Part. 17 - Pillow Talk
Written by CH-Zone
Maaf kalau harus menunggu lama untuk update cerita ini. 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Gue nggak suka dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati saat ini. Kayak bukan gue tapi ini gue. Waktu Rara tidur dengan kondisi masih demam, doi ngigo. Bukan ngigo biasa tapi doi sampe nangis sesenggukan sambil bilang:
"'Jangan pukul, Ma. Rara janji nggak gitu lagi."
"Papa, kepala Rara sakit. Kalo Rara salah, tolong bilang tapi jangan pukul Rara. Rara sakit."
Dua kalimat yang sempet gue denger waktu ngantuk berat itu terus berkumandang di kepala. Emangnya masih zaman bedain anak cewek sama anak cowok? Tinggal di zaman apa itu? Gue nggak habis pikir.
Nggak heran kalo Rara mutusin kuar rumah kalo isian rumah modelannya dajjal gitu. Tiap orang nggak bisa pilih untuk dilahirin keluarga macam apa, dalam hal ini adalah takdir, dan itu nggak bisa diubah. Tapi nasib, kita masih bisa usaha dan gue menilai Rara berusaha memperbaiki nasib dengan keluar dari toxicity keluarga yang mengekangnya.
Rara bukan tipikal cewek nakal yang rela lakuin apa aja demi dapetin duit, juga bukan tipikal gampangan yang bisa dipake. Doi cenderung aman dan skeptical, tapi kalo sampe nekat, itu berarti apa yang doi terima dalam rumah udah melebihi apa yang doi sanggup tahan.
"Kenapa lu suka banget makan nasi pake telor ceplok?" tanya gue saat melihat Rara membuat telor ceplok kedua.
Selama tinggal bareng, gue selalu melihat Rara membuat telor ceplok dan dimasak pake kecap-kecapan. Itu enak, gue baru tahu kalo telor ceplok dimasak pake kecap bisa seenak itu. Tapi nggak yang tiap hari juga, bosen liatnya.
"Ini adalah masakan pertama yang gue bisa lakuin dan kebetulan gue doyan telur," jawabnya.
"Nggak ada menu lain?" tanya gue lagi.
Doi menggeleng. "Di kulkas selalu stok telur, tapi kalo bahan daging biasanya nyokap yang masak dan itu buat sodara gue karena katanya anak laki harus makan banyak daging."
"Kenapa gitu?"
"Karena mereka kerja lebih berat, juga energi yang keluar lebih berat."
"Kena tekanan mental itu jauh lebih berat, bahkan nggak sedikit yang bisa mati karena itu. Nyokap lu tahu soal itu, gak?" sewot gue keki.
Gila aja soal makanan harus dibedain juga. Kenapa nggak ada empati sebagai sesama cewek gitu sih?
"Nggak tahu deh, gue udah biasa soalnya. Toh makan telor itu enak, dan gue suka," balas Rara sambil mengangkat bahu dan mengangkat telor ceplok yang udah matang.
"Suka karena terbiasa dan mau nggak mau," koreksi gue.
"Gue beneran suka telor," ucap Rara dengan muka serius. Kalo mau dibilang bener sih iya, soalnya doi tetep makan telor ceplok meski gue udah nyetok daging dan bahan makanan lainnya.
"Tapi harus makan hal lain biar nggak norak," ujar gue.
"Hanya karena gue suka telor dan itu dibilang norak?"
"Bukan, tapi mencoba hal baru. Sama aja kayak hidup, makanan itu ada banyak varian yang bisa lu pilih dan nggak itu-itu aja. Simple, alasan bosan itu jadi masalah umum dan itu normal."
"Tapi gue kurang suka."
"Suka nggak suka, yang penting coba. Biar yang lu tahu nggak cuma sekedar telor aja. Masih ada ayam, sapi, tempe, babi, dan gue keki banget ya sampe harus ngomong kayak begini. Lu itu bukan anak SMP, ANJIR! Even anak SD aja udah tahu makanan enak!"
"Standart enak buat orang itu beda-beda."
"Bukan berarti lu diamkan waktu lu tahu standart lu segitu-gitu aja. Sesekali, naikin standart lu, selera lu, dan apa yang lu suka. Dari hal itu, lu bisa belajar dan tahu lebih banyak. Inget, banyak varian, bukan cuma satu."
Rara manggut-manggut sambil lanjutin masak telor ceplok kecapnya. Doi masak buat kami makan berdua. Gue udah keburu ikut bangun tengah malam kayak gini jadi ikutan laper dan minta masakin mi instan dua bungkus.
Karena doi udah lebih baik jadinya lahap banget makannya. Doi juga minta mie instan punya gue tanpa sungkan. Kami ngobrol banyak hal dan cukup nyambung untuk setiap topik yang ada. Rara cukup cerdas, juga bisa menempatkan diri dalam setiap keadaan, jadi nggak cupu banget. Kalo nggak ngerti, doi akan diem dulu, kemudian bertanya kalo otaknya nggak nyampe.
Saat ini udah jam setengah tiga subuh, tapi karena kami makan kenyang banget jadinya duduk di ruang tengah di sofa bed yang sama dan bersebelahan. Lampu gantung diatas menjadi pemandangan kami saat berbaring dan berbagi di bantal besar yang sama.
"Boleh gue tanya sesuatu?" tanya Rara yang bikin gue auto nengok.
"Apa?" balas gue.
"Lu mutusin buat tinggal sendiri karena mau mandiri ato muak sama keluarga lu?" tanyanya.
"Dua-duanya," jawab gue langsung sambil kembali menatap lampu gantung.
Karena heboh soal doi yang gue gantiin baju, jadinya doi langsung mandi dan ganti baju yang gue beli. Sialnya, yang Rara pake malah summer dress ala bali dengan model bahu setali dan selutut. Mungil, tapi kalo pake model kayak gitu kan terlihat bentuk tubuhnya yang lumayan. Kayaknya seukuran kepalan tangan gue.
"Tapi lu lebih beruntung karena udah punya usaha," ujar Rara kemudian.
Gue kembali nengok dan menatap Rara yang ternyata rebahan dalam posisi menyamping sambil lihatin gue. Brengsek banget nih cewek, niat banget bikin gue jatuh ke dalam pencobaan.
"Lu mungkin mikir kalo gue dibantuin sama bokap tapi no, gue usaha sendiri dari nol," tukas gue.
"Gue nggak mikir begitu," balas Rara dengan kening berkerut seolah nggak setuju dengan omongan gue barusan. "Gue cuma bilang kalo lu beruntung karena udah punya usaha."
"Gue keluar rumah juga belum punya apa-apa. Yes, awal mula gue tinggal di apartemen yang dikasih nyokap buat gue. Judulnya buat gue, tapi lebih ke arah gue kayak numpang atau pinjem pake karena nyokap rese."
"Rese kayak gimana?"
"Suka ikut campur urusan gue. Soal pulang subuh lah, nggak pernah pulang lah, jadi gue kayak yang dimata-matain gitu. Akhirnya, gue sama temen joinan buat bikin agency."
"Partner kamu itu? Tomo?"
Gue mengangguk. "Kita berdua mulai dari nol. Dari yang keliling cari klien, sampe sekarang kita yang dicari. Semua ada proses, nggak pake instan. Kami pun sempet part time jadi orang kantoran buat ngumpulin modal."
"Wah, keren banget."
Pujian itu membuat gue tersenyum. Rara ngomongnya lepas banget, kayak yang beneran takjub dari sorot matanya. Sementara keluarga gue sendiri begitu denger gue mampu buka usaha, mereka malah mencibir dan langsung meremehkan jalur usaha yang gue ambil.
"Thanks," ucap gue.
"Gimana caranya untuk jalani semua proses dalam memulai hal baru, Zo?" tanya Rara.
"Banyak hal. Lu bisa lihat sekeliling lu, apa yang bisa lu ambil, kesempatan yang kayak gimana yang bisa lu raih. Misalkan lu bisanya kerja sama orang, ya udah, kerja aja dulu. Pelan-pelan lu kumpulin duit, kemudian lu gali diri untuk cari usaha apa yang cocok buat lu. Jangan tinggalin kerjaan kalo usaha yang lagi lu bangun itu belum mandiri," jawab gue.
"Boro-boro mulai usaha, juga boro-boro mandiri, gue aja udah nganggur," ujar rara yang bikin gue berdecak malas.
"Lu lagi kerja kan sekarang? Dengan adanya lu disini, itu berarti lu bukan pengangguran, Anjir. See? Untuk hal kayak gini aja lu nggak bersyukur dan malah liat jeleknya aja," sewot gue.
"Iya juga sih," gumam Rara pelan, lalu kemudian menguap sambil menutup mulut dengan tangannya. Masih dengan posisi menyamping menghadap gue.
"Hidup itu nggak usah dipikirin, cukup dijalanin aja," ujar gue kemudian sambil membetulkan posisi untuk menyamping agar berhadapan dengan Rara.
"Kalo nggak dipikirin, gimana jalaninnya?" balas Rara.
"Orang mikirnya suka terbalik. Dikiranya dengan mikirin doang, hidup itu udah jalan sesuai harapan. Justru, dengan lu jalanin, mikirnya belakangan, lu nggak bakalan kalah atau hancur karena ekspektasi. Kebanyakan mikir, bikin kita jadi banyak ngarep. Bahkan terlalu muluk," sahut gue.
"Mungkin karena cewek itu lebih rumit," tukas Rara.
"Cewek emang hobi nambah masalah," koreksi gue dan Rara auto nyengir.
Rara mengerjap berat dan terlihat memeluk tubuhnya sendiri dengan posisi yang masih menyamping ke arah gue. Kayak udah insting, gue auto bergerak maju untuk menyelipkan satu tangan ke kepala Rara sebagai sandaran kepalanya dan kemudian menariknya ke dalam pelukan. Gila ya, kalo lagi berduaan kayak gini emang banyak setannya. Kenapa gue jadi horny?
"Zo," panggil Rara dengan nada menegur tapi mukanya malah ngantuk berat.
"Gue tahu lu dingin," bisik gue lembut.
Rara kembali mengerjap. Kami saling bertatapan dekat sekali sampai gue bisa merasakan nafas masing-masing. Kedekatan kayak gini memberi kehangatan buat gue sampe gemes pengen cium bibir Rara yang terbuka itu.
Dilihat dari dekat, Rara cukup lumayan. Bola matanya hitam pekat dan membulat besar, hidungnya mungil, bibirnya tipis, dan pipi yang sedikit chubby.
"Ra," panggil gue yang ternyata suara gue mendadak serak.
"Hmmm," balas Rara yang mulai memejamkan mata karena kayaknya doi emang ngantuk berat.
"Can I kiss you?" tanya gue spontan dan bikin gue auto kaget.
Rara yang tadinya merem auto melek sambil tatap gue. Doi nggak kayak cewek yang bakalan lebay atau auto menjauh sambil celetuk 'ih apaan sih'. Nggak gitu. Doi cuma liatin gue dengan bingung tapi nggak ngapa-ngapain, mungkin lagi mikir.
Tanpa menjawab, Rara mengangguk.
Heck! Ini nggak mimpi, kan? Rara bolehin gue cium dia?
"Beneran?" tanya gue untuk meyakinkan.
Rara mengangguk sambil memejamkan mata lagi. "Cuma cium doang, kan? Kayak kiss-bye gitu. Boleh aja, itung-itung ucapan makasih karena udah bantuin gue selama keluar dari rumah."
Anak Setan!
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Btr ya, aku update jatahnya Rara.
Ditunggu. 💜
05.10.23 (22.07 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top