. Sambil berdecak, aku membuka mata dan menoleh padanya yang sedang merangkak naik untuk menyusulku kesini.

"Punya mulut tuh bisa dipake yang bener, gak?" desisku sebal.

"Bisa banget. Tergantung lu maunya yang kayak gimana? Buat lu teriak, kesel, enak, atau..."

"Kyaaaaa!!!! Nggak mau denger! Nggak mau denger!" seruku sambil menutup telinga dan Zozo tertawa terbahak-bahak melihatku.

Cowok itu aneh. Terkadang sok dewasa, kemudian sok galak, lalu bertingkah kayak anak kemaren sore. Suka nggak jelas dan banyak maunya. Rese banget.

"Bercanda!" ucapnya sambil membetulkan posisi duduk di sebelahku.

"Gue tuh nggak suka ya kalau omongan lu selalu jorok! Jangan kayak anak kampung!" omelku yang membuatnya berdecak sebal.

"Lu nggak bisa bedain yang namanya bercanda sama serius?" decaknya.

"Nggak bisa!" balasku judes.

"Pantesan aja ngomel mulu jadi cewek. Keriputan lu!" sahutnya.

"Mau ngapain kesini?" tanyaku ketus.

"Kenapa? Nggak boleh?" balasnya sinis.

"Nggak biasanya aja."

Aku tuh suka heran kalau ngobrol sama Zozo kenapa harus pake capek banget kayak gini. Yang nulis pun demikian, yang baca apa kabar?

"Gue udah manggil lu entah berapa kali tapi lu nggak nyahut. Gue pikir lu beneran mau mati, jadinya sebelum itu terjadi, mendingan gue samperin biar nggak nyusahin gue dan rumah gue dipasang garis kuning," ucap Zozo serius yang membuat aku menatapnya nggak percaya.

Aku masih bingung banget kenapa aku bisa-bisanya terjebak sama cowok modelan kayak gini? Kalau ngomong nggak ada saringan, suka semaunya, dan judes all the time. Aku nggak percaya yang katanya ada banyak cewek yang ngejer-ngejer dia.

Karena aku merasa nggak perlu membalas omongannya yang super ngaco itu, aku diem aja dan itu bikin dia mendesah kecewa.

"Kok nggak pake marah sih? Nggak asik," celetuknya.

See? Apa yang aku bilang soal Zozo yang kayak anak kecil? Aku pun nggak percaya kalau ternyata umurnya udah dua puluh delapan tahun, yang artinya beda enam tahun sama aku.

Aku masih diem aja sambil menatap langit malam dan mengabaikan Zozo. Aku juga nggak minat buat menoleh ke samping karena males ladenin Zozo yang mendadak ikutan diem di sebelah.

"Kalau lu tinggal sendirian disini, lu berani?" tanya Zozo yang membuatku spontan menoleh padanya.

"Maksudnya?" tanyaku.

Dia menoleh dan menatapku bosan. "Tinggal sendirian disini. Di lantai tiga."

"Emangnya kenapa nggak berani? Lu juga jarang ngetem dan banyakan kuar kok," balasku heran.

"Good, good. Kalau gitu bagus deh," ujarnya sambil mengangguk.

Aku mengerutkan kening dan menatapnya bingung. "Emangnya lu mau kuar kemana sekarang?"

"Gue mau pindah," jawabnya langsung.

Aku terdiam sambil terus menatapnya. Pindah? Bukannya ini rumahnya tapi kenapa dia harus pindah? Apa karena ada aku dan dia merasa nggak nyaman? Atau karena kami udah pernah tidur bareng dan dia takut kalau aku nuntut?

Pikiran barusan membuatku tersentak dan melotot padanya yang sedang berdecak kesal sekarang.

"Gue nggak suka ya kalau asumsi ala cewek ribet lu itu mulai keluar," sewotnya.

"Trus kenapa lu tiba-tiba mau pindah?" tanyaku dengan tatapan menuduh.

"Gue mau ambil master di Jepang," jawabnya tanpa ragu.

Terdiam, aku memperhatikan ekspresi Zozo dengan seksama dan memang sepertinya dia nggak bercanda.

Meski terkesan slengean dan bersikap sembarangan, satu hal yang aku harus akui adalah Zozo itu pintar dan cerdas. Dia juga pekerja keras dan mau belajar hal baru. Beberapa kali ngobrol sama Zozo, aku jadi tambah ilmu dengan varian pengetahuan yang disampaikan olehnya.

"Jangan ngeliatin gue kayak gitu, lu bikin gue pengen jadi bebek," cetusnya yang membuatku langsung berdecak sebal.

"Kita udah sepakat untuk nggak main nyosor!" ingatku.

"Kalau lu gemesin kayak gitu ya gue pengen lah," balasnya.

"Sampe sebegitunya kelakuan lu yang nggak bisa ngendaliin hawa nafsu!" desisku.

"Cuma sama lu aja," ujarnya santai. "I know, lu akan bilang kalau itu salah satu caption buaya tapi gue serius. Sama lu aja kayak gini since gue itu norak karena baru kali ini dapet barang ori."

"Gue bukan barang, Anjir!" omelku sambil memukul lengannya kesal.

"Iya, gue tahu! Kenapa sih sensian amat jadi cewek?" decaknya kesal.

"Gue nggak suka lu ngomong kayak gitu!"

"Lu trus ngomong nggak suka, nanti lama-lama jadi suka beneran!"

"Idih, amit-amit."

"Jangan amit-amit, gue aminin!"

"Heh?"

Aku dan Zozo saling melotot galak pada satu sama lain dan sama-sama mendengus lelah karena harus bersitegang terus menerus.

"Intinya gue bakalan pindah ke Jepang dan lu tinggal sendirian disini," ujar Zozo kemudian.

"Berapa lama?" tanyaku kemudian.

"Mungkin dua taonan, atau lebih," jawabnya.

Aku mengangguk dan menatapnya. "Mungkin gue nggak disini lagi pas lu balik."

"Hah? Kenapa? Lu mau pindah kemana? Mau balik ke rumah ortu?" tanyanya kaget.

"Saat gue udah mutusin kuar dari rumah, gue udah nggak dianggap anak lagi," jawabku.

"Terus? Kenapa lu bilang nggak disini lagi?"

"Kan gue sewa cuma setaon. Gue nggak tahu bisa perpanjang atau nggak since gue belum dapet kerjaan yang proper buat bayar duit sewa."

"Lu bisa tinggal disini kapan aja, kan lu kerja sama gue."

"Gue nggak bisa kerja macam freelancer kayak gini, Zo. Ada masa depan yang harus gue perjuangin dan gue harus cari kerja bukan dari hasil kasian orang."

"Gue nggak kasian sama lu karena lu kerjanya bagus. Tomo pun juga butuh PA gercep kayak lu. Dia akan bantu lu selagi gue nggak ada."

"Gue nggak bisa lah. Mungkin saat ini, gue kerja dulu sambil cari kerjaan. Tar kalau udah dapet kerjaan baru, nanti gue akan pertimbangkan. Gue juga nggak tahu nantinya bakalan dapet kerjaan dimana, buat irit ongkos, gue akan cari kos atau sewa rumah yang deket kantor gue nantinya."

"NGGAK BISA!"

Aku tersentak melihat Zozo yang membentak dengan nada nggak suka disitu. Kan? Kumat lagi resenya. Ih, nyebelin.

"Lu nggak usah cari kerjaan jauh-jauh. Cari aja daerah sini atau lu bisa kerja sebagai karyawan tetap buat gantiin gue selama gue nggak ada. Nanti Tomo yang bakalan arahin lu," ucap Zozo tegas.

Aku cuma bisa menatap Zozo dengan heran. Nggak habis pikir apa yang dia omongin dan mungkin aja orangnya lagi kesambet kampret yang nggak sengaja bertabrakan waktu dia naik kesini.

"Bisa lu jelasin arah pembicaraan ini mau dibawa kemana? Karena kita sama-sama tahu kalau nggak ada yang gratisan atau semudah itu dalam dunia ini. Gue juga baru kenal yang namanya kehidupan nyata kayak gimana since baru setengah taonan gue minggat dari rumah, jadi jangan coba-coba permainin nasib orang dengan kasih ultimatum berupa bokisan kayak gitu," ucapku dengan tenang tapi penuh penekanan.

Karena sejujurnya, aku makin nggak nyambung dengan apa yang disampaikan Zozo. Aku juga nggak kepengen salah paham since orang dengan modelan kayak Zozo nggak bisa aku percaya sepenuhnya.

"Gue nggak mau lu pergi dari sini. Dari ruko ini," jawab Zozo langsung dengan ekspresi bisa dibilang kayak mulai sewot.

"Dan kalau lu curigaan sama gue, terserah. Cuma gue mau lu mikir dari sudut pandang yang berbeda meski ini jarang terjadi dan yang kayak gini cuma ada di Wattpad. Anggap aja tawaran gue adalah blessing in disguise saat lu mutusin untuk mandiri dan keluar dari rumah. Gue percaya kalau lu bukan anak rese dan cukup berbakti sama orangtua, juga percaya sama Tuhan dengan terus berdoa," lanjut Zozo ketus.

"Gue juga bukan orang yang gampang nawarin kayak beginian, apalagi ini termasuk urusan personal yang melibatkan harta benda. Gue nggak tahu kenapa bisa milih lu buat bantu gue jaga tempat ini selagi gue nggak ada karena gue yakin lu nggak akan lakuin hal jahat apalagi niat buat manfaatin orang karena lu nggak punya kapasitas sampe sejauh itu. Lu bisa diandalkan, lu bisa dipercaya, dan gue yakin lu mampu lakuin apapun yang jadi impian lu selama ini. So, ambil kesempatan ini untuk uji nyali dan latih kemampuan diri biar lu jadi lebih mantep."

Meski aku kaget dengan omongan Zozo barusan tapi aku tahu kalau dia nggak bercanda. Zozo serius banget dan sama sekali nggak ada kesan iseng atau bercanda disana. Sorot matanya tajam dan gelap, sikapnya tenang tapi terkesan nggak mau dibantah. Bukan bossy tapi lebih kayak leading into direction gitu.

Yang bikin aku jadi makin bingung adalah aku nggak merasa takut, tapi justru merasa aman karena dikasih konfirmasi yang jelas kayak gitu. Kayak beban yang biasanya terasa berat itu terlepas begitu aja. Duh, aku jadi galau banget.

"Mmmm, gue minta waktu buat pikir-pikir dulu karena gue nggak tahu kedepannya bakalan gimana. Siapa tahu aja lu berubah pikiran," ucapku akhirnya dengan suara pelan, mendadak gugup karena Zozo liatin aku banget.

"Terserah deh lu mau mikir atau gimana karena nggak akan mengubah apapun juga," celetuk Zozo yang langsung mengubah ekspresi seriusnya menjadi judes abis.

Aku nggak membalas karena tatapanku malah fokus ke bibirnya yang mengerut cemberut. Kayak yang terlihat gemes dan dari samping, Zozo terlihat lumayan juga. Hidungnya tinggi, dagunya berbentuk V, plus bulu matanya lentik, dan alisnya tebal. Helaian rambutnya yang halus itu tertiup angin malam sehingga membuatnya terlihat berantakan tapi justru itu yang bikin Zozo terlihat menarik.

WAIT A MINUTE!

Aku langsung mengalihkan tatapanku ke depan dengan rasa nggak percaya sama diri sendiri. Barusan aku ngapain? Menilai Zozo menarik? Lumayan? Sampe bisa-bisanya mikir dia itu... gemas? OMG!!! Ada masalah besar dalam diri aku saat ini sampai aku harus mengusap keningku dan memukul-mukulnya sambil memaki dalam hati.

"Heh? Lu ngapain? Kenapa mukul jidat lu sendiri?" seru Zozo dengan suara bingung.

"Karena gue lagi bego! Kumat!" jawabku asal sambil merasa kesal dengan diri sendiri.

"Udah! Stop!" balas Zozo sambil menangkap tanganku yang hendak memukul lagi.

Cengkeraman tangan Zozo yang kuat menahan tanganku dan membuatku menoleh padanya. Dia tampak mengerutkan kening dengan sorot mata bingung, terlihat mempelajariku saat ini. Meski ekspresinya judes tapi kesannya cool, malahan Zozo kelihatan cakep kayak gitu.

Arrgghhhh, stop! Stop! Stop! Aurora! Lu harus mikir baik-baik apa yang lu mikirin saat ini! Barusan lu bilang apaan? Zozo cakep? Cool? Duh!

"Gue mau turun aja dan balik ke kamar!" putusku sambil menarik tanganku dari cengkeramannya dan beranjak berdiri tapi hampir oleng karena terburu-buru tapi Zozo langsung menangkap tubuhku dengan merengkuh pinggangku saat aku memekik takut karena hampir jatuh.

"Hati-hati, Bego! Lu mau jatuh dari lantai empat trus masuk berita dan ruko ini dipasang garis kuning?" desis Zozo dengan suara menggeram pelan.

Aku menoleh dan menatapnya kesal. Okay, aku masih waras karena merasa sebal kayak biasanya kalau berhadapan dengan Zozo. Dia nyebelin. Rese. Dan nggak ada bagus-bagusnya.

"Mulut lu ya! Minta banget di..."

Ucapanku berhenti saat Zozo tiba-tiba mencium bibirku dengan cepat. Kaget, udah pasti, aku bahkan nggak bisa ngapa-ngapain selain membiarkan mulut Zozo mengecup, mencium, dan mengisap lembut bibirku sekarang. Degup jantungku mengencang kayak abis lari belasan kilo. Aku nggak suka, aku nggak mau kayak gini, tapi aku nggak bisa menolak.

Malahan, aku melemah dan rengkuhan Zozo mengetat untuk membawaku dalam pelukannya yang lebih erat. Astaga, ini diatas atap loh, nggak ada tempat lain buat ciuman kah? Meski posisi cukup tinggi, kayaknya rumah tetangga sebrang atapnya lebih tinggi dan bisa banget videoin kami dan masukin ke sosmed trus viral.

"Jangan suka mikir yang nggak-nggak, masih ada kenyataan yang perlu dijalanin. Masih banyak yang perlu dihadapi dan hidup lu nggak stuck disini aja. Ngerti?" bisik Zozo yang membuyarkan pikiranku barusan.

Ciuman itu berhenti, tapi rengkuhan Zozo nggak. Kami saling bertatapan dalam diam, cuma aku bisa dengar degupan jantungnya Zozo, yang ternyata nggak cuma aku aja yang deg-degan.

"Gue.. mau turun," ucapku dengan susah payah, berusaha keras untuk nggak terlihat gugup tapi kayaknya nggak berguna.

Zozo cuma menganggukkan kepala dan melepas rengkuhan itu pelan-pelan, kemudian mengarahkan aku untuk turun sambil ingetin aku untuk hati-hati. What's wrong with this guy? Or what's wrong with me? Aku jadi nggak nyaman dengan apa yang aku pikirin saat ini. Trus juga, kenapa jantung aku kayak ngebut banget nggak mau santai aja gitu. Heran.

"Ra," panggil Zozo waktu aku hendak membuka pintu kamar.

Dengan rasa lemas yang mendadak datang karena degup jantung yang masih mengencang, aku menoleh dan mendapati Zozo menatapku tajam.

"Apa?" tanyaku bete.

"Satu hal lagi yang belum gue sampaikan ke lu," jawabnya.

"Apaan?" tanyaku lagi.

"Kalau gue lagi nggak ada, lu nggak boleh bawa cowok kesini. Nggak!" jawabnya sambil menggelengkan kepala cepat-cepat. "Bukan gitu. Lu nggak boleh dekat atau kenalan sama cowok lain. Gue juga nggak suka kalau lu masih kontekan sama Wira!"

"Kenapa?" tanyaku sambil menatapnya nggak percaya.

"Karena gue nggak suka," jawabnya tegas.

"Misalkan kalau gue suka, gue bodo amat. Gue nggak merasa harus peduli dengan lu yang nggak suka," balasku spontan dengan sisa kewarasan yang masih nyangkut di kepalaku.

Zozo melangkah mendekat dan membungkuk untuk menyamakan posisi kepala agar bisa menatapku dengan sorot matanya yang nyakitin banget. Dia keliatan lebih galak dan lebih judes dari biasanya.

"Gue tahu kalau lu nggak akan peduli soal itu. Tapi gue akan lakukan hal ini, sebelum gue pergi, gue pastikan lu akan suka sama gue. Dan kalau itu terjadi, jangan harap lu bisa lari. Sampe lu ke liang kubur pun, gue samperin," bisiknya dengan suara yang begitu dalam.

Tanganku spontan membuka pintu, segera masuk ke dalam kamar, menutup dan mengunci pintu. Tersungkur ke bawah karena dua kaki begitu lemas, aku menangkup dadaku dengan dua tangan sambil menatap kosong pada kamarku karena degup jantung yang semakin bergemuruh lebih kencang dari sebelumnya seiring dengan napas yang memberat.

Tuh cowok apa-apaan sih?



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Rara masih jetlag 🤣

Apa kabarnya? Semoga baik2 aja ya.
Besok aku akan update Ashton.

Nighty night. 💜
27.05.24 (23.00)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top