Part. 16 - One night with Zozo
Judulnya terbaca menggiurkan, tapi jangan terlalu berekspektasi. 😜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku jadi sering sakit dan nggak suka sekali soal hal ini. Sejak kecil, daya tahan tubuhku memang lemah. Kena hujan, pasti sakit kepala dan demam. Pergi dalam perjalanan cukup lama, pasti masuk angin dan demam. Alergi cuaca dingin yang kalau ke tempat dataran tinggi, pasti bersin-bersin dan berakhir satu badan nyeri dan demam.
Papa bilang aku selalu nyusahin, dan Mama bilang aku selalu repotin. Dua saudara cowokku pasti sewot dan marah-marah karena gara-gara aku yang kayak gitu pasti bikin semua rencana berantakan. Penyakitan, itu kata mereka.
Seiring berjalannya waktu, aku jadi terbiasa dikatain kayak gitu. Aku nggak pernah dibawa ke dokter untuk mengetahui kondisi tubuh yang lemah kayak gitu. Aku juga nggak suka minum obat jadinya takut kalau ke dokter bakalan dikasih banyak varian obat. Jadi, mungkin aja kata mereka itu benar kalau aku penyakitan.
Semakin besar, aku selalu menolak kalau ada acara keluarga, baik ajakan dari keluarga atau kerabat. Aku nggak mau dikomplain atau diomongin karena daya tahan tubuh yang emang nggak kayak orang lain. Aku selalu memilih untuk ngetem di rumah aja.
Membuka mata dengan berat, aku merasa sekujur tubuhku lemas tapi sudah lebih baik dibandingkan saat tiba di vila. Sekeliling terlihat samar dengan penerangan samar-samar dari sudut kamar. Aku nggak tahu jam berapa tapi kayaknya masih malam. Aku juga mendengar ada bunyi hujan diluar sana.
Tenggorokanku kering, aku butuh minum. Berusaha untuk bangun dan duduk, aku melihat sekeliling dan mengerutkan kening saat melihat di sisi kananku. Ada cowok, kayaknya tinggi besar karena kakinya panjang banget sampe ke ujung ranjang sedang tidur telungkup tanpa atasan dan nggak pake selimut.
Dia menyelipkan tangan ke balik bantal yang dipakai dan tepat di sebelah bantal yang tadi kupakai. Dia keliatan capek dan mukanya mirip sama Zozo. Heh? Zozo? Tidur sebelahan sama aku? Kyaaaaa.... Aku kaget dan nggak sadar bergeser ke tepi ranjang lalu oleng dan bruk! Ugh!
Waktu aku bergeser, bokongku nggak mendarat di ranjang tapi di lantai dengan dua kaki yang terlilit selimut yang berada di atas ranjang. Jadi aku telentang sambil mengeluh menahan sakit karena lumayan kenceng, juga shocked. Aku nggak percaya kalau aku tidur bareng seranjang sama cowok. Ya Tuhan!
Spontan aku menangis, bukan karena sakit tapi karena kaget. Tangisanku berhenti saat aku menaruh satu tangan di dada dan merasakan ada yang janggal. Wait! Ini bukan kemeja yang aku pake dan aku yakin belum ganti baju tapi kenapa kerahnya kayak kaos dan panjang lengan kaos sampai lewatin batas siku?
"Huwaaaaaaaa," aku nangis sejadi-jadinya karena mengetahui hal lain. Aku pake baju yang bukan baju aku tapi udah dipake sama aku.
Saat aku menangis, aku bisa mendengar ada suara Zozo yang terdengar sewot dan berseru menyuruhku diam. Dia menarik selimut yang membelit kedua kaki dimana aku berteriak heboh karena ujung kaos kebesaran yang kupakai itu menurun dan hampir mempertontonkan celana dalamku.
"Apaan sih malem-malem teriak sambil nangis gitu?" omel Zozo dengan nada geram dan disusul kemudian lampu kamar menyala.
Aku yang masih jatuh terlentang di bawah bisa melihat Zozo yang sedang dalam posisi telungkup dari ranjang sambil melihatku. Kami saling bertatapan dalam diam selama sedetik, dua detik, dan.. "HUWAAAAAAA..."
Aku kembali menangis sambil menyeret diri untuk meringkuk menjauh dari ranjang dan menekuk kedua kaki sambil memeluknya untuk menangis tersedu-sedu. Aku nggak suka banget dengan kejadian ini. Kenapa aku bisa sekamar dan seranjang sama Zozo? Aku bener-bener nggak inget ada kejadian seperti ini. Yang kuingat adalah kepalaku pusing sekali dan sempat muntah. Itu aja.
"Hey! Hey! Lu nggak usah nangis kayak abis diperkosa sama gue, Anjir! Lu belum gue apa-apain!" seru Zozo yang membuat tangisku terhenti dan mendongak untuk menatapnya marah.
"Trus lu ngapain tidur di sebelah gue? Trus juga kenapa baju gue bisa diganti?" seruku sambil berurai airmata.
Zozo gelagapan sambil menggaruk kepala dan terlihat berpikir. Melihat dia yang kayak gitu, aku makin menangis pilu. Kenapa dia bisa jahat banget sama aku saat aku udah bantuin dia kerja sejak semalam? Kalau kerja sama dia harus ditambah embel-embel kayak gini, aku mendingan nganggur sambil pelan-pelan cari kerjaan di tempat lain aja.
"Gue bisa jelasin! Tapi lu stop nangis! Gue pusing dengernya! Yang capek dan ngantuk nggak cuma lu doang! Gue juga!" ucap Zozo sambil beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ke lemarinya lalu mengambil sebuah kaos untuk memakainya.
Aku masih menangis dan mulai ketakutan sekarang. Kembali rasa menyesal merasuk dalam pikiran oleh karena sikap keras kepala dan keputusan yang udah kuambil dengan keluar dari rumah. Aku sedih. Sedih sekali. Di dunia ini, nggak ada yang bisa mengerti atau senggaknya menghargai keberadaanku. Nggak ada. Bahkan, untuk Zozo yang tadinya kupikir berbeda, ternyata juga tega nyakitin aku kayak gini.
"Udah yah, ngggak usah overthinking dan mikir yang nggak-nggak! Semua tuduhan dari ekspresi muka lu itu semuanya nggak bener!" ucap Zozo sambil menunjukku dengan ekpresi nggak terima.
"Buktinya apa kalau nggak bener?" tanyaku sambil terisak.
"Kalau emang bener lu masih perawan, sekarang gue tanya, bagian bawah lu sakit, gak? Kecuali kalau lu udah nggak perawan, jatuhnya malah enak dan becek di bawah," jawab Zozo sarkas.
Aku bergeming. Isakanku terhenti berganti dengan berusaha merasakan apa yang diucapkan Zozo. Aku nggak merasa sakit, nyeri, enak, ataupun becek di bagian intimku. Aku juga nggak merasakan apa-apa selain lemas dan kehausan.
"Nggak, kan? Makanya, jangan langsung heboh duluan. Orang tuh mikir dulu yang bener. Zaman sekarang emang perlu banget suudzon tapi harus pada tempatnya. Gue udah bilang kalau gue nggak bakalan nafsu sama lu, jadi nggak usah GR!" kembali Zozo menyuarakan aksi protesnya sambil menyilangkan tangan di sana.
Aku mengerutkan kening sambil menatapnya nggak terima. "Tapi kenapa harus gantiin baju gue?"
"Karena baju lu kotor dan gue nggak suka kalau ranjang gue kena debu dari luar!" jawabnya ketus.
"Dan kenapa lu harus tidur di sebelah gue?" tanyaku lagi dengan rasa yang semakin nggak terima.
"Lu tadi nggak denger kalau itu adalah ranjang gue?" desisnya sinis.
"Tapi lu bisa pindahin gue kemana aja, tidur di sofa kek, atau di lantai, atau di kamar yang tadi lu bilang pas kita nyampe ke sini," seruku.
"Lu kira badan lu nggak berat? Dan lu kira urusin lu sejak subuh itu nggak capek ati? Gue udah draining abis-abisan dan lagi tidur pun lu bikin heboh kayak gini! Even terima kasih aja nggak ada lu ucapin ke gue dan bisa-bisanya nangis sambil marah-marah sama gue! Kurang tahu terima kasih banget lu jadi cewek?" omelnya.
Aku nggak bisa membalas Zozo karena apa yang dia sampaikan itu benar. Seharusnya aku berterima kasih untuk bantuannya walau ini membuatku cukup nggak terima. Selama aku baik-baik aja dan dia nggak menyentuhku, aku rasa ini bisa diterima.
"Apa lagi? Mau nangis lagi? Kalau lu mau nangis, sana kuar! Kamar tamu ada di bawah, lu bisa jalan sendiri kesitu. Hush, sana!" usir Zozo sambil mengibaskan tangannya seolah mengusirku.
Aku mengusap pipiku yang basah dan segera beranjak berdiri sambil membetulkan ujung kaos agar bisa menutupi kaki sampai batas lutut. Kemudian, aku menghampiri Zozo dan memberanikan diri untuk mengangkat wajah agar bertatapan dengannya.
"Maaf, udah ngerepotin. Makasi banyak buat bantuannya," ucapku tulus meski menahan diri untuk nggak berdecak karena mukanya Zozo tuh nyebelin banget.
Zozo masih menyilangkan tangan dan menatapku dengan tatapan rendah seolah mengejekku meski nggak ngomong apa-apa. Karena nggak ada balasan, aku hanya melengos dan berbalik untuk segera keluar dari kamar itu.
Saat hendak mencapai pintu, aku baru aja pegang kenop pintu, tiba-tiba aku merasakan dua tangan besar melingkari bahu dari arah belakang dan menarikku mundur untuk bertubrukan dengan tubuh besar Zozo.
Deg! Aku menegang dan nggak bisa ngapa-ngapain selain menegang kaku saat menerima pelukan kayak gitu. Ya Tuhan, cowok ini maunya apa sih? Nggak bisa yang bener dikit jadi orang? Apa gini rasanya naksir sama cowok yang udah jelas-jelas red flag tapi tetep ditaksir seolah buta warna nggak bisa liat tanda merah saat ini?
"Lu nggak perlu takut lagi, Ra. Siapapun yang berani mukul lu atau bikin lu sampe sesakit ini, gue nggak akan ngebiarin itu walau orangtua lu sendiri. Tapi satu hal yang perlu lu tahu, keberanian dimulai dari diri sendiri dan apa yang lu lakuin udah benar, jadi jangan pernah merasa sia-sia," ucap Zozo dengan nada berbisik persis di telingaku.
Ketegangan yang kurasakan kini menguar berganti luapan emosi dalam isak tangis yang begitu berat dari sebelumnya. Seperti beban berat yang aku pikul selama ini perlahan aku taruh untuk sekedar beristirahat. Nggak pernah satu orang pun yang pernah memberi ucapan seperti Zozo. Tentang aku yang udah melakukan sesuatu dengan benar. Tentang aku yang nggak sia-sia. Tentang aku yang bisa diberi dukungan meski hanya lewat ucapan dan pelukan seperti ini.
"Karena satu langkah aja itu berarti dan bukan hal yang mudah untuk lu lakukan sendirian. Jadi, jangan nyerah. Tetaplah berjuang," lanjut Zozo.
Dan aku semakin terisak sambil berbalik untuk memeluk pinggang Zozo dengan erat seolah pegangan hidupku saat ini hanya dirinya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Tulis part ini adalah saat dimana aku kangen banget sama Zozo.
Semoga harimu menyenangkan.💜
08.08.23 (22.22 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top