Part. 2 - Broken

Written by. Sheliu.

Selamat malam semuanya. 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Sejak kecil sampai sekarang, aku selalu bertanya sama diri sendiri. Kenapa anak cewek selalu dituntut buat harus bisa ini itu? Kenapa juga cewek nggak boleh mager atau sekedar nikmatin waktu liburan dengan ngelakuin apa aja, tapi kudu tetep kerja dengan beresin rumah, bantu orangtua, dan nggak boleh keluar rumah lewat dari jam sembilan malam?

Berbanding terbalik sama anak cowok yang apa aja dibolehin. Mau jalan, tinggal jalan. Mau nggak pulang, nggak perlu telepon kabarin orang rumah dan tinggal jawab aja kalau Mama telepon cariin, lalu diperbolehkan tanpa adanya drama konseling panjang lebar. Beda banget sama aku yang bakalan diceramahin dan bawa-bawa soal gender yang katanya bakal dicap jadi cewek nggak bener karena pulang malam.

Niat hati mau bangun siang pas weekend, sebelum jam delapan pagi pasti dibangunin karena katanya anak cewek nggak boleh bangun siang-siang. Pamali. Tapi kalau anak cowok, mereka bebas bangun jam berapa aja, bahkan sarapan dan makan siang pun disiapkan, kalau perlu sampai dibawa ke kamar. Sedangkan aku yang harus siapin menu sarapan dan bikin kopi buat Papa.

Tadinya aku pikir itu adalah hal lumrah yang terjadi sama anak cewek. Tapi begitu aku melihat teman-temanku yang lain, yang bisa menikmati masa kecil dan masa remajanya dengan bahagia, aku mulai merasa rendah diri dan menyesali keberadaanku di keluarga ini.

Satu hal yang pasti, mereka menuntutku banyak hal, tapi nggak pernah mau mendengarkan aku. Katanya, aku terlalu banyak mengeluh, padahal satu keluhan pun nggak pernah sanggup keluar dari mulutku karena mereka langsung cuekin aku.

Aku merasa anak yang terbuang, aku juga merasa anak yang nggak diinginkan keberadaannya. Entah apa salahnya aku jadi anak cewek satu-satunya di keluarga, sedangkan kakak dan adik laki-laki begitu menikmati hidupnya dibandingkan aku yang lebih pantas disebut pesuruh ketimbang anak sendiri.

"Mama itu nggak adil! Mama cuma sayangnya sama anak cowok!" seruku sambil menangis histeris.

Masalah kecil datang lagi. Semua karena aku janjian sama temen kampus untuk jalan-jalan ke PRJ, buat liat festival jajanan yang seru, tapi akhirnya pulang telat karena mobilnya Timo mogok dan kami harus menunggu tukang derek. Alhasil, aku tiba di rumah jam satu pagi dan Mama langsung marah-marah, lalu pukul aku pake gantungan baju.

Dua teman yang temenin aku, yaitu Ricca dan Nia cuma bisa speechless liatin aku dipukul sama Mama di saat itu juga tanpa kasih aku muka. Aku bener-bener dipermalukan.

"Mama kayak gini supaya kamu nantinya bisa jaga diri! Bukannya jadi cewek bandel yang dibilangin nggak pernah mau denger!" balas Mama dengan nada tinggi sambil melotot galak.

"Aku nggak ngerokok! Juga nggak clubbing! Aku udah jadi anak bener tapi tetep aja nggak ada benernya dimata Mama! Aku cuma jalan-jalan dan bisa telat karena mobilnya Timo mogok! Trus itu salah aku?!" seruku sambil histeris.

Dan Mama justru semakin menggila dalam memukulku dengan gantungan baju kedua karena gantungan sebelumnya sudah patah. Sakit? Apa yang terasa di kulit nggak sebanding dengan rasa sakit dalam hati aku yang udah hancur berkeping-keping.

Ricca dan Nia nggak sanggup menolong karena Mama nggak memperbolehkan mereka mendekat. Papa cuma melihat sambil menghela napas, lalu menyuruh dua temenku untuk pulang saja. Sedangkan kakak dan adikku? Galbert dan Garry masih ngetem di kamar tanpa perlu repot-repot melihat kegaduhan di malam itu.

Mama mulai ngos-ngosan, terlihat capek karena memukul aku habis-habisan. Aku pun udah nggak sanggup menangis, cuma bisanya menahan sakit. Setelah itu, Papa baru mendekat dan menyuruh Mama untuk kembali ke kamar, lalu membantuku untuk berjalan tertatih-tatih ke kamarku.

Malam itu, aku menangis semalaman. Dan itu bukan yang pertama kalinya. Seringkali aku juga bertanya sama Papa, apakah aku bukan anak mereka sampai diperlakukan seperti itu? Papa marah dan bilang aku nggak bersyukur. Lagi pula, melihat kemiripan aku dengan Mama, memang rasanya itu hal yang konyol buat ditanya, tapi kenapa Mama benci banget sama aku? Apa aja nggak boleh.

Sampai akhirnya, aku putuskan untuk nekat keluar dari rumah. Aku nggak peduli dengan hal apapun selain bisa keluar dari kerangkeng yang menyiksa kayak gini. Aku harus keluar.

Dengan bantuan Ricca yang bertanya dengan kakak sepupu yang punya kenalan, katanya ada tawaran sewa kamar dengan harga yang cukup oke tapi harus bayar setahun. Aku nggak butuh waktu untuk berubah pikiran karena aku cuma pengen keluar aja dari rumah, jadinya aku langsung oke.

Aku punya tabungan, itupun hasil uang yang dikasih sama Oma dan Om yang datang ke rumah buat aku jajan. Kalau dari Mama? Jangan harap aku dapet uang karena katanya nanti kalau aku pegang uang bisa buat boros sana sini. See? Apapun yang berhubungan sama aku, Mama pasti mikir jelek, nggak ada bagusnya.

"Berani-beraninya kamu kayak gini, hah? Dasar anak yang paling nggak tahu diuntung!" seru Mama dengan nada histerisnya yang bikin aku meringis karena kupingku langsung berdenging.

"Memang," jawabku getir.

"Dan kamu masih berani nyahutin Mama! Kurang ajar! Anak yang nggak..."

"Aku memang kurang ajar karena Mama nggak pernah ngajarin gimana caranya jadi anak yang bisa sayang dan hormat sama orangtua! Kalau mau soal untung, memangnya apa yang udah Mama lakuin buat aku sampai aku harus merasa beruntung? Nggak ada sama sekali!" selaku nggak kalah histeris.

"Aurora!" bentak Papa nggak terima. "Biar gimana pun, kamu nggak boleh keluar rumah kayak gini! Kamu itu anak perempuan! Harusnya bisa ngerti kalau apa yang kami lakuin buat kebaikan kamu kedepannya!"

"Bukan! Tapi buat kebaikan kalian demi supaya nggak ada omongan orang! Iya, kan?! Aku kalau nggak dibandingin, ya diperlakuin kayak sampah! Aku nggak mau lagi kayak gitu!" sahutku geram.

PLAK! Sebuah tamparan melayang di pipi, disusul kemudian dorongan kuat sampai tubuhku terbentur ke tembok. Lagi, aku mulai menangis tapi nggak ada airmata yang keluar. Aku udah capek banget, rasanya pengen mati tapi kenapa nggak bisa sampai mati beneran?

Rapalan dan makian tentang kata-kata kurang ajar, nggak tahu diuntung, sampai durhaka pun mengudara. Aku bahkan udah terbiasa dengan penghakiman kayak gitu. Sekali lagi, yang aku mau cuma pengen keluar dari situ. Rumah itu.

"Begitu kamu keluar dari sini, jangan harap kamu bisa kembali! Kamu bukan anak kami!" ancam Mama dengan ekspresi menggelap.

Aku cuma menatap nanar Papa dan Mama bergantian, lalu mengangguk tanpa ragu. "Dengan atau tanpa aku di sini, aku memang bukan anak kalian."

Setelah itu aku pergi, dan disinilah aku berada. Sebuah kamar dengan satu ranjang single, lengkap dengan meja kecil dan kursi, juga ada lemari dan kamar mandi yang berada di dalam kamar. Semuanya cukup bersih, hanya saja lingkungan sekitar yang nggak menyenangkan, apalagi ada cowok aneh yang jadi tuan rumah. Selebihnya, semua baik-baik aja.

Perasaan yang aku rasain? Nggak ada. Aku nggak bisa merasakan apapun.

Tok...tok...tok...

Pintu kamar terdengar diketuk untuk kesekian kalinya. Aku bete banget dengernya. Dengan enggan, aku beranjak dari ranjang dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu dibuka, cowok aneh itu muncul dan berdiri tepat di depan kamar.

Cowok itu mengerutkan kening sambil menatapku heran. Dia cukup tinggi. Ralat. Sangat tinggi buat aku yang tingginya nggak seberapa. Rambutnya agak bergelombang tapi potongannya rapi. Nggak bisa dibilang ganteng, tapi cukup bikin cewek bakalan nengok untuk yang kedua kali buat mastiin kalau dia emang biasa aja. Cowok itu memakai kacamata dengan bingkai hitam seperti Clark Kent, juga gaya bajunya yang rada maksa.

"Lu itu baik-baik aja?" tanyanya ketus.

Aku cuma mengangguk sebagai jawaban. Hendak menutup pintu kembali, tapi pintu langsung ditahan olehnya.

"Lu itu bisa ngomong, kan? Atau lu itu penyandang disabilitas a.k.a bisu?" tanyanya langsung.

Aku mendengus sambil menatapnya sebal. Selain mukanya yang biasa aja dan terkesan nyebelin, mulutnya juga pengen banget dicabein.

"Bisa!" jawabku sinis.

"Kalau lu bisa ngomong, yah basa basi dong daritadi!" desisnya galak.

"Buat apa?" tanyaku sambil meringis jijik.

"Tanya nama! Nama! Masa iya gue panggil lu ngepet?" balasnya keki.

"Nggak masalah buat gue," sahutku santai, tapi dia justru semakin terlihat kesal.

"Tapi masalah buat gue," ujarnya cepat. "Denger yah, gue sama sekali nggak minat buat terima orang yang niat bunuh diri dan nambah urusan hidup gue!"

"Maksud lu?" tanyaku tersinggung.

"Daritadi lu nangis, trus nggak ada suara, Anjir! Gue ketok-ketok dan lu nggak bukain pintu! Gue takutnya lu mati di dalem!" jawabnya judes.

"Itu namanya privacy!" balasku kemudian.

"Privacy macam apa, hah? Lu bikin gue waswas dengan baru tiga jam ada di sini! Gue nggak mau nanti jadi urusan! Kalau lu punya masalah atau jadi buronan, mendingan lu angkat kaki dari sini dan gue balikin duit sewa lu!" ujarnya dengan tegas dan terlihat serius di sana.

Aku langsung tersentak dan sama sekali nggak mau kembali ke rumah. Dengan cepat, aku melebarkan pintu untuk keluar supaya bisa berhadapan langsung dengan cowok itu.

"Sekarang gue udah buka pintu dan masih hidup! Sekalipun gue benci buat hidup, gue nggak akan bego buat mati konyol. Jadi, bisa kita bahas aturan apa yang ada di rumah ini? Gue yakin kalau ada area privacy yang disebut nggak usah ikut campur urusan orang ada dalam aturan sewa, kan?" tukasku dengan nada sok lantang padahal dalam hati udah takut diusir.

Cowok itu terdiam dan lihatin aku seolah aku orang gila. Keningnya masih berkerut dan terlihat nggak suka. Well, aku juga nggak suka, tapi gimana yah? Kayaknya cowok ini bakalan rese.

"Nama lu siapa?" tanyanya setelah terdiam cukup lama.

Aku menunduk untuk melihat uluran tangannya, lalu kembali melihatnya, dan enggan membalas uluran itu dengan jabatan. "Aurora."

"Ada panggilan, gak? Kepanjangan namanya," balasnya malas.

"Rara," sahutku.

"Terus, lu nggak nanya nama gue siapa?" tanyanya lagi.

Aku berdecak malas. "Kalau lu mau kasih tahu, lu pasti langsung nyebut dan nggak ribet buat nanya balik kayak gini."

Dia terlihat memicingkan mata dan mendengus di sana. "Nama gue Kenzo, lu bisa panggil Zozo."

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Dan untuk pertama kalinya, aku tertawa keras mendengar nama panggilannya yang persis banget sama poddle-nya Nia. Astaga! Kayak nggak ada nama lain aja.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Sheliu, Sheliu, baru juga part awal udah bikin tokohnya banyak urusan.😅

Monmaap kalau jadinya kek baper gitu hahahaha 🙈

07.02.23 (22.54 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top