Part. 18 - Unexpected moment.
Aku nggak edit lagi karena udah ngantuk berat, juga kelupaan sih. 😅🙏
Happy reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku menggeliat sambil mengerang pelan karena tidurku nyenyak banget. Bisa dibilang ini adalah tidur paling nyenyak yang aku dapatkan. Membuka mata sambil melihat sekeliling, aku segera terbangun dan baru sadar kalau aku tidur di ruang tengah di sofa panjang yang kutiduri bersama Zozo.
Zozo? Ya Tuhan, aku menutup wajah sambil memekik pelan karena urusan semalam. Zozo marah sama aku dan main tinggalin aku ke atas. Harusnya aku takut tapi karena ngantuk, aku tidur disini sampai sekarang. Aku juga bingung kenapa Zozo bisa marah padahal kan dia minta kiss dan aku mau kasih.
Segera beranjak, aku melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas. Kesiangan banget dan aku harus buru-buru karena nggak tahu jam berapa harus balik ke Jakarta. Suasana sunyi di villa menandakan aku disitu sendirian. Nggak mungkin kan Zozo tinggalin aku disini dan balik Jakarta sendirian?
Nggak suka dengan pikiranku, aku segera naik ke lantai atas menuju kamar Zozo untuk memastikan kalau dia masih ada dan... deg! Kok ada cewek bule keluar dari kamar Zozo pake kaos kebesaran dan nggak pake bra? Itu putingnya keliatan banget dari sini loh.
Dari belakang, Zozo ikutan keluar dari kamar dengan muka yang baru abis bangun tidur. Aku Cuma bisa bengong melihat mereka berdua yang juga liatin aku dengan varian ekspresi. Cewek bule dengan ekspresi bingung, dan Zozo dengan ekspresi judesnya.
Cewek bule itu bertanya sama Zozo tentang siapa aku, dan Zozo membalas bukan siapa-siapa sambil narik cewek itu berjalan melewati aku. Berbalik, aku menatap Zozo nggak percaya. Kok bisa-bisanya dia kayak anggap aku nggak ada?
"Zozo!" seruku sambil menahan langkahnya dengan mencengkeram satu tangannya yang langsung ditepis olehnya.
"Apa sih?" decaknya sebal.
"Kenapa bisa ada cewek bule disini?" tanyaku spontan.
"Emangnya kenapa? Ini kan vila gue! Suka-suka gue mau bawa siapa aja!" balas Zozo sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.
"Tapi..."
Tapi kan semalam masih bareng sama aku? Dan kenapa bisa ada cewek lain saat aku ditinggal sendirian di bawah? Aku nggak bisa sampaikan itu karena cuma bisa ngomong dalam hati dengan perasaan yang membingungkan.
"Tapi apa?" lanjut Zozo galak.
"Nggak apa-apa," cicitku lemah.
Zozo berdecak dan hendak melanjutkan Langkah lalu mendesis kesal saat aku kembali menahannya. "Apaan lagi sih?"
"Kita kapan balik ke Jakarta?" tanyaku.
Zozo mendengus dan menoleh pada cewek bulenya untuk mengatakan agar segera turun ke dapur dan nanti dia akan menyusul. Cewek itu tersenyum dan mencium pipi Zozo, lalu turun dengan riang disana. Kok aku nggak suka ya caranya kayak gitu?
"Soal pulang ke Jakarta..." suara Zozo membuatku kembali menatapnya dan mendapati Zozo yang terlihat menyebalkan. Mukanya busuk banget, aku nggak suka. "Lu pulang duluan. Gue masih ada urusan disini."
"Apa?" seruku kaget.
"Nggak usah lebay." Sahut Zozo ketus.
"Kenapa sendiri?" tanyaku langsung.
"Kenapa nggak?" balas Zozo nyolot.
"Lu kan tahu kalau gue nggak berani sendirian," sahutku.
"Itu urusan lu! Pokoknya gue akan stay disini sampe akhir minggu. Lu balik ke Jakarta sore ini dan tiket udah gue pesenin. Nanti bakalan ada supir yang jemput lu buat ke bandara," ucap Zozo tengil.
"Nggak bisa gitu dong!" seruku sambil menghalangi langkah Zozo dan menatapnya nggak terima. "Omongan awal adalah kita pergi bareng dan rencananya adalah hari ini balik karena katanya urusan meeting klien cuma sebentar kayak kemarin."
"So, what? Gue yang jadi bosnya di sini, dan gue berhak ubah rencana tanpa konfirmasi. Lagian lu cuma staff, jadi nggak perlu kepo dan harus ditemenin gue! Gue bukan kacung!" balas Zozo nyolot.
"Tapi gue nggak bisa sendirian!" racauku hampir histeris membayangkan aku harus di pesawat sendirian karena kurang tahu arah tujuan bandara. Gimana kalau nanti aku salah pesawat?
"Itu urusan lu! Sana! Siap-siap! Pesawat lu jam tiga sore!" cetus Zozo sambil mengibas tangan seolah mengusirku lalu kembali berjalan untuk menuruni tangga.
Aku cuma bisa bengong. Kok ada yah manusia serandom itu? Semalam masih baik-baik aja, tapi hari ini balik lagi kayak kampret. Nggak sadar, aku sudah terisak pelan dan mulai melangkah untuk menuju ke kamar tamu yang ternyata barang-barangku sudah ada di situ.
Dari momen seperti ini, aku belajar bahwa hidup sendirian itu nggak mudah. Setiap situasi menuntut kita untuk mengerti segala sesuatu bahkan diluar nurul. Juga termasuk mengenal varian karakter orang-orang yang makin random, kayak Zozo misalnya.
Selesai mandi dan memakai salah satu pakaian yang dibeli oleh Zozo, aku mengikat rambut dalam satu ikatan sederhana dan mengambil duduk di tepi ranjang untuk melakukan latihan pernapasan saat merasa gelisah seperti ini. Satu tarikan napas terasa berat, kemudian tarikan berikutnya yang membuatku semakin memberat. Sejujurnya aku takut banget.
Selama hampir beberapa saat aku menenangkan diri yang sebenarnya nggak menjadi tenang tapi makin gelisah, aku mutusin untuk beranjak karena jam sudah pukul setengah satu siang dan Zozo sudah kirim pesan.
Saat aku keluar, Zozo nggak ada. Mungkin sedang di kamarnya atau pergi bareng cewek bulenya. Aku menghela napas dan segera keluar dari vila sambil membawa koper kecil bawaanku dimana seorang supir sudah datang menunggu. Dia dengan sigap membantuku untuk membawa koper.
"Lu lagi jalan-jalan?" tulisku di room chat pada Zozo.
"Bukan urusan lu," balas Zozo.
Aku pengen tanya apa salahku sampai Zozo tiba-tiba kayak begitu, tapi membaca balasannya sudah membuatku yakin kalau dia bete sama aku. Aku bener-bener nggak tahu kenapa dia berubah dan jadi nyebelin. Seharusnya, aku biasa aja dan cukup cuekin aja kayak yang udah-udah. Tapi kalau harus terbang sendirian, aku takut banget.
Nggak kepengen mikir banyak, aku masukin hape dan berdoa dalam hati supaya aku bisa tenang dan nggak nangis. Semakin menahan diri untuk nggak nangis, aku malah jadi kepengen nangis dan tahu-tahu sudah terisak pelan. Supir ada bertanya kenapa tapi aku cuma bisa menggeleng.
Sesampainya di bandara, aku kayak anak hilang. Jadi, aku tanya-tanya sama penjaga bandara dan dia mengarahkanku untuk ke counter check-in. Dengan keberanian seadanya, aku berdiri di baris paling belakang dan mulai mengantri untuk melakukan check in. Saat ini, aku semakin tidak nyaman dengan kegelisahan yang kurasakan.
"Aurora?"
Sapaan dari belakang membuatku tersentak dan segera menoleh ke belakang. Orangnya tinggi banget dan aku kayaknya kenal.
"Hello? Do you still remember me?" lanjutnya saat aku masih bergeming.
Aku mengerjap dengan ingatan seadanya karena fokusku saat ini adalah rasa cemas untuk naik pesawat. Aku berusaha mengingat wajah familiar itu.
"It's me, Wira," ujarnya lagi.
Wira?
"Pak Wirawan?" tanyaku akhirnya dan dia melebarkan senyuman seolah lega kalau akhirnya aku ingat.
"Panggil Wira aja, jangan pake pak, apalagi nama lengkap," jawabnya hangat.
"Maaf," gumamku pelan.
"Kamu mau balik juga? Ke Jakarta?" tanyanya dan aku hanya mengangguk.
"Kok sama?" balasnya riang dan memberi tanda agar aku maju karena antrian mulai beranjak ke depan.
Aku kembali mengangguk dan berbalik untuk menarik koper dengan perasaan cemas yang makin nggak karuan. Aku takut banget dan nggak kepengen nangis sekarang.
"Sendirian aja?" tanya Wira yang tahu-tahu berdiri disebelahku sekarang.
Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban sambil menghitung jumlah orang yang ada di depanku. Sebelas orang.
"Bos kamu si Kenzo itu nggak ikutan?" tanya Wira lagi.
"Masih ada urusan," jawabku jujur.
"Jadi, kamu disuruh pulang sendiri?" tanyanya lagi.
Bawel banget deh cowok yang ada disebelahku. Nggak bisa diem sebentar apa yah? Aku jadinya makin nggak bisa fokus.
"Iya," jawabku lagi.
"Kalau gitu, kita barengan ya. Check in bareng supaya bisa duduk barengan," ujar Wira yang langsung bikin aku menoleh dan menatapnya kaget. Barengan?
"Bisa?" tanyaku spontan dan dia tertawa sambil mengangguk.
Jadi, aku ada temen di pesawat! OMG! Menyadari hal itu, rasa cemasku sedikit berkurang walau nggak semuanya.
"Thanks," ucapku dengan nada haru dan mengulaskan sebuah senyuman tipis.
Wira mengangguk sambil terus melebarkan senyuman disana. Ada dua lesung pipi yang dalam dan menambah jumlah kesan manis dari sang empunya wajah.
"Smile suits you," ucapnya.
Aku hanya tersenyum sambil menarik koperku untuk maju diikuti Wira. Aku kembali berhitung dan ternyata cukup cepat. Antrian di depan sisa enam orang lagi.
"Tiket kamu mana? Sini, kasih aku, biar aku yang check in," ujar Wira yang membuatku spontan menyerahkan ponselku dan dia hanya tertawa.
"Tiketku disini," tukasku.
"I know," balasnya kalem. "Tapi nggak perlu oper hape kamu ke aku. Kirim aja ke WA."
"Tapi aku nggak punya nomor WA kamu," sahutku bingung.
"Kalau gitu, aku minta nomor kamu biar aku bisa tes kontak," ucap Wira sambil menyodorkan ponselnya agar aku mengetik nomorku disana.
Aku mengangguk dan langsung mengetik nomorku, kemudian mengembalikannya pada Wira dimana cowok itu masih tersenyum lebar. "Thanks."
Tidak lama kemudian, notifikasi muncul dengan nomor tak dikenal dan itu adalah nomor Wira. Aku segera menyimpannya dan mengirimkan tiketku padanya via pesan singkat. Setidaknya, aku nggak perlu gugup dan takut dalam menghadapi mbak-mbak counter untuk check in.
"ID kamu mana?" tanya Wira lagi.
Aku dengan patuh memberikan kartu tanda penduduk padanya dan dia segera melihat kartu itu dengan tersenyum.
"Kamu lebih muda lima tahun dariku. Fotonya manis, ini masih umur tujuh belas ya?" tanyanya.
Kedua pipiku terasa memanas dan hanya mengangguk sebagai jawaban. Makin dilihat, kenapa Wira makin manis? Terus jantungku kenapa berdebar kayak gini? Ih, kok aku jadi baperan?
Untungnya tiba giliran kami untuk check in. Karena koperku kecil, jadinya aku nggak taruh bagasi biar nanti bisa cepet balik. Duh, belum naik pesawat, tapi otakku malah kepikiran gimana caranya nanti pulang dari bandara? Emangnya bisa pesen ojol dari situ? Tapi kan ongkosnya mahal. Hiks.
"Jadi, kamu habis lulus langsung kerja sama Kenzo?" tanya Wira saat kami udah duduk di salah satu resto yang ada di bandara.
Karena jam boarding masih ada sejam lebih, Wira mutusin untuk makan siang dulu karena kami berdua belum makan.
"Nggak. Sebelumnya aku pernah di travel jadi accounting," jawabku sambil melihat-lihat suasana resto yang cukup ramai.
Mungkin karena aku jarang bepergian dengan pesawat, jadi agak bingung dengan keramaian yang ada di sekitar. Orang-orang nggak kerja atau gimana yah? Kalau kesini harusnya liburan dan bukan kerja. Aku jadi sotoy banget dengan semua pikiranku yang unfaedah kayak gini.
"Wow, kamu cukup hebat untuk semuda ini udah punya pengalaman kerja," ucap Wira dengan ekspresi salut di sana.
Aku mengerjap bingung dan berpikir bagian mananya yang cukup hebat since pengalaman yang aku dapetin itu nggak ada yang hebat. Dicurigain sama istri dari bos perusahaan sebelumnya dan dituduh sembarangan malah iya. Tapi nggak semua hal bisa diceritakan dan nggak penting juga buat diketahui orang lain, jadi aku cuma kasih senyum aja sebagai balasan untuk menghargai pujian Wira.
"Kalau kamu gimana? Apa sejak lulus udah bantuin papanya lanjutin usaha keluarga?" tanyaku.
Wira nggak langsung menjawab karena seorang pelayan membawakan pesanan kami dan menyajikannya di meja. Setelah pelayan pergi, Wira mempersilakan aku untuk segera makan.
"Sejujurnya, aku nggak minat di usaha bokap," cerita Wira sambil menyendok makanannya berupa nasi campur, kemudian melahapnya.
"Jadi kamu terpaksa lakuinnya?" tanyaku sambil ikut menyendok makananku.
Wira mengunyah dan terlihat seperti berpikir, kemudian mengangguk pelan. "Mau nggak mau. Soalnya, aku cowok sendiri. Punya adek cewek tapi dia udah milih jalur pengacara."
"Tapi habis lulus, aku nggak langsung ikut bokap. Aku minta bokap kasih aku waktu buat bikin usaha sendiri sebelum resmi jadi pewarisnya," tambah Wira dengan senang.
"Oh ya?" responku takjub sambil mengunyah.
Wira mengangguk dan terus melahap makannya tanpa jeda. Kayaknya dia lapar banget.
"Aku main di F&B. Kafe dan resto. Kafe ada di Jakarta, dan resto adanya di Bandung," jawabnya.
"Dan sekarang udah nggak pegang itu lagi?"
"Masih ada kok. Dua usahaku itu udah autopilot karena ada orang yang bisa aku percayakan while aku fokus ke usaha bokap saat ini."
Aku spontan bertepuk tangan sambil ber-wow ria dan Wira tertawa pelan. "Keren banget."
"Nanti kapan-kapan aku ajak kamu makan di kafe dan restoku," ujar Wira hangat.
"Siyap," balasku sambil melebarkan cengiran.
Untuk orang-orang beruntung seperti Wira, rasanya nggak akan mengalami kesusahan karena memiliki orangtua yang bisa memberi semua kebutuhan secara materi. Meski begitu, sama halnya dengan Kenzo, Wira tampak nggak begitu suka kalau bahas tentang lanjutin usaha orangtuanya dan begitu antusias saat menceritakan usahanya sendiri.
Aku cukup bersyukur untuk keluar dari rumah, ada banyak hal yang bisa aku dapatin dari orang lain, yaitu pengalaman hidup mereka yang bervariasi.
Makan siang sudah selesai dan kami berdua bergegas karena ternyata mengobrol dengan Wira cukup menyenangkan sampai lupa waktu. Saat kami sudah mendapatkan kursi pesawat, disitu rasa cemasku kembali dan membuatku harus menahan napas sambil mengerjap cepat untuk melihat sekitar.
Aku duduk bersebelahan dengan Wira di baris dengan dua kursi saja. Aku menempati di dekat jendela, sedangkan Wira di sisi koridor jalan. Mengusap kening, aku mulai nggak fokus dengan obrolan Wira karena konfirmasi pilot sudah terdengar bahwa akan segera terbang.
Tersentak, saat aku merasakan satu tanganku diambil Wira dan dia menaruh sesuatu di atas tanganku. Menunduk untuk melihat, aku memperhatikan hal kecil seperti mainan rubik's cube tapi itu bukan, juga bukan dadu.
"This is fidget cube, I used this if I got some anxiety. Just like you right now," ujar Wira pelan.
Wira mengajarkan cara memainkan alat itu dari berbagai sisi dengan penjelasan yang begitu jelas, pelan, dan tepat. Aku dengan mudah bisa mengikuti dan fokusku langsung teralihkan pada mainan berbentuk cube itu.
Setelah aku bisa memainkan hal itu, Wira membiarkanku memaikannya sendiri dan menciptakan keheningan diantara kami. Lucu, aku merasa tertarik dengan mainan yang baru kuketahui saat ini. Hanya menekan beberapa tombol di satu sisi, kemudian beberapa tombol di sisi lain, bolak balik, atas bawah, kemudian sisi kanan dan kiri, sekeliling, dan kembali lagi ke awal.
"Fun?" tanya Wira yang membuatku spontan menoleh padanya dan tersenyum sambil mengangguk.
"Ini lucu banget. Makasi ya," ujarku tulus.
"Buat kamu aja," balasnya.
"Eh, jangan. Nanti kamu butuh," sahutku cepat.
"Kamu lebih butuh itu saat ini karena bukan aku yang lagi takut terbang," balasnya lagi.
Aku tertegun dan merasakan semburat panas di wajah. Mendadak merasa malu.
"Kok, kamu tahu kalau aku..."
"I know, Ra. Makanya aku ajak ngobrol daritadi biar kamu nggak kepikiran. Tapi kayaknya nggak guna since kamu terus liat kesana kemari, tarik napas, dan nggak fokus," sela Wira santai.
"Sorry," gumamku.
"Kenapa harus sorry? Cemas, takut, gelisah, itu bukan dosa atau kesalahan. Itu bentuk emosi yang umum terjadi kok. Aku juga ada anxiety, tapi nggak di terbang. Misalkan nguber deadline dan ternyata nggak dapat jalan keluar, itu akan jadi trigger buatku untuk merasa paranoid dan panik nggak karuan. So, aku ngerti apa yang kamu rasain saat ini," ucap Wira dengan ekspresi serius.
Aku tersenyum dan menatap Wira hangat. Ada rasa lega dan haru yang bercampur menjadi satu karena mengenal seseorang yang mengerti tentang perasaan seperti ini. Kehadiran Wira merupakan pertolongan Tuhan buatku. Aku yang nggak menyangka harus pulang ke Jakarta sendirian, bisa bertemu Wira dan melakukan perjalanan yang sama secara kebetulan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku emang sejak awal nggak suka Zozo, sukanya model kek Wira.
Jadi, biarin aja Zozo asik sama bule, aku mau jodohin Rara sama Wira. 😬
05.10.23 (22.15 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top